Sabtu, 18 April 2015

Makan Dan Kerukunan..






BUJONO KATRESNAN
Sebuah Upaya Mengembalikan Relasi setelah Terpisah oleh Konflik

Pengantar
Perbedaan adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus kita terima dalam kehidupan bersama di dunia ini. Begitupula dalam kehidupan umat Kristen. Tapi kadang perbedaan menciptakan permusuhan dan pertikaian yang berujung pada konflik dan pertumpahan darah. Seperti dalam kehidupan warga masyarakat kristen di wilayah Nyemoh Wanareja, Perbedaan akan keberadaan mereka menjadikan mereka bermusuhan. Permusuhan itu semakin hari semakin menajam dan akhirnya kehidupan yang tenteram dan damai sukar dicapai. Untuk menjadikan warga masyarakat Wanareja rukun kembali maka di sana diadakan sebuah ritual yang dinamakan Bujono Katresnan. Dalam ritual ini semua unsur kehidupan warga disimbolkan dalam acara ibadah dan makan bersama. Makan bersama dalam Bujono Katresnan ternyata mampu menyatukan kembali tali persaudaraan warga Wanareja yang pernah terputus. Kelangsungan acara yang secara rutin berjalan dua kali dalam setahun dengan pergantian tempat menunjukkan tercapainya kerukunan ini. Selain itu pola hidup bergereja diantara kedua jemaat yaitu GKJ dan GKJTU yang dulunya bertikai sekarang telah berdamai dengan adanya ritual Bujono Katresnan. Ritual Bujono Katresnan telah mampu memberikan sumbangannya yang positif terhadap kerukunan warga di Wanareja. Maka adalah perlu jika acara ini tetap dijalankan dan dipelihara keutuhannya. Bahkan kalau perlu ritual ini bisa dijadikanmedia pembangunan jemaat dan mengembangkan iman berkaitan dengan kehidupan rohani.
Sejarah Kristen di Wonorejo
La Joolee, istri seorang karyawan Perkebunan belanda, dalam keberadaanya mendampingi suami berdinas di Indonesia, sekali waktu memperkenalkan Kekristenan ke warga masyarakat, khususnya para buruh Perkebunan di sekitar Hutan Nyemoh, timur laut salatiga, sekitar 23 km. dalam perkembangannya, agama Kristen kemudian berkembang pesat, sebagai sebuah oase hidup pekerja kebun. Namun masalah mulai timbul manakala La Joole harus kembali ke Belanda setelah suaminya usai berdinas di Hindia Belanda[2]. Komunitas Kristen itu seperti kehilangan induk dan kemudian La Joole berjanji akan mengirimkan orang yang bisa melanjutkan pekerjaan mendampingi komunitas Kristen di Nyemoh. Namun, sampai lama tidak ada seorangpun dari anggota gerejanya yang bersedia. Dalam kondisi seperti inilah kemudian ada anggota gereja Jerman yang bersedia. Kemudian berangkatlah utusan yang mewakili la Jolle ke nyemoh. Singkat kata, kekristenan di Nyemoh terpelihara, namun di kemudian hari munculah dua “wajah “ gereja. Dua wajah inilah yang kemudian berkonflik sampai saat tulisan ini di buat.
Konflik semakin lama dan meruncing. Sesam orang kriten,satu keluarga jika berbeda aliansi gereja akan berseteru dengan keras dan vulgar. Dalam menyikapi hal ini para tokoh yang masih berpikiran jauh ke depan mencoba mencari solusi. Dan solusinya adalah Bujono Katresnan. Sebuah ritual makan bersama.
Pelaksanaan Bujono Katresnan
Saya tidak akan menguraikan dengan lengkap tentang mengapa dipilih ritual ini untuk memperdamaikan, namun saya akan mengulas tentang teknis praktis Bujono katresnan yang dengannya kesatuan dan kerukunan masuarakat Nyemoh tercipta dan terjaga. Dalam bojuno ini, teknis pelkasanaanya sangat sederhana. Ada ibadah, sebelum ibadah semua keluarga membawa bahan makanan,kemudia di masukkan ke ruangan makanana dan di situ ibu-ibu dan kaum erempuan akan menyatukan makanan dari semua warga emudiann setelah ibadah usai dilanjutkan dengan makan bersama.
Ini yang menarik. Makan dijadika simbol,lambang sebuah penyatuan. Menurut salah seorang sesupuh desa nyemoh wonorejo, di dalam makanan yang telah mereka campur itu, bercampur pulalah semua komponen kehidupan mereka. Dan manakala mereka memakannya maka itulah bukti bahwa telah ada peneriamaan di antara mereka. Semua saling memberi dan menerima. Memang dalam prakteknya, setelah ada ritial, yaitu ibadah, mereka akan melaksanakan bujono katresnan. Makanan yang mereka bawa dari rumah akan disatukan di ruangan belakang,lalu dibagikan dengan tempat tampah dan semua akan mengelilingi makanan untuk memakannya bersama-sama. Tidak aka nada jarak yang membatasi mereka, semua bersatu dan berbaur menikmati makanan yang telah disediakan. Tua,muda,laki-laki,perempuan,yang jauh dan yang dekat semua memakan bes=rsama dan dengan makanan yang sama. Itulah keindahan bujono katresnan di Nyemoh wonorejo.
Penutup
Memperdamaikan konflik merupakan sebuah perjuangan. Banyak cara ditempuh untuk sampai pada jalan itu,dan salah satu cara yang dilalui adalah dengan Makan Bersama. Hal itulah yang dengan indah dilaksankan di Nyemoh wonorejo, dua gereja saling menyapa dan bersatu dalam keberbedaan dengan Makan Bersama. Dengan memakan makanan yang disiapkan bersama dari rumah sendiri-sendiri mengandung makna betap telah terjdi saling terima diantara satu dengan yang lain dengan total,tanpa batas dan kekuatiran.

Doni Setyawan

[1] Tulisan lengkap hal ini merupakan skripsi penulis dengan judul yang sama pada tahun 2004
[2] Penulis melihat saat sebelum 1945 bukan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH