Senin, 13 April 2015

Untuk Almarhum Bapak..

SERPIHAN JEJAK-JEJAK KEHIDUPAN BAPAK
Sedikit Sejarahmu Yang Pernah Kudengar
Dimatamu masih tersimpan Selaksa peristiwa
Benturan dan hembasan terpahang dikeningmu
Kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah .... hmmm hmmm ...
Meskinafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin syarat
Kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
Kini kurus dalam terbungkus..........hmmm
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Ayah dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Namun kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu banyak menanggung beban ho ho
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
Kini kurus dalam terbungkus hmmm
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Lagu itu,syairnya, telah lama membuatku terkesima. Selalu kubayangkan dirimu, suatu saat nanti, akan menjadi sebuah kenangan yang takmungkin terhapus dari lembaran-lembaran kehidupanku.
Tidak banyak yang aku tahu tentang masa kecil dan masa mudamu. Hanya, pernah kau berkisah bahwa kau lahir saat jepang masuk ke Nusantara ini menggantikan “Peran” Belanda (Londo) sebagai penjajah. Dari ceritamu bahwa kau sudah angon kebo saat diajari menyanyikan “Hitni sansi”,bisa kuperkirakan bahwa saat itu, sekitar tahun 1942-1945, engkau sudah berusia sepuluh tahun lebih. Data tentang saat kau pertama kali menghirup udara dunia ini sungguh sangat minim, sehingga takpernah sekalipun kami,anak-anakmu- mengenang hari jadimu, hari kelahiranmu. Kami sungguh tidak tahu,dan yang kami tahu pasti adalah saat kau kembali pulang ke pangkuan keabadian.
Setahuku, kau bersaudara lima, enam dengan dirimu. Yang pertama aku tidak begitu mengenal dan oleh karenanya tidak memiliki kenangan-kenangan,beliau namanya Kariojoyo. Anak-anak dari pakde Kariojoyo tergolong sudah mapan semua, ada yang jadi guru dan ada pula yang menjadi pendeta.  Yang kedua, juga sangat tidak kuenal karena bertempat tinggal berbeda dengan desa di mana kita tinggal,aku hanya kenal anak-anak pakde, beliau bernama Sutiyo Sowiryo. Kedua beliau, pakde-pakde itu hidup sebagai petani dan saat kurangkai huruf-hruf ini sudah berpulang ke pangkuan keabadian. Lalu bude giyem, yang sangat dekat denganmu. Ada lik waginem dan juga yang bungsu bernama lik satino. Wo giyem tinggal sekampung denganmu, juga wo kariojoyo dan lik waginem. Mereka bertani sebagai tumpuan melanjutka hidup. Dari mereka, amat jarang kuketahui tentang dirimu yang sejatin.
Kata Siwo[1] Giyem, Saudara tua terdekatmu, engkau adalah tipe anak ngeyel,selalu membantah dan berani sendiri meski tidak ada yang membela. Itulah salah satu wujud kekuatan pribadimu, meski juga bisa jadi merupakan kelemahan pribadimu juga. Kau juga pernah bercerita bahwa masa kecilmu sungguh jauh dengan masa kecilku,apalagi sekarang setelah masuk abad yang baru. Kau hanya memiliki satu celana yang digunakan untuk semua kegiatan,baik sekolah maupun angon. Kau berkisah bagaimana saat angon dan kemudian berendam di sungai/kali,baik pluncing maupun mandoran dengan menjemur celana goni untuk ganti dan tidur saat malam tiba. Masa-masa yang bagimu sungguh semangat indah. Kau bercerita bagaimana ramai dan serunya mengejar burung-burung saat hujan pertama, serunya nyuluh iwak kali dan juga jangkrik serta burung-burung. Semua begitu dekat di telingaku ini, seolah membawaku ke masa, saat kau kecil. Membayangkan suasana ceria penuh cawa dan canda, meski kampung di manakau hidup dan berkarya saat itu belumlah seterang saat ini.
Saat angon, adalah saat-saat indah dalam sejarah hidupmu bersama dengan teman-teman seusiamu. Kau bermain sepuasnya. Mencari burung,ikan disungai,umpet-umpetan dan juga sering menjadi pesta makan dengan obor-obor telo atau kimpul yang kau dapatkan bersama teman-temanmu di sekitar tempatmu angon. Angon, sebuah pekerjaan dan juga media bermain kanak-kanak dan remaja kampung, itu merupakan kepingan indah sejarahmu yang sempat kau ceriterakan kepadaku. Dan aku bisa mengerti, karena akupun sempat melakukan apa yang dahulu pernah kau lakukan juga, yaitu angon. Kau yang mengajariku angon. Setiap sore, sekitar pukul 13.30 sampai 14.00, kau menyebutnya cah icul,kami bergegas dengan sapid an kambing kami menuju pangonan, baik di Teken maupun di Salatan.
Takbanyak yang kudapati kisah dan sejarahmu sewaktu kau remaja dan pemuda. Hanya saja, yang kutahu, engkau pernah menikah sebanyak lima kali. Dari lima istrimu, dua yang sangat kukenal,yaitu almarhum simbok,yang menemanimu selama tiga puluh tahun dan jugabudhe Miyem,istrimu sebelum almarhum simbok. Dari kisah mbakyu Parsi,anak tirimu, aku tahu betapa engkau memiliki ketegasan yang hebat meski itu juga dibarengi dengan sikap dan tindakanmu yang semenangmu dewe.
Kisahmu saat terserempet kisah 1965 juga takbanyak yang kudapati. Kau sendiri enggan berkisah tentang hal itu. Dan aku hanya mencoba menerka, bahwa tujuanmu tidak menceriterakan itu,mungkin agar aku tidak memelihara dendam kepada siapapun,karena itulah pribadi mulai yang aku kenal tentangmu, tak pernah mendendam, bahkan kepada mereka-mereka yang membenci dan melukaimu. Kau sempat berkisah, meski hanya sepinyas, saat di dalam penjara,betapa kepedihan dan luka yang kau derita. Setiap hari hanya luka dan penghinaan yang kau dapatkan, namun takjua dendam mengusik jiwa muliamu. Mungkinkah itu wujud perubahan sikapmu setelah kemudian aku tahu kau mengenal “Ngelmu” lain yang mengalahkan semua ngelmu yang kau miliki?Entahlah, mungkin suatu saat aku akan megetahuinya.
Dari beberapa sumber yang berkisah tentangmu,aku juga bisa mendengar bahwa kau sangat menyayangi aku, sebab aku anak kandungmu yang pertama. Meski tubuh kecilku sangat tidak membuatmu lega dan bangga, namun selalu setiap pagi, kau gendong aku mengitari desa. Kau selalu menjawab sedang mbun-mbunke thole ben ndang cepet gede. 
 Sebuah awal saat kumulai mengingat akan sebuah pengalaman
Waktu itu usiaku sekitar lima tahun,dan adikku mungkin dua atau satu setengah tahun. Kami sedang berkunjung ke rumah saudara yang tinggal di ibukota, tepatnya di Jakarta. Berkunjung ke rumah adikku,pamanku, yaitu paklik Satino. Kebetula, tinggalnya beliau bertetanggan dengan beberapa saudara dari kampung. Maka lengkaplah keceriaan itu. Kami berangkat dengan menumpang bis malam yang saat itu seingatku adalah PO Jadi Mulyo. Entah berapa harga tiket saat itu, yang jelas kami turun dan paklik jemput di Mampang.
Kemuadian terus naik bajaj ke kebayoran baru, di sekitar pinggiran sungai radio dalam. Ingatku saat itu aku senang sekali. Oleh paklik aku dbelikan baju baru, diajak ke blok m dan melihat pancuran seerta dbelikan bakso. Sebuah makanan yang hanya singgah dalam bayanganku waktu itu. Kami jalan-jalan saat senja yang cerah, dan aku lupa,bulan apa itu meski bisa kuduga dalam ingatan,pastilah saat libur sekolah.
Aku masih ingat bahwa saat kecilku,hal yang paling aku larang dalam dirimu adalah saat makan. Aku selalu menolaknya,entahlah,aku sendiri tidak mengerti. Dalam sebuah kesempatan, masih saat di radio dalam, karena marah melihatmu makan, saat aku dirumah Yu Sakiyem yang bertingkat itu, aku kencing di atas dan hebohlah semua. Kau  tidak marah, hanya tersenyum. Juga saat aku masih kanak-kanak, saat sering kau ajak ke rumah pakde lurah Parno yang kaya itu, sering aku gobrak-abrik pepanenan yang sedang dijemur, dank au juga tidak diam.
Bersambung....

[1] Siwo, panggilan untuk saudara tua bapak atau ibu, sejajar dengan wak,makde,budhe atau juga pakde…sebutan ini akrab di daerah Jawa Tengah bagian selatan timur, seperti wonogiri dan Gunung Kidul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH