Minggu, 05 April 2015

Ironi Sebuah Perayaan Ritus...



Fiksi: Orang Asing di Malam Paskah

Waktu menunjukkan pukul 19.05 WIB. Lonceng gereja baru saja tenggelam dalam kesunyian, berganti gema bedhug bertalu memanggil orang Islam menjalankan ibadah Isya. Seorang lelaki tepekur diam di sebuah kuburan yang terletak kurang lebih 200 meter di depan gereja dan 400 meter di belakang masjid. Ia mungkin seorang gelandangan tanpa tempat tinggal. Atau mungkin juga lelaki malang yang merenungi jasad yang berbaring di bawah makam. Entahlah. Wajahnya beku, biru menggelap tertutup kabut malam. 


Jelas terdengar puji-pujian mengalun dari gereja. Paskah bagi mereka yang merayakannya. Sorak sorai kemenangan bahwa maut telah dikalahkan. Yesus telah bangkit mengalahkan kematian dan dosa. Ia pernah disana. Berdiri bersama mereka. Masih terngiang akan Allah yang sungguh amat baik. Allah yang kekal, alpha dan omega. Awal dan akhir. Allah sebagai sebab dari segala sesuatu. Kemudian berkumandang Halleluya, puji Tuhan, Allah Maha Besar.
“Allahuakbar Allahuakbar…” 

Ingin Usaha Tiketing? Klik INI

Lamunannya tercerai berai oleh kumandang adzan. Irama yang begitu kental dengan kerendahan hati. Allah sungguh besar. Tiada Tuhan selain Allah. Ia dapat merasakan betapa suara itu ingin sekali memuji dan memuliakan Allah, dengan suara terbaiknya. Dengan segenap kekuatannya. Berteriak dan menari seperti Daud memasuki Yerusalem merayakan kemenangan bala tentara Tuhan.
“Tuhan, dimanakah Engkau berada?”
Kembali ia tenggelam dalam lamunan. Dilihatnya orang berbondong ke masjid. Didengarnya puji-pujian paskah dari gereja. Tetapi ia tetap diam tepekur di pemakaman.
“Selamat malam”
Satu suara berat dan dalam mengembalikan pikirannya ke dunia nyata. Ah, rupanya gembel juga seperti dirinya. Baju kumal penuh tambalan. Rambut gimbal tanpa bau wewangian.
“Boleh aku numpang rebahan disini saudaraku?” tanyanya.
“Silahkan saja Nak. Makam ini bukan milikku. Bukan juga milik sanak saudaraku. Aku juga hanya gembel tua yang tak punya tempat tinggal.”
“Terima kasih Pak Tua”, katanya sambil menggelar koran untuk duduk si samping kanan makam, berhadapan dengan Pak Tua yang lebih dulu menjelepok di kiri makam.
“Tempat ini aneh. Mengapa hanya satu makam di tengah perkampungan?” tanyanya membuka percakapan.
“Konon, ini makam seorang dukun santet di desa ini Nak. Karena kesaktiannya, orang kampung sangat takut padanya, meskipun sebenarnya sangat membencinya. Ketika dukun itu meninggal, seluruh warga tidak menginginkan ia dimakamkan di tempat pemakaman umum. Akhirnya dimakamkan di tempat ini,” kata Pak Tua menjelaskan.
“Lebih sakti mana dibandingkan dengan Isa anak Maryam. Atau disebut Yesus menurut orang di gereja itu?” tanyanya sambil kepalanya mengarah ke tempat dimana gereja berada.
“Ah, mana bisa dibandingkan. Yesus adalah Tuhan bagi mereka dan Nabi bagi orang Islam. Sementara tengkorak yang terbaring di bawah batu nisan ini hanya dukun santet. Tak perlulah bawa-bawa mereka. Kita ini hanya gembel jalanan. Dan hanya makam dukun santet ini yang sekarang tidak keberatan kita jadikan pelepas lelah.”
“Benar katamu, Pak Tua. Aku baru saja dari gereja itu. Jangankan memberi aku tempat, memandang wajahku pun mereka tidak mau. Aku seperti kotoran yang dihindari agar tidak mengurangi keindahan baju-baju mereka. Biasanya ada telur paskah disana. Aku berharap mendapat satu untuk bekal makan malamku. Tetapi, benar katamu, kita bukan bagian dari mereka.” 

RAHASIA HIDUP ANDA 

“Mengapa juga kamu kesana?” sergah Pak Tua.
Suasana kembali hening mencekam. Suara adzan sudah tidak terdengar lagi. Tinggal jengkerik dan serangga malam bersahutan.
“Apakah keselamatan itu juga buat kita, Pak Tua?” tiba-tiba pemuda gembel itu memecah keheningan.
Pak Tua mendesah panjang. Harapan yang sama telah dipeliharanya berpuluh-puluh tahun. Ia teringat kembali masa lalunya dimana harapan itu begitu dekat. Berada bersama mereka di ruang pesta. Merayakan paskah, penuh harapan bahwa Tuhan sungguh baik adanya.
“Bersabarlah Nak… Meski kita tidak bisa merayakan paskah, ingatlah akan Isa yang memberi tauladan setia dan cinta pada manusia meski menderita dan sengsara hidupnya. Meski menderita, jangan pernah menyerah. Peliharalah harapan dan jangan biarkan cinta meninggalkan hatimu. Itulah yang akan menyelamatkan kita. Menghindarkan kita dari perilaku jahat, penuh iri dan dengki pada mereka.”
“Andai Isa itu bukan Tuhan. Dan andai Isa bukan Nabi. Apakah Pak Tua tetap akan mencontohnya?”
“Bagi kita, Nak, tidak penting Isa itu Tuhan atau Nabi. Yang penting bagi kita adalah bahwa ia sama seperti kita. Lahir dalam kemiskinan, berjuang melawan penindasan dan tidak pernah menyerah menyuarakan kebenaran Illahi. Ia yang miskin dan lemah seperti kita mampu melakukannya, mengapa kita tidak? Kalau kita mengikutinya karena dia Tuhan, atau karena dia Nabi, apa bedanya dengan mengabdi pada raja lalim dengan memelihara pamrih. Pamrih masuk surga karena tahu Isa yang akan datang pada hari kiamat.”
“Apa pentingnya menyebut Isa Tuhan atau Nabi, jika kita tidak pernah mendengarkan suaranya. Adakah perkataannya yang bertentangan dengan kebenaran? Adakah perintah yang lebih tinggi dari perintah cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap akal budimu, dengan segenap kekuatanmu dan Cintailah sesamamu manusia seperti mencintai dirimu sendiri?”
Kata-kata Pak Tua mengalir deras karena ia juga membutuhkan penguatan atas harapannya yang semakin tipis. Perih yang mengiris karena tercampakkan sebagai manusia. Satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah segera mati meninggalkan penderitaan hidup dan masuk surga bersama Isa, tokoh yang dikaguminya.
Pemuda gembel diam terpaku. Air mata meleleh membasahi pipi. Rona wajah memancarkan kesedihan yang dalam hingga gempita paskah sirna tertelan duka nestapa.
“Mereka menyebut aku Tuhan,” kata pemuda sambil menunjuk ke gereja,” dan mereka menyebut aku nabi,”katanya pula sambil menunjuk masjid.
“Tetapi aku menjadi orang asing diantara mereka. Tidak seorang pun mengenali wajahku. Dan tidak seorang pun mendengarkan suaraku. Pak Tua, sesungguhnya hari ini engkau akan bersamaku di Firdaus.”
Minggu pagi udara cerah. Suasana paskah berganti bisik-bisik resah penduduk kampung. Seorang gembel tua tewas terkapar di atas nisan dukun santet. Sejak saat itu penduduk kampung rajin membersihkan makam, memberi dupa dan wewangian serta berdoa disitu, selain juga tetap berdoa di masjid dan gereja.
 
Sepinya Malam,,,
dari tetangga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH