SIMBAH
Air mata bening mengalir lamban dari ujung pelupuk
mata simbah,saat kami berpamitan untuk mengakhiri liburan akhir tahun.
Keriputnya kulit wajah simbah,semakin memperlambat guliran bening air mata itu.
Dulu,kata simbah tetangga sebelah yang sudah meninggal,Simbah ini berwajah cantik dan waktu mudanya menjadi
idola para pemuda seusianya.
Aku takkuasa menatap kea rah wajah Simbah. Wajah
yang sepanjang aku kenal selalu berupaya tesenyum, meski beban hipu berat. Aku
mencoba memalingkan wajah demi menghindari rangsangan akan mengalirnya air
mataku juga. Meski secara bleger aku
laki-laki, namun perasaan feminis lebih dominan dalam diriku, sehingga aku
sering takkuasa menahan air mata saat keharuan menyeruak sanubariku. Dulu,
sering aku dijadikan bahan olok-olok,saat berkumpul dengan teman-teman,karena
keadaanku ini. Namun sering kutanya pula, salahkah air mata itu mengalir untuk
seorang laki-laki,ataukah itu hanya untuk kaum perempuan?
“Hati-hati semua ya,,,”Demikian simbah memesan kepada
kami,sambil mencium aku,istriku dan kedua anak-anakku.
Anakku yang kedua, yang sedang tertidur,menggeliat
saat eyang buyutnya mencium kening dan pipinya lama sekali, seakan menikmati
curahan cinta dan bahasa kasih seorang eyang buyut,meski dalam ketertidurannya.
Mungkin benar kata para cerdik pandai dan bijak bestari,tidurpun tak akan mampu
menghalangi bahasa cinta antar manusia.
Simbah selalu ngudang
supaya nanti anakku menjadi pegawai,menjadi seorang karyawan kantoran,yang
berdasi dan jika pulang pada waktu-waktu tertentu bisa menjadi kebanggaannya.
“Sekolah
yang pinter ya,,biar nanti bisa jadi pegawai” Demikian
sering kata-kata Simbah kudengar. Sebuah jarapan atau doa, entahlah. Aku tidak
tahu,mengapa sejak dari aku,kekudangan menjadi pejabat itu selalu dijaga
Simbah, mungkin bagi simbah-dan semua warga kampung kami- menjadi pejabat atau
pegawai merupakan puncak prestasi kehidupan. Aku sendiri tidak pernah berharap
menjadi pejabat karena tak kuat sekolah
tinggi demi menggapai pejabat itu. Bagiku bekerja dan bisa menghidupi
keluarga,bisa hidup layak dan mampu bermasyarakat sudah merupakan karunia
hebat.
***
Simbah,sekarang berusia sekitar 85 tahun. Semenjak
beberapa waktu lalu, semenjak pakde dipanggil Yang Maha Kuasa, harus menjalani hidup
sendiri. Di rumah sendiri,rumah yang juga agak tersendiri dari rumah-rumah yang
lain. Menghadap ke arah bukit di balik dusun sebelah, ada jalan menanjak di
depan rumah, sekitar 50 meter,namun takterlihat dari rumah karena di tepi
jurang, ada sungai gunung yang berjurang curam. Kalau malam dan apalagi hujan,
bisa kubayangkan betapa sepi simbah meniti kehidupannya. Hanya suara angin
menampar dedaunan pinus dan juga riuh rendah suara daun bamboo berebut dibelai anginlah yang menjadi karib sejati.
Aku selalu ingat,waktu aku kecil,malam adalah
kesunyian takterbataskan. Meski semenjak aku SMP, aku sudah terbiasa dolan dan
berkumpul dengan teman-teman seusiaku. Namun saat aku kecil, malam berarti
gelap yang takterperikan. Listrik bagi
kami saat itu masih merupakan benda ajaib dan selalu menjadi dambaan kami.
“Mbah, baik-baik selalu ya..” Istriku balik mencium
simbah sambil memesan supaya selalu menjaga diri. Kembali aku tak kuasa menahan
haru. Kupaksa mata ini menatap simbah. Rambutnya sudah hampir memutih semuanya.
Lubang telinga yang biasanya dulu untuk tempat giwang atau perhiasan-perhiasan
murahan khas dusun itu semakin Nampak menganga. Sepertinya sudah agak lama tak
tertempati. Mungkin sudah terlalu lebar atau mungkin tidak ada lagi perhiasan
milik simbah. Seingatku, dua tahun yang lalu masih ada, dan setelah nikahnya
Maryoto,adik sepupuku itu,perhiasan simbah sudah tidak dipakai lagi,entah ke
mana aku tidak paham. Sempat ingin aku bertanya,di mana perhiasan emas
itu,namun kuurungkan niatku, selain takut menyinggung perasaan Simbah,juga
karena aku merasa belum mampu membelikan perhiasan Simbah, walau hanya sekedar
hadiah.
***
Aku dibesarkan oleh simbah. Sedari kecil aku tidak
ikut kedua orangtuaku,karena berbagai keadaan. Semenjak kecil juga aku
dikenalkan perjuangan hidup olehnya. Aku diajari mengerti apa itu kerukunan,apa
itu bertani,apa itu mencari uang, apa itu perjuangan. Aku selalu diberinya
petuah untuk selalu berjuang, apapun keadaannya. Dan, sebagai anak kampung yang
hidup dari tanah dan lumpur,aku selalu diajari simbah mengolah tanah, menanam,
membersihkan rumput, yang dalam bahasa desa kami disebut matun, memberi
pupu,menyiapkan lahan, meski hal itu takpernah menjadi cita-citaku. Aku enggan
berkotor-kotor dengan lumpur,aku mau ke kota. Aku ingin merubah nasib.
***
Gerimis akhir tahun pagi itu ikut mengharu suasana. Gerimis itu seolah bersimpati pada
suasana hati kami. Kabut tipis berterbangan disapu angin yang tiba-tiba
meyeruap disela-sela gerimis. Gemerisik air yang menerpa daun-daun pring di ujung halaman depan, sebelah
pohon mangga yang masih kokoh meski sudah mulai enggan berbuah menjadikan
suasana semakin sendu. Suara burung Emprit
granthil nun jauh di lereng bukit ikut mengharu suasana.
Teringat aku saat saat awal musim hujan,saat semua
petani menyambut dengan ceria. Simbah selalu bangun dini hari. Menyiapkan
segalanya. Dan aku, selalu dipesankannya untuk segera menyusul ke lading
sepulang sekolah. Meski letih karena harus sekolah dengan berjalan kaki sekitar
9 km pulang pergi, namun semangat simbah seolah membakar naitku. Akupun seolah
takmengenal apa itu letih,apa itu lelah. Kususul beliau untuk sekedar membantu
sebisa dan semampu aku.
Kini, setalah aku dewasa dan berkeluarga, kami
berpisah. Aku diberi jalan kehidupan di kota, bekerja sebagai karyawan rendahan
demi menuntun asa. Sementara simbah masih setia di rumah itu,sendiri. Inginku
sebenarnya simbah mau bersma dengan kami ke kota. Namun seribu cara merayu
simbah takjua mempan mengajaknya ke tempat kami. Selalu beliau berlasan, aku
menghabiskan sepertiga usiaku di rumah ini, dan aku berharap akan mengakhiri
hidup juga dirumah ini. Sendiri bagi simbah bukanlah suatu musibah,justru
diusia senjanya,kesendirian adalah berkah.
***
“Pak, nanti Lik Sarikun mau pulang. Yang mau diaturne mbah segera siapkan,jangan
sampai lupa!” Demikian Istriku menyambutku,sepulangku dari kerja shift malam.
Mata yang masih sepat karena semalaman berjaga,seakan terbuka paksa. Nitip uang
buat mbah. Akhhh,,,,Aku saja masih pusing memikirkan kebutuhan hidupku di kota
ini. Namun demi Simbah,demi kelegaan kami,maka itu harus aku lakukan.
“Ya,,nanti habis mandi dan ngaso barang semenit
tak nemui Lik Sarikun” Jawabku,mencoba menenangkan istriku. Aku tahu, istriku selalu mengingatkanku
akan tanggungjawabku menopang hidup simbah di desa, meski dia sadar kebutuhan
kami selalu menanjak naik setiap bulannya. Kuambil handuk dan kemudian aku
mandi.
“Aku kira,lembur Dar,ternyata masuk malam”,Begitu
Lik sarikun menyambutku sewaktu aku datang ke rumah anaknya,yang hanya berbeda
RT di komplek perumahan tempat kami tinggal. Rumah anak Lik Sarikun tergolong
besar untuk ukuran perantau seperti kami. Ada Garasi yang diisi mobil, pertanda
Winoto, anak Lik Sarikun itu Sukses. Meski Winoto jauh lebih kemudian dari aku
keberadaannya di kota ini, namun nasib menuntun ke keadaan lain dibandingkan
dengan diriku.
“Simbah piye lik?Setiap aku bel kang Wasiyo selalu
enggan diajak ngobrol,selalu mengatakan sehat,baik-baik saja”Demikian aku
mencoba mencari informasi tentang simbah ke Lik Sarikun.
“Sehat, ya biasalah, kadang pilek,flu. Apalagi
simbah kan sudah sepuh”Demikian Lik Sarikun memberi kabar seolah meyakinkanku
tentang keadaan simbah.
Kembali aku membayangkan keadaan simbah. Sendiri
dalam kesenjaan usianya. Aku teringat dulu, waktu aku kecil,semenjak ibu
menikah lagi. Simbahlah yang menggantikan posisi ibu. Menyuapiku, ngeloni
aku,menggendongku dan selalu mendongengkan aku tentang seorang bidadari cantik
yang dirundung susah.
Akhh,,simbah, andai mau kau bersamaku, takkan aku
selalu memikirkan keadaanmu, meski denganku di kota ini belum tentu membuatmu
bahagia. Uang ratusan ribu beberapa lembar yang aku masukkan ke amplok
kuserahkan ke Lik Sarikun. Kemudian aku pulang. Aku masih ngantuk.
***
Gerimis ibu kota pagi ini masih saja menghiasi
bumi. Jalanan tak lagi becek karena semua telah ditutup baton,ini mungki yang
sering membuat kota ini banjir. Kuayun langkah kakiku meninggalkan rumah
Winoto, kutiggalkan Lik Sarikun yang bersiap untuk kembali ke kampong. Gerimis
ini,membuatku semakin mengingatmu mbah…
http://ppsetyasemesta.blogspot.com/
Untuk Sahabatku yang selalu
merindukan Simbah
Pada Sebuah Gerimis di akhir
tahun
Tepian Rawa Pening 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar