Minggu, 12 April 2015

Menjalani Hidup dengan senyum, apapun keberadaannya



Mbah Setu
Hidup itu harus dijalani,bukan di sesali

Perawakannya sedang, bahkan cenderung kecil dan pendek. Namun sangat kekar dan terlihat kuat dan kokoh. Maka,sewaktu saya dolan ke rumah beliau,di dusun Nalirojo,Ngajaran Tuntang, saya berpikir sedang tidak di rumah,karena kambing-kambingnya pada mengembik semua. Pikirku,mbah sedang ngarit sehingga kambing-kambing itu masih kelaparan. Maka, kuambil sebatang rokok,kunyalakan dan kunikmati, sembari menunggu pulangnya Mbah Setu. Ternyata, mbah Setu tidak sedang pergi, meski biasanya saat seperti ini belau pergi mencari rumput. Beliau sedang melepaskan salah satu kambingnya yang terjerat tali di dalam kandang. Tubuhnya yang kecil tak terlihat dan karena sudah sangat akrab dengan kambing-kambingnya, maka meski di dalam kandang tak membuat kambing-kambing itu menjadi gaduh.
“Sudah lama mas?”, Begitu mbah Setu menyapa sesaat setelah tahu aku datang. “OO,,baru sebentar kok mbah”,Saya menjawab dengan sederhana. Kemudian kami masuk ke rumah sederhana tempat tinggal mbah setu dan istrinya. Rumah itu sangat kecil,berukuran 5x4 meter, dinding semua dari anyaman bamboo. Lantai tanah dan berjarak 3 meter dengan kandang kambingnya. Dua sekat, dapur dan ruang tamu sekaligus dipan tempat tidur. Ada dua kursi kayu,meja reyot. Tidak ada televise,hanya radio tape jadul duan band. Semua sangat sederhana. Sarung kumuh tergantung di samping kanan ruangan,dekat meja. Peci kumal juga tergeletak di dekat asbak kayu. Lampu raungan hanya bolam 10 watt.
“Wah,,sempit dan kotor mas griyane, kok ya kersa singgah?”, Demikian mbah setu membuka cakap setelah kami ada di ruangan itu. Sangat tulus dan jujur.  Kemudian, mbah Putri masuk,membawa the cem-ceman,mengepul asap dari gelas sederhana yang di bawanya. “Mangga mas,diunjuk”.Mbah Putri mempersilakan menikmati hidangan itu.
“Mbah, tadi Ngarit ke mana?”, Tanyaku sambil meniup teh hangat yang dihidangkan. Mbah Setu belum menjawab, masih sibuk membuat rokok thingwe (nglinthing dewe). Sungguh kuat lelaki tua ini. Dalam kondisi sangat terbatas, pandangan tidak sempurna, mungkin hanya 25%, namun tetap tegar dan kuat meniti hidup. Selalu ramah siapa saja yang datang,selalu tersenyum menyikapi semua keadaan hidup. Hujan dan panas,bagi mbah Setu ada sebuah lukisan alam,itu semua adalah keindahan yang harus dinikmati.
“Nggih ke tempat biasa mas, tegalan sebelah kebon itu”,Demikian beliau menjawab sambil menghisap thingwe-nya.
“Tidak takut terpeleset ya mbah?”, Aku mencoba mengorek pengalaman hdup dalam perjalanan ngarit ditengah terbatasnya pandangan Mbah Setu.
“Wah, kan sudah hafal mas. Dulu sering jatuh,namun kemudian saya hati-hati. Saya hafalkan tiap jengkal jalan yang saya lalui. Dengan demikian semakin lama semakin saya paham. Hidup itu kan harus dipelajari mas”, Demikian mbah Setu menjawab. “Ada nilai indah,bahwa hidup ini adalah sebuah pengalaman,sebuah petualangan yang harus di jalani. Dalam petualangan, pengalaman itu berkah bukan laknat,meski terkadang menyakitkan. Yang penting,kita harus mempelajarinya,jangan menyesalinya”.Kalimat indah itu meluncur mulus dari mbah Setu, lelaki sangat sederhana, yang hidup bersama dengan istri,juga dengan sangat sederhana.
Percakapan kemudian mengalir jujur, bagaikan air pegunungan yang bening melewati celah-celah batu gunung. Tetap bening,kadang beriak dan memperdengarkan suara merdunya. Bagi mbah Setu, hidup itu seperti air pegunungan,harus dijalani,bukan disesali. Dari Mbah Setu, aku dapat pelajaran Berharga, bahwa seberat dan sesusah apapun hidup,kita mesti tersenyum. Tidak boleh menyesali melainkan harus dijalani.

Suatu senja di bulan September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH