Selasa, 28 April 2015

Belum tentu yang dilukai yang mesti menunggu..

Belajar Dari Kisah Perseteruan Iskhak vs Yakub

Palagan Kurusetra, dalam epos yang popular adalah saksi bisu betapa akibat sebuah perbedaan yang tak terdamaikan akan berakibat fatal. Perbedaan itu sejatinya sangat sederhana, salah peersepsi dan kemudian berbahay saat perbedaan yang belum terkomunikasikan itu diboncengi “Penumpang Sialan” bernama keinginan.
Kenyataan konflik ini tidak hanya dialami oleh umat manusia zaman sekarang tetapi juga dialami oleh para tokoh iman yang ada dalam Kitab Suci. Salah satu contohnya adalah konflik antara Esau dan Yakub. Dengan demikian, kita dapat bercermin pada kesaksia iman masa lalu dalam menghadapi kenyataan hidup kita sekarang yang syarat dengan konflik, baik itu konflik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Bagaimana seharusnya konflik itu disikapi dan bagaimana cara mengatasinya? Salah satu penyelesaian konflik adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi bisa menjadi keadaan hidup yang sehat karena kita mampu mengolah perbedaan menjadi sarana yang memperkaya sekaligus memperteguh kebersamaan. Melalui rekonsiliasi, perbedaan-perbedaan yang ada dalam hidup manusia ditransformasi ke dalam satu kehendak untuk saling menghormati dan saling menghargai martabat luhur manusia. Dengan bercermin pada kisah Esau dan Yakub, penulis mau mencobai memaknai apa itu konflik dan bagaimana proses mentransformasi konflik tersebut ke dalam rekonsiliasi.
Konflik Esau dan Yakub
Kalau kita mengamati lingkaran kisah Yakub (Kej 25:19-36:43) dan kisah-kisah Abraham, maka kita akan menemukan tema yang mirip satu sama lain yaitu tema tentang janji. Dalam lingkaran Abraham (Kej 11:28-25:28), tema tentang janji ini tampaknya menjadi tema pengikat dari keseluruhan kisahnya. Sedangkan dalam lingkaran Yakub, selain tema tentang janji yang terus mengalir sepanjang cerita, kita menemukan juga tema perselisihan antara dua bersaudara, yakni Esau dan Yakub.
a. Kelahiran Esau dan Yakub
Dalam Kej 25:19-34, dikisahkan bagaimana Ishak berdoa kepada Tuhan untuk istrinya, Ribka, yang mandul agar ia mengandung dan dikaruniai anak. Doa Ishak ini kemudian dikabulkan Tuhan sehingga mengandunglah Ribka. Akan tetapi, kegembiraan Ribka atas kandungannya itu cepat berubah menjadi putus asa karena perselisihan yang ada di dalam rahimnya.[1] Ribka bersusah hati karena bayi yang ada di dalam rahimnya bertolak-tolakkan satu sama lain sehingga ia pun berkata, “Jika demikian halnya, mengapa aku hidup?” (25:22). Kemudian Ribka meminta petunjuk kepada Tuhan atas kejadian itu karena ia merasa heran mengapa Allah menyembuhkan kemandulannya jika kelahiran kandungannya itu akan menyedihkan, sebab pertentangan di dalam kandungannya itu menakutkan dia.[2] Tuhan memberi jawaban atas keprihatinan dan ketakutan Ribka dalam bentuk ramalan bahwa Ribka akan menjadi ibu dari dua bangsa yang berbeda satu sama lain: “Dua bangsa ada dalam kandunganmu, dan dua suku bangsa akan terpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda” (25:23).
Perselisahan kedua anak kembar ini kemudian tampak dalam perbedaan sifat pada saat kelahirannya. Esau lahir dengan warna kulit yang merah dan seluruh tubuhnya seperti jubah berbulu (25:25), dan Yakub lahir sambil memegang tumit Esau. Sifat-sifat Esau dan Yakub ini merupakan tanda dari perilaku mereka di masa mendatang dan hubungan di antara dua bersaudara itu.[3] Kemudian bertambah besarlah kedua anak itu. Esau tumbuh sebagai seorang pemburu dan sangat dekat dengan Ishak, sedangkan Yakub tumbuh sebagai seorang yang senang tinggal di kemah dan sangat dekat dengan Ribka (Lih. 25:27-28).
b. Permulaan  Konflik
Konflik Esau dan Yakub mulai tampak secara nyata ketika Esau menjual hak kesulungannya kepada Yakub (25:29-33). Hal ini tampaknya menjadi permulaan terpenuhinya firman Ilahi sewaktu Esau dan Yakub masih dalam kandungan (25:23). Esau menjual hak kesulungannya kepada Yakub, padahal hak kesulungan ini menurut peraturannya berarti memberikan bagian warisan dua kali lipat[4]. Demikianlah dikatakan bahwa hanya demi bubur kacang yang kemerahan (25:30,34), Esau memandang ringan hak kesulungannya itu (25:34). Ia bisa dengan mudah menjual hak kesulungannya kepada Yakub hanya demi makanan.
Konflik di antara mereka kian meruncing ketika Yakub menipu Esau dengan mengambil alih berkat hak anak sulung dari Ishak, ayahnya. Penipuan ini nampaknya menjadi akibat dari sikap pilih kasih yang dilakukan oleh Ishak dan Ribka terhadap anak-anak mereka (bdk 25:28). Karena sikap pilih kasih inilah, berkat yang semula dimaksudkan untuk Esau telah jatuh ke dalam diri Yakub atas rencana Ribka (lih. 27: 5-17) yang berani menanggung kutuk atas penipuan tersebut (27:13).
Puncak konflik terjadi ketika Esau mengetahui penipuan yang telah dilakukan Yakub terhadap dirinya. Esau meraung-raung sangat keras dalam kepedihannya atas penipuan tersebut dan memohon berkat yang sama kepada ayahnya (lih. 27:34-35). Kepedihan hati Esau ini dapat dimaklumi mengingat ia telah ditipu oleh Yakub untuk yang kedua kalinya. Pertama, ketika Esau menyerahkan hak kesulungannya dan ditukar dengan makanan. Kedua, Yakub mengambil alih berkat dari Ishak yang seharusnya menjadi miliknya. Karena dua penipuan inilah, Esau menaruh dendam kepada Yakub, “Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi, pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh” (27:41). Dalam kitab suci, kata-kata ini menjadi ucapan terakhir dari Esau sampai akhirnya kedua bersaudara ini bertemu lagi bertahun-tahun kemudian. Mendengar ancaman itu, Yakub menjadi ketakutan dan melarikan diri dari keluarganya. Demikianlah dua bersaudara itu telah berubah menjadi musuh dan terpisah satu sama lain.
Narasi Yakub dan Esau Paska Meledaknya konflik
Yakub
Ketika Ribka mendengar ancaman Esau terhadap Yakub (lih 27:41), ia kemudian menyuruh Yakub agar melarikan diri ke Mesopotamia, tempat tinggal Laban, saudaranya. Tujuan Ribka menyuruh Yakub agar melarikan diri ini tampaknya bukan semata-mata karena ia mau menyelamatkan Yakub dari kemurkaan Esau saja, melainkan karena ia juga mau menyelamatkan Esau. Hal ini tampak dalam ucapannya pada 27:45b, “Mengapa aku akan kehilangan kamu berdua pada satu hari juga?” Ungkapan ini merupakan kekhawatiran atas kematian Yakub dan Esau sekaligus karena kalau Esau membunuh Yakub, maka ia sendiri akan kena hukum pembalasan di bumi (bdk. Bil 35:19) sehingga Esau pun harus dibunuh. Rencana Ribka ini menyebabkan ia harus kehilangan Yakub, dan diperlukan waktu dua puluh tahun sebelum Yakub kembali ke rumah.[5]
Yakub pun menuruti permintaan Ribka dan pergi. Akan tetapi kalau kita baca secara cermat, alasan kepergian Yakub ini agak berbeda dengan alasan kepergian pada cerita sebelumnya (konflik dengan Esau). Yakub seakan-akan tidak melarikan diri dari kemarahan Esau melainkan pergi untuk mencari istri yang sesuai.
Menurut tradisi P, kisah kepergian Yakub untuk mencari istri ini (27:46-28:9) merupakan lanjutan dari 26:34-35 yang mengungkapkan ketidakpuasan Ribka atas perkawinan Esau dengan perempuan Kanaan (bdk 27:46). Akhirnya Yakub pun tidak dibunuh, ia pergi dengan kegembiraan untuk mencari istri kepada sanak familinya sambil membawa berkat dari ayahnya.[6]
Berkat yang diberikan Ishak terhadap Yakub pada saat perpisahan ini tampaknya menjadi peneguhan berkat wasiat Ishak sebelumnya yang secara langsung meneguhkan berkat Yakub ini dengan berkat yang diberikan Allah di dalam perjanjian-Nya dengan Abraham, yaitu janji tentang keturunan dan tanah. Yakub telah menjadi pembawa berkat[7]. Esau pun kemudian mencontoh Yakub dengan memperistri seorang wanita dari kalangan keluarga ayahnya, yaitu Mahalat, anak Ismael, cucu Abraham (lih. 28:8-9).
Di sini kembali ditekankan bahwa berkat merupakan kekuatan yang menyangkut keseluruhan, dimana berkat tidak bisa dikembalikan atau dirubah. Agustinus mengatakan bahwa pemberian berkat kepada Yakub bukanlah suatu penipuan, melainkan suatu misteri yang tidak pantas disedihkan[8]. Yakub adalah pembohong, tetapi ia pun adalah pembawa janji dan berkat.
b. Allah menyertai perjalanan Yakub
Dalam mimpi Yakub di Betel (28:10-22), Allah telah menyatakan diri kepada Yakub dan menyampaikan kembali janji-Nya. Allah menyatakan diri sebagai Allah Abraham dan Allah Ishak, serta menjamin Yakub dengan perlindungan dan kehadiran ilahi dalam perjalanannya. “Akulah Tuhan, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; …sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu” (28: 13a,15). Pernyataan diri Allah ini menjadi pertanda bahwa Allah tetap menyertai Yakub, sekalipun Yakub telah berbuat licik terhadap kakaknya. Warisan perjanjian yang telah disampaikan melalui berkat Ishak sekarang secara langsung diteguhkan oleh Allah. Makna mimpi ini adalah kontaks dengan Allah, pencipta bumi dimana “utusan” (malaikat Allah) hadir menyampaikan kehendak ilahi[9]. Mimpi Yakub ini juga adalah suatu teofani dimana Allah tampak dan memperbarui perjanjian-Nya, yaitu perjanjian akan tanah dan keturunan. Janji tentang keturunan ini menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi (bdk. Kej 12:3, 26:3-4).
Di samping itu, perlindungan Allah terhadap Yakub (28:15) menunjukkan bahwa perlindungan Allah diperluas, seperti kuasa Yahwe, melewati batas daerah khusus Kanaan.[10] Allah tidak hanya melindungi Yakub di Kanaan saja, tetapi juga di luar Kanaan. Perlindungan Allah terhadap Yakub tidak terbatas lagi oleh tempat dan tanah tertentu. Dengan demikian, Betel menjadi simbol penghubung antara masa lalu Yakub di tanah Kanaan dan masa depannya di Haran.[11]
c. Pergumulan dengan Allah
Pada Kej 32:1-21, dikisahkan bahwa Yakub mengirim utusan kepada Esau dengan harapan akan memperoleh kemurahan hatinya. Akan tetapi, ketika utusan itu kembali dan melaporkan bahwa Esau sedang dalam perjalanan untuk menemuinya bersama empat ratus orang, Yakub menjadi ketakutan sehingga ia memisahkan rombongannya menjadi dua kelompok agar terhindar dari bencana total. Setelah itu, Yakub berpaling kepada Allah dan berdoa (32:9). Doa Yakub ini mengungkapkan keadaan dirinya yang cemas dan meminta bantuan Allah dengan mengingatkan kembali janji-Nya.
Setelah itu, Yakub membagi rombongannya menjadi tiga kelompok, masing-masing berjalan mendahuluinya untuk berjumpa dengan Esau. Sementara itu, setelah semua rombongannya berangkat dan Yakub tinggal seorang diri, Yakub diserang oleh seseorang dan mereka berdua bergumul sampai fajar (32:23-24). Dalam pergumulan tersebut tidak disebutkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, namun dalam ay 9 disebutkan bahwa si penyerang itu tidak bisa mengalahkan Yakub sehingga ia kemudian memukul sendi pangkal paha Yakub. Pada ay 26, orang itu meminta dilepaskan supaya bisa pergi. Yakub tidak melepaskan orang itu begitu saja, tetapi ia meminta berkat kepadanya.
Pergumulan Yakub di atas dapat diartikan sebagai pergumulan batin dan berhasilnya doa yang dipanjatkan kepada Allah dengan tekun.[12] Setelah menghadapi Esau dan Laban, kini Yakub berhadapan dengan Allah sendiri. Dan sejak pergumulannya dengan Allah inilah sifat Yakub berubah menjadi seorang yang terhormat dan tulus sampai pada kematiannya. Di samping itu, Yakub, yang telah menyandang nama baru, yaitu Israel (32:27-28), dalam hidupnya mengungkapkan suatu perjuangan Israel dengan Allah selaku bangsa yang mempunyai perjanjian.
d. Pertemuan Yakub dan Esau
Setelah sekian lama berpisah, akhirnya Esau dan Yakub bertemu kembali secara dramatis (Kej 33). Pertemuan kedua bersaudara ini seakan-akan menjadi antiklimaks dari perselisihan mereka. Persiapan Yakub yang banyak untuk menghormati Esau pun ternyata memang efektif. Esau tidak lagi menyimpan dendam terhadap Yakub, sebaliknya, ia menyatakan sukacitanya atas pertemuan tersebut. Dalam kitab suci digambarkan bahwa Esau berlari mendapatkan Yakub, memeluk lehernya, menciumnya, dan mereka menangis satu sama lain (bdk. 33:4). Yakub pun mengalami sukacita yang sama. Bahkan ia menyatakan bahwa pertemuannya kembali dengan Esau ini dianggap sebagai pertemuan dengan Allah. Yakub berkata, “… karena memang melihat wajahmu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah, dan engkau pun berkenan menyambut aku” (33:10).
Dari kisah pertemuan ini, tampak bahwa melalui pergumulan dan perjalanan yang panjang, kedua bersaudara yang saling bertikai ini akhirnya berdamai kembali. Dua bersaudara ini, khususnya Yakub, telah melewati masa yang panjang untuk bergumul baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain sampai akhirnya mereka berekonsiliasi satu sama lain. Walaupun pada akhirnya Esau dan Yakub berpisah kembali (33:12-20), akan tetapi pertemuan yang singkat itu telah menjadi “ruang” dimana dua pihak yang saling berselisih dapat saling bertemu dan berdamai kembali.
IV. Rekonsiliasi
a. Pengertian
Rekonsiliasi berasal dari bahasa Latin reconciliatio yang kata kerjanya adalah reconciliare. Reconciliare berarti kembali,membangun kembali, memperbaharui, merukunkan. Terjemahan Yunani dari reconsiliare ini adalah katalassein yang berartiberubah sikap. Kata ini kemudian menjadi bahasa keagamaan yang memiliki makna relasional dalam merefleksi tentang dosa, sesal, tobat, silih, ampun, dan penyembuhan luka-luka batin.[13] Sementara itu Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, dalam Kamus Teologi, mendefinisikan rekonsiliasi sebagai perdamaian kembali atau pemulihan persahabatan sesudah keadaan konflik dan saling menjauhi diatasi.
Sedangkan John Paul Lederach mendefinisikan rekonsiliasi ini dengan mengacu pada kisah Esau dan Yakub. Menurutnya, rekonsiliasi berarti berlari dan memeluk sebagaimana Esau berlari dan memeluk Yakub. Dari pandangan Lederach ini makarekonsiliasi harus dibedakan dengan memaafkan. Rekonsiliasi adalah “perjalanan” atau proses menuju perdamaian,[14]sedangkan memaafkan identik dengan melupakan kesalahan. Dalam memaafkan, seringkali perdamaian terjadi karena adanya sikap saling melupakan kesalahan masa lalu. Sedangkan dalam rekonsiliasi, kesalahan masa lalu itu belum tentu dilupakan, melainkan tetap diolah sebagai proses menuju perdamaian.
b. Beberapa Metafor
Berdasarkan kisah Esau dan Yakub yang telah dibahas pada Bab II dan Bab III, tampak bahwa Yakub yang telah melarikan diri dari Esau dan keluarganya akhirnya berani kembali kepada Esau. Apa yang membuat Yakub berani untuk kembali? Apa yang membuat hati Esau luluh sehingga mau berdamai dengan Yakub? Apa makna keterpisahan mereka dalam proses rekonsiliasi? Apakah ini juga merupakan suatu penyelenggaraan ilahi? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis mencoba mencari jawabannya dengan mengacu pada beberapa metafor seperti halnya dikemukakan oleh Lederach.[15]
1. Rekonsiliasi sebagai “perjalanan”
Metafor rekonsiliasi pertama yang dapat diambil dari lingkaran kisah Esau dan Yakub adalah “perjalanan”. Yakub telah melarikan diri dan mencari jarak dari konflik sehingga ia harus berpisah dari Esau dan keluarganya. Bagi Yakub, bisa jadi perjalanan keberpisahan ini merupakan bentuk pelarian diri dari rasa takut dan juga karena rasa bersalahnya yang tidak bisa dihadapinya sendiri. Sedangkan bagi Esau, hal ini merupakan pengalaman pahit dan menyakitkan dari ketidakadilan yang dialaminya. Akan tetapi, kita tidak boleh menganggap bahwa kepergian Yakub ini merupakan bentuk pelarian diri dari konflik. Kita perlu menyadari bahwa kepergian Yakub ini merupakan salah satu jalan untuk mencapai rekonsiliasi yang di dalamnya mengandung misteri ilahi. Lederach mengungkapkan bahwa misteri rekonsiliasi itu adalah aspek yang paling utama dalam perjalanan.[16] Kembalinya Yakub kepada Esau bukanlah karena hasil dari perjuangan Yakub sendiri, melainkan juga karena adanya kehendak Allah.
Yakub telah mengalami proses perjuangan yang panjang dalam mengahadapi rasa takutnya sendiri terhadap Esau sampai akhirnya ia mempunyai kekuatan untuk kembali. Ia telah berusaha mengolah ketakutannya menjadi keberanian untuk kembali melalui proses refleksi dan perjuangan yang panjang. Dalam Kej 31:3 Allah berfirman kepada Yakub, “Pulanglah ke negeri nenek moyangmu dan kepada kaummu, dan Aku akan menyertai engkau.” Firman Allah ini bagi Yakub berarti bahwa ia harus kembali untuk mengahadapi “musuhnya,” yaitu Esau. Maka sebagai perjalanan, rekonsiliasi memiliki dua unsur penting yaitu pengalaman jatuh dan perjuangan untuk bangun kembali.
Akhirnya bisa dikatakan bahwa rekonsiliasi adalah suatu perjalanan menuju dan melalui konflik. Dalam contoh ini, Allah tidak menjanjikan bahwa Ia akan melindungi Yakub dalam seluruh perjalanannya, tetapi Ia berjanji bahwa Ia akan menyertai Yakub sampai kapan pun.[17]
Dari metafor ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa proses pertama dari rekonsiliasi adalah sikap mengambil jarak dari konflik sehingga kita dapat melihat konflik secara lebih jujur dan terang. Sikap ini bukan berarti mau melarikan diri dari konflik, melainkan untuk mengambil waktu agar dapat melihat konflik dalam kacamata rohani-spiritual. Pergi dari konflik berarti menarik diri untuk berefleksi untuk kemudian kembali lagi.
2. Rekonsiliasi sebagai “pertemuan”
Rekonsiliasi adalah suatu pertemuan dimana kedua belah pihak yang berkonflik saling bertemu satu sama lain, saling berlari mendapatkan dan saling memeluk (bdk. Kej 33:4). Dalam perjalanan Yakub, kita bisa melihat adanya tiga pertemuan yang dialami Yakub, yaitu pertemuan dengan dirinya sendiri, dengan sesama (termasuk musuh) dan dengan Allah.
Perjalanan konflik menuju suatu rekonsiliasi selalu melibatkan pertemuan dengan diri sendiri. Dalam perjalanan Yakub, pertemuan dengan diri sendiri ini tampak dalam sikapnya yang mau menghadapi rasa takutnya dan juga masa lalunya. Hal ini bisa dilihat dalam pergulatan Yakub dengan Allah (Kej 33:22-32). Pergumulan ini bisa dipahami sebagai pergumulan melawan masa lalu dan rasa takutnya terhadap masa depan. Pergumulan atau pertemuan dengan diri sendiri ini akhirnya membuat Yakub mampu bertemu dengan Allah, yang kemudian memanggilnya untuk kembali.
Rasa takut dan rasa bersalah terjadi karena adanya suatu pengalaman atau peristiwa yang berhubungan dengan orang lain. Perasaan bersalah dan takut yang dialami Yakub pun terjadi sebagai akibat dari relasinya yang buruk dengan orang lain, yaitu Esau. Maka pertemuan kedua, setelah bertemu dengan diri sendiri adalah bertemu dengan orang lain, sebagaimana Yakub bertemu dengan Esau dari muka ke muka. Maka rekonsiliasi membutuhkan keberanian untuk bertemu dengan orang-orang yang kita takuti apa pun resikonya.
Sedangkan rekonsiliasi dikatakan sebagai pertemuan dengan Allah terjadi ketika kita mengalami bahwa musuh yang semula kita takuti telah berubah menjadi sahabat atau saudara yang terbuka dan penuh kasih. Hal ini kelihatannya memang paradoks. Ketika kita bergumul dalam ketakutan dan kegelapan jiwa kita, kita bergumul dengan Allah, dan ketika kita kembali kepada musuh, kita kita melihat wajah Allah.[18] Tetapi itulah perjalanan rekonsiliasi seperti juga yang dialami oleh Yakub. Yakub telah bergumul dengan Allah, yang berarti bergumul dengan dirinya sendiri, sampai akhirnya ia bertemu Allah yang tampak dalam diri Esau.
Dengan demikian, rekonsiliasi dalam metafor ini merupakan proses transformasi konflik menuju perdamaian. Pertemuan dengan diri sendiri dan dengan Allah merupakan saat untuk merefleksikan pengalaman dan peristiwa konflik. “Pertemuan” merupakan saat untuk melihat diri sendiri dan juga orang lain secara baru, dimana Allah hadir dan membimbing kita. Setelah menraik diri dari konflik, kita mempunyai waktu untuk “diam” bersama Allah dalam refleksi guna mencari makna, nilai dan juga jalan ke luar dari konflik yang dihadapi.
3. Rekonsiliasi sebagai “tempat”
Perjalanan selalu membawa kita pada suatu tempat tertentu. Akan tetapi tempat atau ruang ini bukanlah suatu tujuan terakhir karena perjalanan selalu melewati berbagai tempat yang selalu baru. Masing-masing pertemuan pun, baik itu pertemuan dengan diri sendiri, dengan Allah, maupun dengan sesama, selalu berada pada tempat atau ruang tertentu yang selalu berbeda. Tempat adalah ruang dan waktu dimana hal-hal yang konkret turut serta dalam perjalanan. Dalam kisah Esau dan Yakub, tempat ini ditandai, dinamai dan dikenang. Tempat merupakan suatu ruang dimana orang dapat bertemu dengan musuh, Allah dengan umat-Nya, dan individu-individu memasuki dirinya sendiri untuk memperoleh kesadaran baru.[19]
Rekonsiliasi pun merupakan perjalanan dimana melalui perjalanan ini kita berusaha untuk mencapai tempat tertentu. Rekonsiliasi adalah tempat untuk saling bertemu, dimana Allah hadir dalam setiap diri manusia.
Dalam rekonsiliasi antara Esau dan Yakub, tempat pertemuan bukanlah tujuan akhir dari mereka. Perjalanan mereka masih terus berlangsung dan kedua bersaudara ini tidak tnggal bersama lagi. Memang rekonsiliasi selalu diwarnai tempat dan pertemuan tertentu, akan tetapi tempat dan pertemuan ini akhirnya selalu menjadi titik awal untuk suatu perjalanan yang baru, sebagai hidup baru yang harus ditempuh.
Dengan demikian, dari metafor ke tiga ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tempat merupakan titik balik untuk kembali menghadapi konflik yang sempat ditinggalkan. Setelah menarik diri dan melakukan refleksi, konflik kembali dihadapi dengan sikap yang sama sekali baru. Tempat tidak lagi menjadi pertemuan yang memperuncing konflik, tetapi berubah menjadi ruang untuk saling berdamai dan menjalani hidup yang baru.
c. Spiritualitas rekonsiliasi
Rekonsiliasi pada akhirnya mampu menciptakan kedamaian hidup. Konflik dan kekerasan berubah menjadi persaudaraan, ancaman berubah menjadi berkat. Kalau kita berani menyikapi konflik dalam kacamata kedalaman spiritual, maka kita akan mampu mentransformasikan hidup dari ketakutan dan ketidaknyamanan menjadi keadilan dan damai. Melalui rekonsiliasi, Allah mengundang kita pada relasi damai yang baru.[20]
Hidup dalam Roh Allah yang penuh kedamaian adalah suatu peziarahan hidup yang terus-menerus mengalir. Maka spiritualitas rekonsiliasi berarti hidup dalam kehadiran Allah sehingga kita mampu mencintai orang lain, bertahan dalam segala rintangan, dan berani berdamai dengan lawan. Di sini, rekonsiliasi bukanlah pertama-tama suatu strategi untuk menciptakan perdamaian, melainkan spiritualitas hidup yang menuntun pada perdamaian. Ketika kita mencari dimensi spiritual perdamaian, baik di dalam hati dan jiwa kita sendiri maupun di dalam diri orang lain, maka kita memasuki transformasi dalam diri Allah yang terus menerus, yaitu transformasi dari kehancuran diri menuju pada kerajaan Allah yang penuh kedamaian dan keadilan.[21]
Dengan demikian, rekonsiliasi kita pahami harus kita pahami sebagai spiritualitas hidup. Robert J. Schreiter mengungkapkan bahwa ada tiga karakteristik dari spiritualitas rekonsiliasi sebagai spiritualitas hidup ini, yaitu: [22]
1. Sikap mendengar dan menunggu
Pada sikap ini kita harus memberi kesempatan kepada para korban kekerasan dan penderitaan untuk menceritakan kembali kisah hidup mereka. Hal ini bertujuan untuk memetakan kekerasan dan penderitaan agar kita mampu membatasi atau mengurangi kekerasan itu. Maka pelayan rekonsiliasi pada taraf ini adalah menjadi seorang pendengar yang setia. Disamping itu, kita harus bersikap menunggu. Menunggu adalah suatu kemampuan aktif untuk membedakan antara ilusi dan kenyataan hidup[23]. Menunggu berarti menjadi tenang dan senang dengan diri sendiri dan dengan sesama, sekaligus sambil menantikan Allah dan perdamaian rahmat Allah. Menunggu juga merupakan sikap untuk membiarkan kenangan-kenangan yang menyakitkan untuk muncul kembali supaya luka-lukanya dapat disembuhkan, dan dengan demikian, maka terciptlaha rekonsiliasi di dalam hati.
2. Perhatian dan keprihatinan
Perhatian itu tumbuh dari sikap belajar menunggu. Perhatian ini harus dibangun jika rekonsiliasi benar-benar ingin terjadi. Karenanya, perhatian membutuhkan ketenangan hati. Sebagaimana setiap spiritualitas tidak dapat diharapkan berkembang tanpa secara teratur mengarahkan perhatiaannya pada Allah, demikian juga perhatian untuk menyembuhkan kenangan-kenangan yang sakit merupakan inti dalam pelayanan rekonsiliasi. Dengan demikian, perhatian merupakan dasar keprihatinan, dasar suatu kemampuan untuk menunggu dan berada bersama, agar bisa berjalan berdampingan bersama para korban kekerasan dan penderitaan.
3. Spiritualitas rekonsiliasi adalah mental pasca-pembuangan[24]
Di sini Schreiter menandaskan bahwa masyarakat baru itu harus terbentuk di atas puing-puing masyarakat lama. Pengalaman pembuangan akan memberi suatu pandangan baru terhadap orang-orang yang kembali dari pembuangan. Kalau kita merenungkan peristiwa pembuangan pada saat sekarang, maka hal ini dapat mendukung spiritualitas rekonsiliasi, yaitu rekonsiliasi yang mengalir dari dalam hati.
Dari ketiga karakteristik spiritualitas rekonsiliasi ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rekonsiliasi bukanlah semata-mata suatu tugas dan kewajiban, melainkan juga suatu panggilan hidup bagi kita semua. Dengan spiritualitas rekonsiliasi, kita mampu membangun semangat rekonsiliasi di dalam diri kita sendiri sekaligus menjadi pelayan rekonsiliasi bagi orang lain.
Di samping itu, rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan konkret. Rekonsiliasi adalah suatu spiritual yang berhubungan langsung dengan pengalaman nyata manusia. Rekonsiliasi bukan hanya menjadi urusan keagamaan saja tetapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi, sosial, budaya dan politik. Mahatma Gandhi mengatakan bahwa agama dan politik bukanlah dua entitas yang terpisah, kedua-duanya merupakan pelayanan hidup bagi Allah dan bagi kemanusiaan.[25]
V. Penutup
Kisah Esau dan Yakub merupakan salah satu contoh bibles dari perjalanan manusia dalam relasinya dengan sesama. Dari kisah ini kita tidak hanya menemukan konflik semata-mata, tetapi juga kita menemukan bagaimana konflik itu diatasi. Konflik merupakan kisah hidup yang harus dihadapi sekaligus dilalui. Rekonsiliasi adalah proses bagaimana konflik itu direfleksikan dan diolah di hadapan Allah dalam terang kehendak-Nya sehingga konflik pada akhirnya dapat diatasi. Maka, rekonsiliasi merupakan suatu perjalanan dalam dan melalui konflik. Hanya kehendak Allah sendirilah yang mampu membawa manusia pada rekonsiliasi sejati yaitu damai baru dan hidup baru dalam ikatan kaih.
Rekonsiliasi akhirnya merupakan proses yang hanya bisa dicapai dengan bantuan rahmat Allah. Manusia tidak bisa mengendalikan konflik tanpa adanya campur tangan dan penyertaan Allah karena manusia seringkali tidak terlepas dariself-interest yang bersembunyi di balik tindakan-tindakannya, termasuk tindakan rekonsiliasi itu sendiri. Allah yang telah menciptakan alam semesta ini baik adanya tidak menghendaki adanya kekacauan dan perpecahan yang merusak. Dengan demikian, Allah sendirilh yang menjadi tumpuan kita dalam mentransformasi konflik menjadi suasana hidup yang damai dan tenteram.
Di samping itu, rekonsiliasi juga mengandung misteri ilahi yang tidak dapat terselami sepenuhnya oleh manusia. Konflik seringkali menjadi sarana Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya. Hal ini tampaknya paradoksal karena Allah yang menghendaki perdamaian malah menggunakan konflik untuk menciptakan perdamaian itu. Allah yang memilih Yakub untuk menjadi penerus perjanjian-Nya, telah mengakibatkan Yakub harus berkonflik dengan saudaranya dan juga dengan dirinya sendiri sehingga ia harus mengalami “petualangan” panjang untuk sampai pada kesadaran akan kehendak Allah tersebut. Demikian pun dengan kita. Konflik menjadi titik balik iman dan harapan kit terhadap Allah. Berbagai pengalaman dalam perjalanan hidup kita – termasuk di dalamnya konflik – menyadarkan kita bahwa kita ini sedng berziarah menuju “tanah terjanji” yaitu kerajaan surgawi di mana tidak ada lagi perseteruan.
Dengan demikian, rekonsiliasi merupakan perjalanan eskatologis menuju kerajaan surgawi. Kalau kita membandingkan kisah Esau dan Yakub dengan Mzm 23, maka kita akan menemukan tujuan akhir rekonsiliasi ini. Rekonsiliasi itu bagaikan perjalanan dalam lembah kelam yang menakutkan; tanpa penyertaan Allah tidak mungkin dapat dilewati. Karena penyertaan Allah inilah, kita bisa sampai pada perjamuan di mana kita bisa duduk sehidangan dengan musuh-musuh kita. Pengalaman masa lalu yang menakutkan dan musuh yang semula menjadi ancaman, berubah menjadi kedamaian yang penuh cinta, di mana Allah hadir bersama-sama dengan kita dalam perjamuan-Nya yang kudus.
Akhirnya, rekonsiliasi menjadi panggilan bagi kita semua. kita dipanggial untuk membangun spiritualitas rekonsiliasi di dalam diri kita sendiri sekaligus menjadi pelayan rekonsiliasi bagi orang lain. Semangat rekonsiliasi yang kita timba dalam “pergumulan” dengan Allah hendaknya diimplementasikan dalam hidup sosial-kemasyarakatan kita agar tercipta tatanan dunia baru sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian, mengahayati rekonsiliasi sebagai perjalanan berarti membangun semangat “sehati sejiwa.”[26] Kita semua dipanggil untuk membangun persaudaraan sejati dalam perjalanan menuju Allah dengan cara menyediakan diri bagi pelayanan rekonsiliasi di dunia ini.
Dafta Pustaka
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris, ed., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yoryakarta: Kanisius, 2002.
Brown, Raymond E., S.S., dkk., ed., The New Jerome Biblical Commentary, New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1990.
Dear, John, The God of Peace: Toward A Theology of Nonvolence, New York: Orbis Books, 1994.
Guthrie, D., dkk., ed., Tafsiran Alkitab Masa Kini 1(Kejadian-Ester), Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998.
Lederach, John Paul, The Journey Toward Reconciliation, Waterloo: Herald Press, 1999.
Schreiter, Robert J., Reconciliation: Mission and Ministry in A Changing Social Order, New York: Orbis Books, 1992.
———–, Rekonsiliasi: Membangun Tatanan Masyarakat Baru, Ende: Nusa Indah, 2000.
Seputra, A. Widyahadi, dkk., ed., Rekonsiliasi: Menciptakan Hidup Damai dan Sejahtera – Tinjauan Perspektif Religius. Jakarta: APP-KAJ, LDD-KAJ dan Komisi PSE-KWI, 2001.
O’Colllins, Gerald dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

[1] Dianne Bergant dan Robert J. Karris, ed., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yoryakarta: Kanisius, 2002, hlm. 62.
[2] Tafsiran Alkitab Masa Kini 1(Kejadian-Ester). Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998, hlm. 115.
[3] Dianne Bergant, Op. Cit., hlm. 62.
[4] Tafsiran Alkitab Masa Kini, Op. Cit., hlm. 116.
[5] Raymond E. Brown, S.S., dkk., ed., The New Jerome Biblcal Commentary. New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1990, p. 30.
[6] Ibid., p. 30.
[7] Ibid., p. 30. Lih. Mal 1:3, “Namun Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau”. Ungkapan cinta dan benci di sini bukanlah soal perasaan atau emosi melainkan menunjuk pada kepastian bahwa Israel-lah yang dipilih Allah, bukan Edom.
[8] Ibid., p. 29.
[9] Ibid. p. 30.
[10]Tafsiran Alkitab Masa Kini, Op. Cit., hlm. 119.
[11] Dianne Bergant, Op. Cit., hlm. 64.
[12] Ibid., hlm. 75.
[13] A. Widyahadi Seputra, ed., Rekonsiliasi: Menciptakan Hidup Damai dan Sejahtera – Tinjauan Perspektif Religius. Jakarta: APP-KAJ, LDD-KAJ dan Komisi PSE-KWI, 2001, hlm. 79.
[14] John Paul Lederach, The Journey Toward Reconciliation. Waterloo: Herald Press, 1999, p. 20-21.
[15] Ibid., p.22-26.
[16] Ibid., p. 21.
[17] Ibid., p. 23.
[18] Ibid., p. 25.

A.    Jenis Konflik:
         Dalam konflik Yakub dengan Esau terjadi konflik substansial, Yakub yang artinya ‘penipu’ (‘memegang tumit seseorang’; Kej 25:26; 27:36; Hos 12:3; Yer 9:4), telah memulai konflik mengenai fakta (perebutan hak kesulungan dan warisan keluarga), nilai (Esau kehilangan pengakuan social bahwa dirinya adalah pengganti orangtua  secara social  dan keagamaan[i]) dan tujuan (Ribkah agar Yakub yang diberkati) terhadap kakaknya Esau.
B.     Penyebab Konflik[ii]
Perbedaan  Pendapat yang mengakibatkan perlakuan diskriminatif. Perbedaan pendapat orangtua Yakub menjadi pemicu terjadinya konflik. (Ishak lebih suka Esau dan Ribka  lebih menyukai Yakub) Kej 25:28.
Salah satu dari keduabelah pihak merasa dirugikan. Dalam Hal ini Esau merasa dirugikan karena merasa ditipu hak kesulungannya dan direbut hak waris yang disiapkan Ayahnya Ishak kepadanya, serta secara tidak langsung diturunkan dari pengakuan social/masyarakat bahwa dirinya seharusnya sebagai pengganti kepala keluarga dalam mengemban tanggung jawab social dan keagamaan.[iii]
Dipengaruhi pihak lain baik secara sengaja maupun tidak. Ketika Yakub menggeser Esau dan memperoleh berkat ayahnya, Ribka mengambil prakarsa dan merencanakan tindak penipuan itu (Kej 27:5-17). Setelah berhasil, karena takut Esau akan membunuh Yakub, Ribka menyuruh Yakub lari ke Haran kepada paman Yakub, Laban. Ribka membenarkan perbuatan itu kepada Ishak dengan saran, Yakub harus mencari istri dari kaum mereka sendiri (Kej 27:42-28:5).[iv]
C.      Tahap-tahap Terjadinya Konflik.
1)  Berawal perlakuan orangtua yang diskriminatif (Yakub selaku ayah lebih suka kepada Esau dan Ribka sebagai ibu lebih menyukai Yakub) terhadap kedua anaknya, Kej 25:28. 3) Kelicikan Yakub, berakibat Esau menjual hak kesulungan, Kej 25:29-34 dan berakibat Ishak salah memberikan berkat, Kej 27:27-29. 4) Kelicikan Ribka, mempengaruhi Yakub supaya mengelabui Ishak, Kej 27:5-17. 5) Kecerobohan Esau, mengakibatkan hak kesulungannya jatuh ke tangan Yakub, Kej 25:29-34 6) Tidak bertanya kepada Tuhan, Sempat ragu terhadap siapa orang yang akan diberkati tetapi tetap memberkati, Kej. 27:18-19. 7) Terjadilah kesalahan fatal, berkat yang semestinya diterima oleh Esau menjadi milik Yakub, Kej 27:27-29.  Inilah yang akhirnya menjadi pemicu terjadinya konflik sehingga Esau kecewa terhadap Yakub, Kej 27:36.
D.    Akibat Konflik 
Akibat Positif.: Rencana Tuhan tetap berlaku, rekonsiliasi antara Yakub dan Esau, dalam masa keterpisahan masing-masing mengalami pematangan rohani, dan pada akhirnya terjadi perubahan sikap yang positif pada keduanya.
Akibat Negatif. Esau : marah, benci, dendam dan keinginan untuk membunuh adiknya Yakub (Kej.27:41) Bagi Yakub: Hidup dihantui ketakutan, bersembunyi dan terpisah dari keluarga, masyarakat dan orang-orang yang dikasihi. Terjadi permusuhan yang berkelanjutan di antara kedua suku. (Bil 20:18-21;1Raj 11:14; Mazm 137:7)
E.     Penyelesaian Konflik/Managemen Konflik.
Fakta

ESAU    YAKUB      
Anak Sulung, Secara hukum berhak menerima warisan,    Tidak berhak      
Arti teologis “penolakan” tidak dipilih Allah;. Mal 1:2; Rom 9:13; Ibr 12:16    Melambangkan orang yang dipilih Allah (dipilih sebelum lahir); Mal 1:2; Rom 9:13; Ibr 12:16      
Hidup rohani kurang baik (kawin campur dengan perempuan kanaan); meremehkan hak kesulungan    Hidup rohani baik (tidak seperti Esau, sekalipun banyak kekurangannya).   
 Janji lisan seorang ayah kepada anaknya dapat dipertahankan di pengadilan (lih ANET, hlm 220). Maka berkat yang sudah diberikan Ishak tak dapat ditarik kembali, seperti ditekankan oleh Alkitab (Kej 27:33).
Gaya manajemen konflik yang diterapkan Ribkah dan Yakub adalah “Gaya Tanpa Konfrontasi, yaitu dengan menghindar atau menarik diri dari konflik. Ribkah mendapat izin dari Ishak supaya Yakub lari menghindari amarah Esau ke kampung asalnya di Padan Aram (Kej 28:1) untuk menikah dengan anggota sukunya.
Kategori gaya manajemen konfliknya adalah:”menghindari (kura-kura) dan kompromi (rubah)” asumsi dasar nya adalah : semua pihak yang sedang konflik akan mendapatkan titik temu dari konflik tersebut.
Taktik penanganan konflik Yakub adalah sebagai berikut: a) penundaan: Yakub menghindar dari Esau ke Laban dengan tujuan agar emosi Esau dapat reda (terlihat ketika mereka bertemu ‘Esau menangis’) b) Mengendalikan proses: Lalu Yakub sekeluarga tiba di Mahanaim. Di situ Yakub berjumpa dengan malaikat-malaikat Allah. Sesudah itu ia menyuruh beberapa orang untuk mengetahui bagaimana sikap Esau (Kej 32:1 dab). Begitu Yakub mengetahui bahwa Esau datang menjumpai dia, ia berusaha menyelamatkan setengah dari harta miliknya dan segera mengirim banyak hadiah untuk kakaknya itu.
D. Kesimpulan.
1. Pesan : Dari sudut pandang teologis, kedudukan Yakub sangat kuat karena mempunyai backup Janji Tuhan, tetapi faktor dosa, ego dan kelemahan manusia telah menyamarkan Janji Tuhan tersebut sehingga Yakub harus memperolehnya dengan caranya sendiri. Akibatnya konflik terjadi dengan Esau yang berbuntut Yakub harus menanggung akibat dari kesalahan dalam pengambilan keputusan.
            Sekalipun demikian “Jalan Tuhan” tidak dapat dihalangi oleh kelemahan dan kesalahan manusia, Allah menyatakan kehendak-Nya kepada Yakub, Allah memberi kekuatan bagi Yakub untuk mengambil keputusan tepat pada tempat yang tepat untuk memanaging konflik. Dengan keterbatasan dan karakternya Yakub mengambil pendekatan ‘persuasif’ dalam manajemen konfliknya. Tuhan memberkati dan rekonsiliasi terjadi.
2. Aplikasi : Konflik akan terus terjadi dalam kehidupan ini, menciptakan konflik untuk mendapatkan keuntungan bukanlah jalan ‘bijaksana’. Mengerti rencana Tuhan dan berhikmat dalam mengambil keputusan meminimalisir risiko akibat munculnya konflik.
            Sekalipun konflik terjadi dalam hubungan kakak beradik, tidak perlu kuatir dan takut seperti apa yang dialami Yakub, dengan pemilihan pendekatan manajemen konflik yang relevan (situasi dan kondisinya), dengan berpegang pada fakta dan firman Tuhan, seyogyanya kita (jangan seperti Yakub) mengawalinya dengan konfrontasi secara pribadi dulu, dengan tetap memperhitungkan agar ‘kemungkinan terburuk’ dapat diminimalisir atau bahkan tidak terjadi, Dengan kepekaan dari Tuhan, kita dapat mendeteksi akar konflik dan segera memberikan tanggapan atas konflik sedini mungkin, dalam penanganannya tetap berpusat pada isu konflik, mengembangkan beberapa alternative untuk penyelesaian konflik, dan bersama sama berkomitmen untuk menjaga hasil rekonsiliasi.
Di sisi lain, dalam kapasitas-Nya, Allah meneguhkan dan memberikan kehendakNya serta menguatkan kita untuk keluar dari konflik, seperti Ia meneguhkan Yakub melalui pergumulan dengan malaikat di tepi sungai Yabok sebelum bertemu Esau sekaligus mempersiapkan hati Esau untuk menerima rekonsiliasi dari Yakub.

Disampaikan dalam PA GKJ Salatiga
Doni Setyawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH