ANTARA
PETIR DAN GEREJA
Tulisan ini tidak hendak membandingkan dua kata
dalam tema di atas, meski sama-sama kata benda. Mengapa demikian?Karena memang
sulit untuk diperbandingkan. Di sini, gereja yang saya maksutkan bukanlah
gedungnya namun esensi utamanya, yaitu Persekutuan atau komunitas. Sehingga dengan
demikian, saat siapa saja yang membaca tulisan ini segera berpikir jernih untuk
tidak menggebyah uyahkan istilah, meski istilah di Indonesia telah banya yang
salah kaprah.
Oiya, tulisan ini berangkat dari pengalaman hari ini, setelah kejadian ban motor kemps untuk kali ketiga di bulan April 2015 ini, dan bagi kawan-kawan dan saudara saya di Trah Facebook, sebagian sudah membacanya.
USAHA ANAK JAMAN DIGITAL |
Oiya, tulisan ini berangkat dari pengalaman hari ini, setelah kejadian ban motor kemps untuk kali ketiga di bulan April 2015 ini, dan bagi kawan-kawan dan saudara saya di Trah Facebook, sebagian sudah membacanya.
Siang ini,16 April,setelah sekian waktu di hari
ini terik matahari menelanjangi bumi Tuntang-salatiga dan sekitarnya, sekitar
jam setengah satu siang (sebenarnya yang tepat jam 12.30 WIB), usai menjemput
anak pulang dari sekolah, ban kemps. Sambil memaksakan dinaiki sampai kios
tambal ban terdekat,kami menaikinya berdua (sungguh sangat kejam memang), dan
setelah sampai di kios langsung diperiksa dan direparasi oleh tukang tabal ban
yang ternyata seorang RT di wilayah itu. Bukan masalah ban,pak RT atau apa yang
membuat saya tertarik untuk menceriterakan refleksi sore ini. Namun sebuah
kejadian dan pertanyaan dari jagoan kriting saya. Saat masih sibuk menunggu ban
selelsai diganti, tiba-tiba mendung dan saat mendung itulah ada kilat sekilas
diikuti suara Petir yang lumayan keras. Lalu anak saya berlari ke luar kios dan
mencoba mencari di mana petir itu. Agak bingung dia, kemudian masuk dan sambil
masih belum bisa menguasai kebingungannya, ia bertanya.
“Pak, itu petir ada cahayanya, trus ada
suaranya,tapi kok tidak ada ujudnya ya pak?”
Saya kaget dan bingung untuk menjawab apa. Demikian
pula pak RT yang menjadi tukang tambal ban, komentarnya. “Wah..anaknya kritis
pak,masak petir dicai wujud barangnya?Tapi memang benar ya, ada kilatan
cahayanya,ada suaranya namun tidak ada benruknya yang nyata”, demikian komentar
pak tukang tambal ban sambil sibuk membenahi ban belakang motor yang bukan
milik saya itu.
Diam, itulah yang bisa aku lakukan. Dan setelah
usai kami pulang. Sepanjang perjalanan, sambil meniti jalanan betonisasi yang
sudah luluh lantak meski belum genap 3 tahun dibangun,sempat pikiran dan rasa
ini berdialog.
Jangan-jangan, selama ini banyak yang bertindak
seperti petir itu ya?Bersuara lantang,keras dan memekakkan telinga dan semua
orang bisa mengenali bahwa itu adalah petir (Dalam bahasa Jawa gludug), namun
sulit mencari wujudnya yang asli. Atau, jangan-jangan gereja juga sudah
bermetamorfosis seperti petir itu ya?Kerap kali berteriak-teriak lantang, lugas
dan berani namun tidak pernah ada wujud nyatanya?Berteriak tentang kasih namun
enggan mengasihi,berteriak tentang kepedulisn namun yang ada justru
pembiaran,berteriak tentang pengampunan namun yang wujudnya adalah dendam?Atau….akhh…
Segera kami sampai di rumah dan permenungan
terhenti untuk dilanjutkan di waktu yang berbeda..
Salam cinta semesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar