Senin, 06 April 2015

Sebuah Rindu Untuk Simbah




SIMBAH
Air mata bening mengalir lamban dari ujung pelupuk mata simbah,saat kami berpamitan untuk mengakhiri liburan akhir tahun. Keriputnya kulit wajah simbah,semakin memperlambat guliran bening air mata itu. Dulu,kata simbah tetangga sebelah yang sudah meninggal,Simbah ini  berwajah cantik dan waktu mudanya menjadi idola para pemuda seusianya.
Aku takkuasa menatap kea rah wajah Simbah. Wajah yang sepanjang aku kenal selalu berupaya tesenyum, meski beban hipu berat. Aku mencoba memalingkan wajah demi menghindari rangsangan akan mengalirnya air mataku juga. Meski secara bleger aku laki-laki, namun perasaan feminis lebih dominan dalam diriku, sehingga aku sering takkuasa menahan air mata saat keharuan menyeruak sanubariku. Dulu, sering aku dijadikan bahan olok-olok,saat berkumpul dengan teman-teman,karena keadaanku ini. Namun sering kutanya pula, salahkah air mata itu mengalir untuk seorang laki-laki,ataukah itu hanya untuk kaum perempuan?
“Hati-hati semua ya,,,”Demikian simbah memesan kepada kami,sambil mencium aku,istriku dan kedua anak-anakku.
Anakku yang kedua, yang sedang tertidur,menggeliat saat eyang buyutnya mencium kening dan pipinya lama sekali, seakan menikmati curahan cinta dan bahasa kasih seorang eyang buyut,meski dalam ketertidurannya. Mungkin benar kata para cerdik pandai dan bijak bestari,tidurpun tak akan mampu menghalangi bahasa cinta antar manusia.
Simbah selalu ngudang supaya nanti anakku menjadi pegawai,menjadi seorang karyawan kantoran,yang berdasi dan jika pulang pada waktu-waktu tertentu bisa menjadi kebanggaannya.
“Sekolah yang pinter ya,,biar nanti bisa jadi pegawai” Demikian sering kata-kata Simbah kudengar. Sebuah jarapan atau doa, entahlah. Aku tidak tahu,mengapa sejak dari aku,kekudangan menjadi pejabat itu selalu dijaga Simbah, mungkin bagi simbah-dan semua warga kampung kami- menjadi pejabat atau pegawai merupakan puncak prestasi kehidupan. Aku sendiri tidak pernah berharap menjadi pejabat karena tak kuat  sekolah tinggi demi menggapai pejabat itu. Bagiku bekerja dan bisa menghidupi keluarga,bisa hidup layak dan mampu bermasyarakat sudah merupakan karunia hebat.
***
Simbah,sekarang berusia sekitar 85 tahun. Semenjak beberapa waktu lalu, semenjak pakde dipanggil Yang Maha Kuasa, harus menjalani hidup sendiri. Di rumah sendiri,rumah yang juga agak tersendiri dari rumah-rumah yang lain. Menghadap ke arah bukit di balik dusun sebelah, ada jalan menanjak di depan rumah, sekitar 50 meter,namun takterlihat dari rumah karena di tepi jurang, ada sungai gunung yang berjurang curam. Kalau malam dan apalagi hujan, bisa kubayangkan betapa sepi simbah meniti kehidupannya. Hanya suara angin menampar dedaunan pinus dan juga riuh rendah suara daun bamboo berebut  dibelai anginlah yang menjadi karib sejati.
Aku selalu ingat,waktu aku kecil,malam adalah kesunyian takterbataskan. Meski semenjak aku SMP, aku sudah terbiasa dolan dan berkumpul dengan teman-teman seusiaku. Namun saat aku kecil, malam berarti gelap yang  takterperikan. Listrik bagi kami saat itu masih merupakan benda ajaib dan selalu menjadi dambaan kami.
“Mbah, baik-baik selalu ya..” Istriku balik mencium simbah sambil memesan supaya selalu menjaga diri. Kembali aku tak kuasa menahan haru. Kupaksa mata ini menatap simbah. Rambutnya sudah hampir memutih semuanya. Lubang telinga yang biasanya dulu untuk tempat giwang atau perhiasan-perhiasan murahan khas dusun itu semakin Nampak menganga. Sepertinya sudah agak lama tak tertempati. Mungkin sudah terlalu lebar atau mungkin tidak ada lagi perhiasan milik simbah. Seingatku, dua tahun yang lalu masih ada, dan setelah nikahnya Maryoto,adik sepupuku itu,perhiasan simbah sudah tidak dipakai lagi,entah ke mana aku tidak paham. Sempat ingin aku bertanya,di mana perhiasan emas itu,namun kuurungkan niatku, selain takut menyinggung perasaan Simbah,juga karena aku merasa belum mampu membelikan perhiasan Simbah, walau hanya sekedar hadiah.
***
Aku dibesarkan oleh simbah. Sedari kecil aku tidak ikut kedua orangtuaku,karena berbagai keadaan. Semenjak kecil juga aku dikenalkan perjuangan hidup olehnya. Aku diajari mengerti apa itu kerukunan,apa itu bertani,apa itu mencari uang, apa itu perjuangan. Aku selalu diberinya petuah untuk selalu berjuang, apapun keadaannya. Dan, sebagai anak kampung yang hidup dari tanah dan lumpur,aku selalu diajari simbah mengolah tanah, menanam, membersihkan rumput, yang dalam bahasa desa kami disebut matun, memberi pupu,menyiapkan lahan, meski hal itu takpernah menjadi cita-citaku. Aku enggan berkotor-kotor dengan lumpur,aku mau ke kota. Aku ingin merubah nasib.
***
Gerimis akhir tahun pagi itu ikut mengharu  suasana. Gerimis itu seolah bersimpati pada suasana hati kami. Kabut tipis berterbangan disapu angin yang tiba-tiba meyeruap disela-sela gerimis. Gemerisik air yang menerpa daun-daun pring di ujung halaman depan, sebelah pohon mangga yang masih kokoh meski sudah mulai enggan berbuah menjadikan suasana semakin sendu. Suara burung Emprit granthil nun jauh di lereng bukit ikut mengharu suasana.
Teringat aku saat saat awal musim hujan,saat semua petani menyambut dengan ceria. Simbah selalu bangun dini hari. Menyiapkan segalanya. Dan aku, selalu dipesankannya untuk segera menyusul ke lading sepulang sekolah. Meski letih karena harus sekolah dengan berjalan kaki sekitar 9 km pulang pergi, namun semangat simbah seolah membakar naitku. Akupun seolah takmengenal apa itu letih,apa itu lelah. Kususul beliau untuk sekedar membantu sebisa dan semampu aku.
Kini, setalah aku dewasa dan berkeluarga, kami berpisah. Aku diberi jalan kehidupan di kota, bekerja sebagai karyawan rendahan demi menuntun asa. Sementara simbah masih setia di rumah itu,sendiri. Inginku sebenarnya simbah mau bersma dengan kami ke kota. Namun seribu cara merayu simbah takjua mempan mengajaknya ke tempat kami. Selalu beliau berlasan, aku menghabiskan sepertiga usiaku di rumah ini, dan aku berharap akan mengakhiri hidup juga dirumah ini. Sendiri bagi simbah bukanlah suatu musibah,justru diusia senjanya,kesendirian adalah berkah.
***
“Pak, nanti Lik Sarikun mau pulang. Yang mau diaturne mbah segera siapkan,jangan sampai lupa!” Demikian Istriku menyambutku,sepulangku dari kerja shift malam. Mata yang masih sepat karena semalaman berjaga,seakan terbuka paksa. Nitip uang buat mbah. Akhhh,,,,Aku saja masih pusing memikirkan kebutuhan hidupku di kota ini. Namun demi Simbah,demi kelegaan kami,maka itu harus aku lakukan.
“Ya,,nanti habis mandi dan ngaso barang semenit tak nemui Lik Sarikun” Jawabku,mencoba menenangkan  istriku. Aku tahu, istriku selalu mengingatkanku akan tanggungjawabku menopang hidup simbah di desa, meski dia sadar kebutuhan kami selalu menanjak naik setiap bulannya. Kuambil handuk dan kemudian aku mandi.
“Aku kira,lembur Dar,ternyata masuk malam”,Begitu Lik sarikun menyambutku sewaktu aku datang ke rumah anaknya,yang hanya berbeda RT di komplek perumahan tempat kami tinggal. Rumah anak Lik Sarikun tergolong besar untuk ukuran perantau seperti kami. Ada Garasi yang diisi mobil, pertanda Winoto, anak Lik Sarikun itu Sukses. Meski Winoto jauh lebih kemudian dari aku keberadaannya di kota ini, namun nasib menuntun ke keadaan lain dibandingkan dengan diriku.
“Simbah piye lik?Setiap aku bel kang Wasiyo selalu enggan diajak ngobrol,selalu mengatakan sehat,baik-baik saja”Demikian aku mencoba mencari informasi tentang simbah ke Lik Sarikun.
“Sehat, ya biasalah, kadang pilek,flu. Apalagi simbah kan sudah sepuh”Demikian Lik Sarikun memberi kabar seolah meyakinkanku tentang keadaan simbah.
Kembali aku membayangkan keadaan simbah. Sendiri dalam kesenjaan usianya. Aku teringat dulu, waktu aku kecil,semenjak ibu menikah lagi. Simbahlah yang menggantikan posisi ibu. Menyuapiku, ngeloni aku,menggendongku dan selalu mendongengkan aku tentang seorang bidadari cantik yang dirundung susah.
Akhh,,simbah, andai mau kau bersamaku, takkan aku selalu memikirkan keadaanmu, meski denganku di kota ini belum tentu membuatmu bahagia. Uang ratusan ribu beberapa lembar yang aku masukkan ke amplok kuserahkan ke Lik Sarikun. Kemudian aku pulang. Aku masih ngantuk.
***
Gerimis ibu kota pagi ini masih saja menghiasi bumi. Jalanan tak lagi becek karena semua telah ditutup baton,ini mungki yang sering membuat kota ini banjir. Kuayun langkah kakiku meninggalkan rumah Winoto, kutiggalkan Lik Sarikun yang bersiap untuk kembali ke kampong. Gerimis ini,membuatku semakin mengingatmu mbah…
http://ppsetyasemesta.blogspot.com/


Untuk Sahabatku yang selalu merindukan Simbah
Pada Sebuah Gerimis di akhir tahun
Tepian Rawa Pening 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH