Selasa, 07 April 2015

Sarjana Berlumpur




Seekor Sapi yang menjadikan rekan kerjanya menggarap sawah berlari tunggang langgag secara tiba-tiba membuatnya bingung. Takbiasanya sapi itu kaget sedemikian hebat. Dia hafal, sangat hafal perangai hewan berkaki empat yang sepanjang sejarahnya selalu diperbudak oleh manusia. Mungkin tersengat lebah atau kalajengking pada seonggok daun pisang kering diujung pematang sawah bermodel terasering itu. Entahlah, ia tidak tahu.  

PERCANTIK BLOGMU

Bergegas lelaki muda itu berlari mengejar,mencoba menenangkan sapi itu. Baginya sapi itu bukan sekedar hewan pembantu mengerjakan sawah dan tegalannya,namun merupakan sahabat dan bagian dari hidupnya. Hampir separo usianya ia habiskan di sawah dan lading dan selelu sapi menjadi sahabat yang setia.

Sapi itu sahabat yang paling mengerti akan pilihan hidupnya. Semenjak matahari belum merekah dibalik bukit belakang sawah dan ladangnya sampai matahari bersembunyi kembali diujung barat dusun itu, sapi itu dalam musim tanam selalu menemaninya meniti kehidupan. Baginya,sapi dengan segala keberadaanya,aromanya yang khas,lengguhannya,kerdipan matanya adalah bahasa yang sudah sangat ia mengerti.

Pagi itu, semenjak kabut tipis bergerak tersapu lembut angin pagi, bersama dengan sisa hujan sepanjang mala,dalam tanah basah,lelaki itu telah menyiapkan diri menggarap sawah warisan leluhurnya. Ibunya telah berpulang ke negeri abadi delapanbelas tahun yang silam,bapaknya menyusul sebelas tahun kemudian. Lelaki itu masih sendiri,takjua ia menikah.

“Apa yang kau tunggu,usiamu sudah sangat matang untuk menikah”, Demikian Simbahnya,yang ia jaga dan sekaligus menemaninya hidup terkadang memancing dengan pertanyaan seperti itu.

JALAN SUKSES MENJADI IMPORTIR

“Wah, belum mikir mbah,,masih ingin bermain lumpur”,Selalu,demikian jawabnya. Singkat dan enggan berbasa-basi.

Entah mengapa tak segera ia menikah. Padahal,menurut ukuran desa itu, ia tergolong tampan dan mapan secara ekonomi. Juga ia adalah seorang sarjana. Ia, lelaki itu lulus dari sebuah Universitas Terkenal di kota yang di kenal sebagai kota pendidikan. Ini juga yang membuat banyak kawan dan sahabatnya bingung dengan pilihannya untuk melanjutkan pekerjaan orangtuanya.

“Mengapa tak kau ambil saja tawaran kerja itu?” Demikian suatu saat kawan sekampusnya bertanya dalam sebuah obrolan kopi menjelang tengah malam.

“Aku mau selesaikan dulu kuliahku, aku tidak mau terganggu dengan tawaran kerja itu”,Agak Ketus lelaki itu menjawab.

Bagi lelaki itu, totalitas dan focus merupakan prinsip hidupnya. Ia tidak mau membagi perhatian. Juga saat berkali-kali ada perempuan yang mencoba mendekatinya, selalu berakhir dengan kecewa, karena ia tidak menanggapinya dengan serius.

“Sutarmin itu apa sih yang sebenarnya dicarinya?” Demikian, salah seorang gadis yang gagal mendekatinya bertanya ke temannya saat sedang makan malam di sebuah warung tenda pinggir jlan suatu ketika.

“Aku juga hera, tak mengerti jalan pikiran Tarmin”,Rekannya, yang juga sedang makan memberi jawab,seperti juga paham akan keberadaan Sutarmin.
Akhirnya, setelah lulus dan wisuda sarjana dengan nilai paling memuaskan,kembali keputusannya membuat banyak rekan dan sahabat terkejut. Selalu menolak tawaran kerja dari berbagai perusahaan yang justru datang menawarinya bekerja. Bahkan saat,salah seorang dosen menemuinya dan mengajaknya bergabung untuk menjadi dosen dan akan dibiayai untuk studi lanjutnyapun, ia, sutarmin itu tetp menolaknya. Ia hanya ingin menyatu dengan alamnya,tanahnya dan ingin selalu menenggelamkan raganya pada lumpur.

“Kamu ini aneh, benar-benar aneh!Sementara banyak orang berlomba dan berdesakan,berjuang dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pekerjaan,kau malah menolak semua?”,Demikian  sebagian besar sehabatnya mencoba mencari jawab atas ketidakmengertian mereka.

“Mengapa semua bingung?Aku memiliki hak atas hidupku sendiri!” Masih dengan sikap dan gaya yang ketus ia menjawab.

“Lalau mau kerja di mana kau?” Ndari, perempuan yang berulangkali menarik perhatiannya itu masih mencoba menanya tentang pilihan hidup lelaki itu.

“Aku mau melanjutkan pekerjaan bapakku”,Datar  Sutarmin,lelaki itu menjawab.

“Apa,Kau mau jadi petani,Gila kau ini?Apakah kau mau menelantarkan ijasahmu,nilai cumlaudemu itu di almari bututmu dan kau kotori tubuhmu dengan lumpur?”Kembali ndari, Wulandari nama lengkap gadis itu melanjutkan Tanya dengan sepenuh keraguan. Kaget luar biasa gadis itu, meski sebenarnya ia telah menduganya. Gadis itu selalu menaruh harap,bahwa Sutarmin akan mau menanggapi perasaan sukanya,lalu juga mau bekerja seperti layaknya lulusan sarjana dan kemudian hidup nyaman di kota. Namun, ternyata,itu bukan dunia yang Tarmi damba.

Kilatan-kilatan kisah masa lalunya itu tiba-tiba muncul sesaat setelah ia berhasil menjinakkan sapinya yang ternyata tersengat lebah yang bersarang di rerimbunan daun-daun kering pohon pisang di ujung pematang itu. Masa-masa ia kecil,SD , dia tidak pernah masuk TK karena di desanya waktu itu belum ada TK, saat SMP,saat memutuskan kuliah, semua terlintas jelas dalam bayangannya.

Sambil duduk dibawah pohon randu yang daunnya seperti enggan berkembang, lelaki itu menuang teh hangat dari ketel tempat air bekal yang ia bawa dari rumah. Mengudek kemudia pelan meniup teh panas yang asapnya seperti kabut pagi tadi. Ia pandangi dua ekor sapi, sahabat setianya memakan rerumputan di sekitar sawah yang segera akan ia garap. Memandang ke sebelah utara, tebing curam dengan rerumputan dan belukar yang semakin lebat. 

Ingatannya melayang jauh ke waktu sekitar tigapuluhan tahun yang silam, waktu ia hampir celaka manakala sedang ngarit dan ada batu menggelinding dari atas.  Ibunya berteriak histeris memintanya menyingkiir dan ia segera melompatnaik pohon jati pendek. Ia ingat,di tebing itu,dulu, ia pernah hampir pula terjerumus.
Batu di ujung pematang itu masih tetap,masih seperti dulu. Ia ingat, di tempat itu,sewaktu kanak-kanak,ia sering duduk menunggui bapak atau ibunya mencuci piring dan perkakas tempat bekal makanan yang dibawa untuk makan bersama.

Dan sawah itu, air itu,gerojokan bambu itu, masih saja menjadi sahabatnya. Mengalirkan air dari petak atas kebawah dan dengan bambu itu, tanahnya akan awet karena tanahnya tidak akan ikut tergerus. Bapaknya selalu bilang, besok kalau kamu benar-benar menjadi petani, ingatlah akan hal-hal sederhana yang kau jumpai. Ingatlah bahwa tanah itu warisan leluhurmu. Kita tidak berhak atasnya, kita hanya meminjam dari anak putu dan karena itu kita berhak mengembalikan dengan kondisi yang sama sewaktu kita meminjamnya.




salam cinta semesta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH