Minggu, 30 September 2018

Penyesatan, Masih Adakah Saat ini? Markus 9:38-50



Fenomena media sosial yang menggelora tanpa bisa dibendung, menjadikanbanyak orang menjadi was-was, kuatir dan bahkan sudah sampai k tahap ketkutan. Mengapa demikian? Karena memang melalui media sosial, semua informasi mengalir bagai air bah ke dalam serambi kehidupan masyarakat. Ironisnya tidak semua informasi itu benar pada dirinya sendiri. Banyak informasi yang hanya bertujuan demi kepuasan diri dan kelompok tertentu, ada informasi yang isinya hanya fitnah,makian,tuduhan, hoax dan semua yang salah dengan tujuan mendiskriditkan kelompok atau orang yang sedang tidak disukainya. Semua informasi itu tanpa filter menerobos kehidupan kita semua. Jangankan anak kecil, orang dewasapun akan sulit memilah dan kemudian memilih mana yang benar dan mana yang salah, semua sudah memiliki kepentingan dan tidak mau bercerita untuk informasi itu, melainkan menggunakan informasi demi tujuan-tujuan tertentu. Semua yang terjadi di atas kenyataan yang ada yang bisa menjadikan orang lain kebingungan, itulah yang bisa dikategorikan penyesatan.  Maka dalam ibadah minggu ini, marilah kita merefleksikan kehidupan kita, bercermin dari Alkitab, supaya tidak tersesat dan tidak menyesatkan. Kita akan belajar dari Injil Markus 9:38-50.

Kisah dalam bancaan Injil di minggu ini, 30 september 2018 sangat menarik. Ada dua bagian perikop menurut LAI, yang pertama di Markus 9 ayat 38-41 yang berkisah tentang kedegilan hati para murid yang diwakili oleh  Yohanes. Kedegilan yang tergambarkan dalam ungkapan “bukan pengikut kita”. Kedegilan hati yang langsung direspon Yesus dengan tegas dan kugas, bahwa KITA itu bukan sekedar serombongan,sekumpulan,sekelompok tertentu, namun KITA bagi Yesus bermakna sangat luas. KITA menurut Yesus adalah siapa saja yang berbuat kebaikan.Sebenarnya mengapa Yohanes merasa perlu melapor kepada Yesus, ketika ada orang yang berbuat baik, dan itu bukan dari kelompoknya? Manusia memiliki kecenderungan untuk selalu menjadi yang nomor satu, pada bidang apapun itu. Manusia enggan tersaingi,mereka mau bersaing, namun enggan kalah. Nah, dalam titik inilah Yohanes sedang berada. Ia tidak bisa melakukan sesuatu dan pada saat bersamaan, ada “Orang lain” yang bisa melakuan tindakan itu. Disinilah Yohanes terhinggapi kecemburuan,kedengkian dan rasa iri hati berlebihan, maka dia lapor ke Tuhan Yesus. Ironisnya, bukannya dibela, justru Yohanes yang ditampar Tuhan Yesus dengan sikap dan pernyataan Tuhan Yesus.

Perikop kedua, dari Markus  pasal 9 ayat 42-50, yang berkisah tentang PENYESATAN. Digambarkan batapa  beratnya hukuman bagi siapa saja yang melakukan penyesatan . Artinya, siapapun itu,, jika melakukan penyesatan akan mendapatkan hukuman dengan api yang takterpadamkan. Yang menarik lagi adalah, Yesus memilah tentang apa saja yang bisa menyesatkan, dan itu seluruh anggota tubuh. Namun ada satu hal perlu dijadikan perhatian, meskipun Yesus tidak menyebutkan, namun terkait penyesatan itu sering terjadi dalam ranah ini :PEMAHAMAN

Yohanes memiliki pemahaman yang salah, karena berpikir bahwa yang menjadi golongannya adalah yang selalu bersamanya,yang sepaham, yang sama segalanya, yang manut dan tidak pernah memberontak, pokoknya yang selalu seragam. Itulah pemahaman Yohanes, dan ketika itu diungkapkan dihadapan Yesus, Yohanes berpikir akan dibela oleh Yesus, namun yang terjadi justru sebaliknya. Mengapa demikian? Karena dalam pandangan Yesus, PEMAHAMAN Yohanes SALAH, tidak benar, tidak hanya mereka yang grudak-gruduk saja yang harus menjadi satu golongan, namun siapa saja yang bertindak baik, itulah golongan Yesus. Menurut Yesus, konsep atau pandangan Yohanes itu menyesatkan dan bisa terjadi Penyesatan, oleh karena itu perlu dihentikan.

Pertanyaan buat kita sekarang adalah seperti judul renunganatau  di atas, Penyesatan, masih adakah saat ini? Menurut saya masih subur pertumbuhannya, baik dalam ranah konsep atau tindakan. Dan gereja justru sering melakukan itu, meski terkadang tanpa disadari. Sebagai contoh, soal perkunjungan orang sakit. Konsep yang hidup dan dihidupi adalah bareng-bareng mengunjungi yang sakit, dan itu seolah menjadi kebenaran mutlak, ketika tidak seperti itu maka penilaian yang muncul adalah SALAH, lalu mengkritik mejelis gereja. Apaka memang benar harus demikian?Nampaknya tidak, karena Yesus selalu sendirian saat mengunjungi yang sakit. Maksutnya adalah, jangan pernah memegangi satu pengalaman sebagai kebenaran mutlak, karena itu bisa menyesatkan.

Berkenaan dengan perjamuan kudus, gereja tanpa disadari telah memegangi satu konsep teologi tertentu dan itu dijaga sedemikian erat, sehingga mendiskriditkan anak. Anak dilihat sebagai “bakal manusia” yang selalu dikatakan belum dewasa,karena memang ukuran dewasa adalah usia dan menurut kaca mata orang dewasa. Bukankah ini juga meyesatkan dan bisa dikatakan penysatan?
Adakah yang lain?Silakan saudara-saudara membuat daftar untuk pribadi masing-masing..
Kembali ke persoalan Yohanes yang menuduh orang lain, meski berbuat baik, sebagai musuh karena bukan dari golongannya, nampaknya “Yohanesisme” itu masih tumbuh subur dijaman ini. Orang selalu melihat tang tidak dikenalinya sebagai lawan, sebagai “Mereka” atau “dia” dan bukan sebagai bagian dari kami. Semestinya, seperti pengalaman Yohanes, yang harus dikerjakan adalah bercapak, membangun dialog untuk kemudian bekerjasama. Sepanjang berpikir dia atau mereka, maka spirit membuka diri untuk bekerjasama sangat sempit dan itu berbahaya. Oleh karena itu, marilah kita meletakkan konsep hidup sederhana, bahwa siapapun itu, yang berbaut baik demi kebaikan bersama, kenal atau tidak kenal, dialah saudara kita dan sebaiknya diajak bekerjasama demi kebiakan yang lebih luas..

Nalen 280918

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH