Minggu, 28 Juni 2015

Nasehat Dalijo



Sore yang cerah. Langit nampak biru di atas gugusan pegunungan seribu, pesisir Jawa Tengah bagian selatan. Bukit-bukit menghijau menambah semarak senja dan di antara langit biru, beberapa lembar awan tipis putih nampak menari dibuai udara sepot di atas sana.

Di sebuah rumah limasan sederhana, nampak Dalijo masih mengerjakan pekerjaannya, membersihkan tempat makan sapi dan kambing-kambingnya. Sembari rengeng-rengeng mengidungkan lagu kehidupan. Kata orang tua “kidung” itu sebuah permainan kata, yaitu “iki dunga”, dan oleh karena itu Dalijo yakin bahwa nyanyian hatinya meski hanya terdengar rengeng-rengeng, adalah doa yang indah untuk Sang Kekal. 

Saat masih asik dengan pekerjaannya itu, ada tamu yang hadir, teman satu kampung, Sarno namanya.
Kedekatan dan kebiasaan menjadikan mereka sangat akrab, hingga tanpa menyapa Sarno langsung duduk di lincak, sebelah barat emperan rumah Dalijo. Mengambil Panjebar Semangat dan membacanya.setelah mbolak-mbalik majalah berbahsa Jawa itu dan nampak kurang puas, Sarnomenuju dapur.

“Dal, tehmu habis ta?”, Sapa Sarnodari dalam dapur milik Dalijo.
“Weh, enggak yo..itu di lemari paling ujung, yang biasa menaruh plastik. Kemarin beli Sar, namun lupa memindahkan ke tempatnya”, Jawab Dalijo sembari mengakhiri tugasnya membersihkan tempat makan hewan ternaknya.

Sarno sudah sangat biasa dengan kehidupan Dalijo, juga dengan rumah Dalijo. Maka ia terbiasa membuat minuman sendiri dan bahkan tak jarang saat lapar, makan juga di rumah Dalijo. Mereka selalu akrab, mereka bersahabat. Usai membuat teh dan juga kopi untuk dirinya dan Dalijo, sahabatnya, Sarnokemudian menuju ke lincak lagi. 

Beberapa saat kemudian Dalijo datang. Keringat masih mengalir dari sekujur badan Dalijo dan itu nampak dari basahnya kaos bola dengan logo “Manchester United” meski sudah kusam sekusam wajah Sarno sore itu.

Dalijo duduk di emperan, tembok setengan meter yang membatasi air supaya saat hujan tidak masuk ke teras itu. Bersandarlah Dalijo di tiang ujung barat rumahnya, dan sesaat kemudian mengambil sebatang rokok, menariknya, menyulutnya dan menghisapnya. Rokok berwarna merah buatan kota Kudus bertuliskan Djarum super.

Angin sepoi bulan  Juni menebarkan semaraknya kembali. Dedaunan bermain mesra dengan sesama daun dan burung-burung masih riang bermain. Di ujung utara sana, di pematang sawah, nampak bapak ibu tani sedang menyelesaikan masa panennya dan wajah mereka adalah wajah bahagia purbakala. Seekor burung prenjak mampir di pohon talok tepat di depan pintu samping timur rumah Dalijo. Berbunyi dengan riang, seolah dunia tanpa ancaman.

Sarno memandang langit sebelah barat laut, di sana ada Gunung Mur yang kokoh dan menurut legenda desa itu adalah punjering bumi. Masalah benar atau salah, tidak ada yang tahu namun semua seolah mengiyakan mitos tersebut. Wajah Sarno nampak ceria namun guratan gundah nampak takbisa disembunyikannya. Ada garis hitam diantara senyum cerah itu dan Dalijo memperhatikan itu semua.

“Mikirkan apa ta Sar, kok wajahmu nampak ada sebaris rona sedih dan bimbang gitu?”, Begitu Dalijo menyapa sahabatnya itu. Sarno  agak kaget, tak menyangka bahwa apa yang ia sembunyikan itu terbaca juga oleh sahabatnya yang sederhana namun arif itu.

“Aku yakin kau sudah paham dengan pergumulanku Dal. Bahkan tanpa aku ceriterakanpun, kau bisa membaca bahasa alam yang membaca gulana hatiku ini Dal”, Sarno menjawab sembari beringsut mencoba mengambil sebatang rokok  milik Dalijo. Agak aneh memang melihat Sarno merokok, karena semenjak kecil dia termasuk anak yang anti rokok, sempat dia dan beberapa kawan membuat grup GMTR yang kalau tidak salah berarti Generasi Muda Tanpa Rokok.

“Aku bukan Gusti Allah Sar, hanya menduga saja dan tidak tahu pasti apa yang kau pikirkan”, Balas Dalijo menanggapi pernyataan Sarno.  Senja semakin beringsut menuju malam. Dan udara semakin tenang namun rasa dingin mulai menyeruak ke seluruh semesta.

“Menurutmu aku kudu piye Dal?”, Sarnoseolah tidak sabar dengan diamnya Dalijo, Sarno seolah enggan menikmati peralihan senja ke malam.

“Dengarkan kata hatimu karena di dalam hatimu itulah suara Tuhan. Namun jika hatimu sulit mendengar suaranya sendiri, coba lihat dan rasakan sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan dan bahkan bertolak belakang dari harapmu, aku tahu, kadang dalam gulanamu kau ingin kembali mengulang masa silam yang sejatinya tidak membuatmu sejahtera. Semua itu datangnya ujug-ujug karena memang tidak direncanakan. Dia hadir dalam situasi yang berbeda dan bahkan mungkin jauh dari harapan dan idealisasimu. Namun bukankah kau orang beriman yang pernah tahu bahwa Tuhan selalu menyapa melalui sesuatu yang diluar rencana manusia. Kau tipe orang yang kadang arogan dengan prinsipmu, kau kadang enggan diperhatikan. Padahal sebenarnya engkau membutuhkan perhatian. Kau butuh sosok yang peduli sepenuh hati, namun kau teramat sombong dengan dirimu, kau seolah bisa mengatasi semua. Padahal ejatinya kau tidak bisa melakukan itu semua”, Dalijo menghamburkan kata hatinya untuk sahabatnya tanpa tedeng aling-aling.

Sarno terdiam. Ia sadar betul bahwa apa yang disemburkan Dalijo itu benar, sangat benar. Luka masa lalunya menjadikan dirinya ingin nampak kuat meskipun sebenarnya rapuh. Kepahitan masa lalu yang teramat getir menjadikan dirinya ingin tampil tangguh, namun tidak menyadari keterbatasannya. Dan Dalijo mengetahui semuanya.

“Benar katamu Dal, aku persis seperti yang kau katakan”, Jawab Sarno pelan namun nampak penuh kesadaran.

Dalijo kembali mengambil sebatang rokok dan kemudian menyulutnya, menghisapnya dan diantara remang senja, nampak asap putih mewarnai udara sekitar mereka berdua. Suara angkak-angkak nyaring terdengar, penanda senja usai dan malam menyapa. Itulah bahasa alam yang terbaca penduduk dusun terpencil di gugusan pegunungan seribu, di Jawa Tengah pesisir selatan.

“Sar, rasakan dalam hatimu, siapa yang paling peduli dengan dirimu. Itulah yang diutus Sang Khaliq untukmu. Siapa yang bisa hadir sebagai sahabatmu,sebagai ibumu, sebagai mitramu dan bahkan sebagai “lawanmu”, itulah yang siap menemanimu meniti terjalnya kehidupanmu. Meniti bukit-bukit berbatu seperti dusun dan hutan kita ini.” Urai Dalijo sembari beringsut.

“Dal, meh nengndi?”, Seru Sarno, agak terkaget karena usai berkotbah, Dalijo segera pergi.
“Meh adu Fir, dah sore ini lho,”, Jawab Dalijo sembari meraih gayung tepat peralatan mandi. Dan Dalijopun menuju kali di dekat sawah yang biasa dia pakai mandi, karena belum punya kamar mandi sendiri. Sarno terdiam, menunggu pulangnya Dalijo sembari mendengarkan suara hatinya.

“Aku sudah yakin dengan pilihanku. Matur nuwun Dal, sudah menolongku”, Renung Sarno sembari berjalan pulang, lupa bahwa dia sudah berjanji menanti pulangnya Dalijo dari mandi.

Eromoko, Tepian Juni 2015

Senin, 22 Juni 2015

Untuk Ayah..

Semua Untuk Ayah

Namaku alvi yang sudah menginjak umur 18 aku hidup di keluarga yang sederhana tapi itu menurutku sudah lebih dari cukup bahagia karena aku memiliki ibu dan ayah yang menyayangiku mereka sangat berarti dalam hidupku, suatu hari temanku yang bernama tendri datang di rumah sekedar datang untuk curhat dengan aku, maklum di antara teman-temanku akulah yang paling dipercayakan sebagai tempat curhatnya mereka. dalam perbincangan ku dengan tenri ayah langsung ikut memberikan nasehat kepada kami dan mengatakan kepada aku bahwa dia ingin sekali aku sekolah tinggi-tinggi supaya bIsa juga Seperti orang lain serta mengubah keadaan ekonomi keluarga kami. Saat itu aku tunduk merenungi semua nasihat ayah bahwa dia ingin sekali melihat aku sukses.
Keesokan harinya....................................
selengkapnya di.....http://goo.gl/jpd9Mq

Sabtu, 20 Juni 2015

Tiga Hal

Antara Aku, Tukang Cukur dan Tuhan

Sudah panjang. Aku harus memotongnya. Aku langsung mengambil motorku dan pergi ke tukang cukur terdekat.
Kuhentikan motorku di depan toko itu. Tokonya sederhana, menggabung dengan rumah si tukang cukur. Cat warna hijau dengan jendela besar di depan toko itu yang ditulisi dengan cat warna merah, tulisannya adalah “POTONG RAMBUT. RAPI. MURAH. DIJAMIN PUAS”.
Aku langsung mengambil kunci motor dan berjalan masuk ke dalam. Ruangannya sederhana, tembok yang di cat senada dengan luarnya, meja dan kursi yang berwarna putih tanpa pemakai, alat-alat cukur lengkap dengan sisir bermacam-macam, ada yang kecil, ada juga yang besar. Ada yang warna hitam, sampai warna oranye pun ada.
Namun di sini sepi. Tidak ada pelanggan sama sekali, mungkin hanya musik dangdut yang dinyalakan si tukang cukur.
Sesaat aku melihat-lihat, tiba-tiba ada yang menepuk...............................
Selengkapnya di..... http://goo.gl/LqQF3t

Jumat, 19 Juni 2015

Sebuah Realita

Pagelaran Terakhir

Adzan Isyak baru selesai berkumandang dari mikrophone tua masjid seberang jalan, sebentar lagi kewajiban akan tertunaikan oleh segelintir umat yang taat. Malam ini rombongan Kethoprak kami mendapatkan kesempatan menghibur penonton di halaman Balai desa seperti tahun-tahun kemarin. Tapi pagelaran tahun ini ada sesuatu yang mengganjal di hati kami, mulai dari banyaknya protes yang tidak setuju jika acara malam puncak seni di desa kami di isi dengan pagelaran kethoprak sampai kondisi kesehatan dari salah satu pemain andalan kami yang kian memburuk.
Bau asap rok*k murahan hasil sumbangan dari warga kami yang kasihan, bercampur dengan aroma bedak hasil patungan kami, mengiringi alunan suara gamelan yang di tabuh para niyogo kami membabar gendhing srepeg mataram terasa mendayu seperti menggambarkan suasana hati kami yang resah.
“Aku kira kamu benar-benar tidak jadi datang” sambutku membuka percakapan.
“Tenang kawan suara gamelan ini yang memaksaku datang lagipula di pagelaran terakhir ini aku tidak ingin mengecewakan penggemarku…” katanya sambil menghisap rok*k dalam-dalam.
“Uhuk… uhuk…!” batuknya memaksa untuk tidak melanjutkan kata-kata yang belum selesai.
“Kamu benar tidak apa-apa?” tanyaku sedikit khawatir, karena pesan singkat dari istrinya yang masuk ke telephon genggamku belum ku hapus “Mas, mohon maaf kondisi mas Didik kurang sehat mas cari penggantinya saja ya” begitu bunyi pesan singkat dari istrinya.
“Nggak apa-apa aku sudah minum obat…” katanya berusaha menyembunyikan sakit.
“Aku jadi apa malam ini…?” tanya nya.
“Biasalah… jadi musuhku… hahahahaha…” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Dari dulu kita musuhan terus ya…?” tanyanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa di panggung kita selalu jadi musuh tapi di belakang panggung kau adalah sahabat terbaiku…” balasku.
“Aku rias dulu… masalahnya aku keluar adegan pertama” katanya sambil ngeloyor ke sudut ruang ganti.
“Ya… kostummu sudah disiapkan sama teman-teman” jawabku.
Tari gambyong pari anom baru saja selesai di suguhkan sebagai tarian wajib untuk sebuah pagelaran kethoprak karena merupakan tarian pembuka yang berfungsi sebagai ucapan selamat datang untuk para penonton.
Adegan per adegan kami lakonkan dengan sepenuh hati, saatnya tiba adegan dimana aku dan dia beradu akting aku memerankan tokoh Ranggalawe dan dia memerankan tokoh Nambi, penonton ikut tegang ketika Ranggalawe tidak setuju dengan keputusan Raden Wijaya yang mengangkat Nambi sebagai Mahapatih Mangku Bumi di Majapahit, mereka seakan ikut hanyut terbawa alur cerita dan seakan kembali ke masa ratusan tahun silam.
Penonton yang tadi sore berjubel memenuhi halaman balai desa kini tinggal separuhnya, mungkin hanya tinggal penonton yang benar-benar pecinta kethoprak, hingga mereka penasaran untuk mengikuti sampai akhir cerita pertunjukan kami, atau bisa jadi mereka adalah orang-orang penderita insomnia, atau mungkin mereka masih menunggu anak-anak mereka yang belum mau diajak pulang.
Sepertiga malam telah berlalu…
selengkapnya di....donise305/inspirasi

Kamis, 18 Juni 2015

Sebuah Refleksi



ANAK HARAM
Cibiran itu menghambur bak badai
Menerjang taktau sopan atau bahkan santun
Semua mata memandang bak pisau tajam
Semua bibir berteriak atau hanya berbisik
Menghamburkan kasak-kusuk
Merenda hasutan
Untuk kemudian mengehentak
ANAK HARAM

ANAK HARAM
Terlalu sucikah kalian menuduhkan tuduhan itu
Sadarkah kalian menggunakan istilah itu?
dengan katamu haram itu
Kau telah membunuh hidup seorang anak manusia
Dan sadarkah kamu bahwa kehadiran anak manusia selalu atas ijinNYA
Sementara kalian,, wahai masyarakat
Dengan aturan agamamu
Aturan etikamu
Dengan angkuh dan arogan kesalehan gombalmu
Menuduh itu HARAM

Anak itu suci kala terlahir
Meski dunia sering tak mengakuinya
Anak itu terlahir karena mujijat Illahi
Meski dengan aturan agamamu kauseolah takanggap
Anak itu keajaiban dunia
Meski dengan aturanmu kau kucilkan dia
Kau singkirkan dia dengan pakaian agamamu
Kau kibaskan di dengan Kitab Sucimu
Kau hardik dia dengan Hukum Agamamu

Agama
Kau diciptakan untuk kebaikan bersama
Untuk kehidupan bersama
Untuk senyum bersama
Namun ternyata
Kau malah menjadi monster yang buruk nan kejam
Kau tidak menghidupi
Namun sering membunuh
Tidak dengan peluru dan pedang
Namun dengan hukum dan aturanmu
ANAK HARAM
Kau tidak menghidangkan menu senyuman untuk dunia
Malah selalu memasak angkara dan amarah
Kau tidak melihat manusia sebagai manusia
Namun manusia dibawah sayap peraturan yang pengab dan menjijikan

Anak HARAM
Kau hanyalah korban peradaban
Peradaban yang selalu bermake up saleh dan suci
Meski di dalamnya bangkai busuk yang terendam..
Tegar dan tetapkan langkahmu
Meski kau takterakui di masyarakatmu
Takterhidangi senyum dan sambutan ceria
Dia menghendaki Hadirmu
DIA menghendaki ada-mu
DIA menghendaki tampilmu
DIA menghendaki Karyamu

Bukankah Sang Guru Agung itu
juga tidak terlahir dalam status sosial baik?


Selasa, 16 Juni 2015

Untuk Sang Kekasih



UNTUKMU KEKASIHKU
Laju sang waktu terus saja bergerak...
Tkapernah ada satupun kekuatan yang mampu membuatnya terhenti..
Dia akan tetap melaju, merengsek,melindas apapun dan siapapun...
Dan kita ada di tengah Sang Waktu itu...

Kekasihku..
Hampir 12 tahun kita mengenal...
Meski kita mengikat janji kurang dari waktu itu..
Di dalamnya ada banyak cerita,bai luka dan lara maupun gembira ria
Menghiasi lembaran-lembaran kehidupan kita..

Kekasihku...
Takjarang dalam kebersamaan kita
Ada lula yang sama-sama kita goreskan...
Aku menggores raga dan hidupmu
dan kau,,,,juga mengggores hidupku
pilu...perih...terkadang kita rasakan bersama

aku ingat...sangat ingat..meski aku tidak tahu apakah kau ingat atau tidak..
kau datang kepadaku untuk mengajakku meniti jalan hidup ini
bersama-sama
dan aku menyanggupinya.
kita sepakat atas nama cinta dan kemudian saling percaya...
senyummu...candamu..keterbukaanmu membuat aku tersipu bak remaja mendapati pipinya tersentuh jemari perjaka untuk kali pertama..
dan aku terlena
terlena oleh janjimu
oleh rayuanmu
oleh janji-janji manismu..

kini...
dalam titian waktu yang telah kita lalui
terkadang aku kau hempaskan..
kau biarkan sendirian menghadapi derita hidup ini...
janjimu untuk ada dan mengada  demi kesempurnaan acap kali isapan jempol belaka
kau biarkan aku menghadapi badai hidup sendirian
kau biarkan aku menjalani beratnya hidup tanpa dirimu
dan terkadang, kau malah bertepuk melihat deritaku

tapi aku tetap setia denganmu..
takpernah berniat berpaling darimu..meski aku tahu dari bisik-bisik tetangga sebelah..
kau sudah enggan bersamaku lagi
aku akan tetapsetia meski kau telantarkan....kau biarkan berdarah sendirian..karena ini janji suciku untukmu..

kekasihku...
usiamu dan usia kebersamaan kita berbeda
dan saat ini aku ingin mengucapkan selamat bertambah usia untukmu
selamat menghayati waktu pemberianNya dengan tawa dan cinta..
aku gembira bersamamu meski aku mulai bertanya, gembirakah engkau dengan hadirku?

Andaipun engkau taklagi gembira denganku
Andai engkau sudah mulai kehilangan cinta suci itu untukku lagi
Aku masih setia
Aku masih akan bertahan
meski kau usir aku dengan palu dan belati kebencianmu

dan akhirnya...
selamat ulang tahun kekasihku...
rahmatNya semoga selalu ada untukmu, meski kau selalu takpernah ingat
kapan aku menghadapi hal yang sama dengan yang kau hadapi hari ini
inilah bukti cintaku untukmu...


salam dari kekasihmu...


FIKSI Di Malam PASKAH