Mbah Setu
Hidup itu harus dijalani,bukan di sesali
Perawakannya
sedang, bahkan cenderung kecil dan pendek. Namun sangat kekar dan terlihat kuat
dan kokoh. Maka,sewaktu saya dolan ke rumah beliau,di dusun Nalirojo,Ngajaran
Tuntang, saya berpikir sedang tidak di rumah,karena kambing-kambingnya pada
mengembik semua. Pikirku,mbah sedang ngarit sehingga kambing-kambing itu masih
kelaparan. Maka, kuambil sebatang rokok,kunyalakan dan kunikmati, sembari
menunggu pulangnya Mbah Setu. Ternyata, mbah Setu tidak sedang pergi, meski
biasanya saat seperti ini belau pergi mencari rumput. Beliau sedang melepaskan
salah satu kambingnya yang terjerat tali di dalam kandang. Tubuhnya yang kecil
tak terlihat dan karena sudah sangat akrab dengan kambing-kambingnya, maka
meski di dalam kandang tak membuat kambing-kambing itu menjadi gaduh.
“Sudah lama mas?”, Begitu mbah Setu menyapa sesaat
setelah tahu aku datang. “OO,,baru sebentar kok mbah”,Saya menjawab dengan
sederhana. Kemudian kami masuk ke rumah sederhana tempat tinggal mbah setu dan
istrinya. Rumah itu sangat kecil,berukuran 5x4 meter, dinding semua dari
anyaman bamboo. Lantai tanah dan berjarak 3 meter dengan kandang kambingnya.
Dua sekat, dapur dan ruang tamu sekaligus dipan tempat tidur. Ada dua kursi
kayu,meja reyot. Tidak ada televise,hanya radio tape jadul duan band. Semua
sangat sederhana. Sarung kumuh tergantung di samping kanan ruangan,dekat meja.
Peci kumal juga tergeletak di dekat asbak kayu. Lampu raungan hanya bolam 10
watt.
“Wah,,sempit dan kotor mas griyane, kok ya kersa
singgah?”, Demikian mbah setu membuka cakap setelah kami ada di ruangan itu.
Sangat tulus dan jujur. Kemudian, mbah
Putri masuk,membawa the cem-ceman,mengepul asap dari gelas sederhana yang di
bawanya. “Mangga mas,diunjuk”.Mbah Putri mempersilakan menikmati hidangan itu.
“Mbah, tadi Ngarit ke mana?”, Tanyaku sambil
meniup teh hangat yang dihidangkan. Mbah Setu belum menjawab, masih sibuk
membuat rokok thingwe (nglinthing dewe). Sungguh kuat lelaki tua ini. Dalam
kondisi sangat terbatas, pandangan tidak sempurna, mungkin hanya 25%, namun
tetap tegar dan kuat meniti hidup. Selalu ramah siapa saja yang datang,selalu
tersenyum menyikapi semua keadaan hidup. Hujan dan panas,bagi mbah Setu ada sebuah
lukisan alam,itu semua adalah keindahan yang harus dinikmati.
“Nggih ke tempat biasa mas, tegalan sebelah kebon
itu”,Demikian beliau menjawab sambil menghisap thingwe-nya.
“Tidak takut terpeleset ya mbah?”, Aku mencoba
mengorek pengalaman hdup dalam perjalanan ngarit ditengah terbatasnya pandangan
Mbah Setu.
“Wah, kan sudah hafal mas. Dulu sering jatuh,namun
kemudian saya hati-hati. Saya hafalkan tiap jengkal jalan yang saya lalui.
Dengan demikian semakin lama semakin saya paham. Hidup itu kan harus dipelajari
mas”, Demikian mbah Setu menjawab. “Ada nilai indah,bahwa hidup ini adalah
sebuah pengalaman,sebuah petualangan yang harus di jalani. Dalam petualangan,
pengalaman itu berkah bukan laknat,meski terkadang menyakitkan. Yang
penting,kita harus mempelajarinya,jangan menyesalinya”.Kalimat indah itu
meluncur mulus dari mbah Setu, lelaki sangat sederhana, yang hidup bersama
dengan istri,juga dengan sangat sederhana.
Percakapan kemudian mengalir jujur, bagaikan air
pegunungan yang bening melewati celah-celah batu gunung. Tetap bening,kadang
beriak dan memperdengarkan suara merdunya. Bagi mbah Setu, hidup itu seperti
air pegunungan,harus dijalani,bukan disesali. Dari Mbah Setu, aku dapat
pelajaran Berharga, bahwa seberat dan sesusah apapun hidup,kita mesti
tersenyum. Tidak boleh menyesali melainkan harus dijalani.
Suatu senja di bulan September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar