Sebuah
Upaya Mengembalikan Relasi setelah Terpisah oleh Konflik
Pengantar
Perbedaan
adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus kita terima dalam kehidupan
bersama di dunia ini. Begitupula dalam kehidupan umat Kristen. Tapi kadang perbedaan
menciptakan permusuhan dan pertikaian yang berujung pada konflik dan
pertumpahan darah. Seperti dalam kehidupan warga masyarakat kristen di wilayah
Nyemoh Wanareja, Perbedaan akan keberadaan mereka menjadikan mereka bermusuhan.
Permusuhan itu semakin hari semakin menajam dan akhirnya kehidupan yang
tenteram dan damai sukar dicapai. Untuk menjadikan warga masyarakat Wanareja
rukun kembali maka di sana diadakan sebuah ritual yang dinamakan Bujono
Katresnan. Dalam ritual ini semua unsur kehidupan warga disimbolkan dalam acara
ibadah dan makan bersama. Makan bersama dalam Bujono Katresnan ternyata mampu
menyatukan kembali tali persaudaraan warga Wanareja yang pernah terputus.
Kelangsungan acara yang secara rutin berjalan dua kali dalam setahun dengan pergantian
tempat menunjukkan tercapainya kerukunan ini. Selain itu pola hidup bergereja
diantara kedua jemaat yaitu GKJ dan GKJTU yang dulunya bertikai sekarang telah
berdamai dengan adanya ritual Bujono Katresnan. Ritual Bujono Katresnan telah
mampu memberikan sumbangannya yang positif terhadap kerukunan warga di
Wanareja. Maka adalah perlu jika acara ini tetap dijalankan dan dipelihara
keutuhannya. Bahkan kalau perlu ritual ini bisa dijadikanmedia pembangunan
jemaat dan mengembangkan iman berkaitan dengan kehidupan rohani.
Sejarah Kristen di Wonorejo
La Joolee,
istri seorang karyawan Perkebunan belanda, dalam keberadaanya mendampingi suami
berdinas di Indonesia, sekali waktu memperkenalkan Kekristenan ke warga
masyarakat, khususnya para buruh Perkebunan di sekitar Hutan Nyemoh, timur laut
salatiga, sekitar 23 km. dalam perkembangannya, agama Kristen kemudian
berkembang pesat, sebagai sebuah oase hidup pekerja kebun. Namun masalah mulai
timbul manakala La Joole harus kembali ke Belanda setelah suaminya usai
berdinas di Hindia Belanda[2].
Komunitas Kristen itu seperti kehilangan induk dan kemudian La Joole berjanji
akan mengirimkan orang yang bisa melanjutkan pekerjaan mendampingi komunitas
Kristen di Nyemoh. Namun, sampai lama tidak ada seorangpun dari anggota
gerejanya yang bersedia. Dalam kondisi seperti inilah kemudian ada anggota
gereja Jerman yang bersedia. Kemudian berangkatlah utusan yang mewakili la
Jolle ke nyemoh. Singkat kata, kekristenan di Nyemoh terpelihara, namun di
kemudian hari munculah dua “wajah “ gereja. Dua wajah inilah yang kemudian
berkonflik sampai saat tulisan ini di buat.
Konflik
semakin lama dan meruncing. Sesam orang kriten,satu keluarga jika berbeda
aliansi gereja akan berseteru dengan keras dan vulgar. Dalam menyikapi hal ini
para tokoh yang masih berpikiran jauh ke depan mencoba mencari solusi. Dan
solusinya adalah Bujono Katresnan. Sebuah ritual makan bersama.
Pelaksanaan Bujono Katresnan
Saya tidak
akan menguraikan dengan lengkap tentang mengapa dipilih ritual ini untuk memperdamaikan,
namun saya akan mengulas tentang teknis praktis Bujono katresnan yang dengannya
kesatuan dan kerukunan masuarakat Nyemoh tercipta dan terjaga. Dalam bojuno
ini, teknis pelkasanaanya sangat sederhana. Ada ibadah, sebelum ibadah semua
keluarga membawa bahan makanan,kemudia di masukkan ke ruangan makanana dan di
situ ibu-ibu dan kaum erempuan akan menyatukan makanan dari semua warga
emudiann setelah ibadah usai dilanjutkan dengan makan bersama.
Ini yang
menarik. Makan dijadika simbol,lambang sebuah penyatuan. Menurut salah seorang
sesupuh desa nyemoh wonorejo, di dalam makanan yang telah mereka campur itu,
bercampur pulalah semua komponen kehidupan mereka. Dan manakala mereka
memakannya maka itulah bukti bahwa telah ada peneriamaan di antara mereka.
Semua saling memberi dan menerima. Memang dalam prakteknya, setelah ada ritial,
yaitu ibadah, mereka akan melaksanakan bujono katresnan. Makanan yang mereka
bawa dari rumah akan disatukan di ruangan belakang,lalu dibagikan dengan tempat
tampah dan semua akan mengelilingi makanan untuk memakannya bersama-sama. Tidak
aka nada jarak yang membatasi mereka, semua bersatu dan berbaur menikmati
makanan yang telah disediakan. Tua,muda,laki-laki,perempuan,yang jauh dan yang
dekat semua memakan bes=rsama dan dengan makanan yang sama. Itulah keindahan
bujono katresnan di Nyemoh wonorejo.
Penutup
Memperdamaikan
konflik merupakan sebuah perjuangan. Banyak cara ditempuh untuk sampai pada
jalan itu,dan salah satu cara yang dilalui adalah dengan Makan Bersama. Hal
itulah yang dengan indah dilaksankan di Nyemoh wonorejo, dua gereja saling
menyapa dan bersatu dalam keberbedaan dengan Makan Bersama. Dengan memakan
makanan yang disiapkan bersama dari rumah sendiri-sendiri mengandung makna
betap telah terjdi saling terima diantara satu dengan yang lain dengan
total,tanpa batas dan kekuatiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar