Sabtu, 18 April 2015

Memaknai Sebuah Penantian




“Gesang Punika lak Nengga…”
“Gesang punika lak nengga ta pak,,,”,Begitulah kalimat tulus yang meluncur lembut  dari seorang ibu berusia sekitar 70 tahun. Namanya Suharni, sudah menjanda,suaminya, Bapak Suyud Yesaya, berpulang bersamaan dengan Natal 2013, tanggal 25 Desember. Tetangga sekitar biasa memanggilnya mbah harni. Badannya kurus,dan semakin tidak  simetris dengan tinggi tubuhnya yang tergolong tinggi untuk perempuan desa seperti beliau.
Kulit wajah Nampak keriput,rambut sebagian telah luruh karena jatuh dan tiada tumbuh. Beliau tinggal sendirian,meski rumah deket dengan anak-anak yang tidak merantau. Dulu, pada sebuah masa, beliau sangat dihormati dan dihargai,bahkan mungkin disanjung,sewaktu almarhum suami menjadi  bekel,atau kepala dusun. Sebagai bekel dalam sebuah masa dalam rezim tertentu, kekuasaan tertinggi dusun ada di tangan suaminya. Maka, tidak mengherankan jika kehormatan sempat singgah dalam hidup mbah Harni, meski agaksingkat.
Kini di usia senjanya, mbah Harni menikmati waktunya dalam kesendirian. Dalam kesepian,anak dan cucu sudah sibuk dengan semua tetek-bengek permasalahan yang menderu tiada pernah mau istirahat. Semua dilakukan sendiri,semua dikerjakan sendiri dan sendiri itu semakin sepi manakala bangunan rerelasi manusia juga sudah semakin rusak oleh “Traktor Peradaban” bernama Teknologi.
“Kok tidak minta HP ke anak-anak mbah?”, Pada sebuah kesempatan, saya mencoba bertanya, siapa tahu sebenarnya mbah Harni ini ingin alat kominikasi selluler,namun enggan meminta ke anak-cucu.
“Walah,,,gek badhe kangge napa pak,,pun mboten saget. Ngeten mawon kula pun remen,saget nekseni lare2 sami makarya,sanadyan nggih naming berah-berah”,Dengan lembut mbah Harni menjawab,dengan sederhana dan tulus mbah Harni memberi alasan semua tentang diri,hidup dan kesendiriannya. Tidak terlintas ada sebuah sesal,tidak terungkap sebuah rasa kecewa dengan apa yang beliau jalani.
“Gesang Punika lak naming nengga ta pak”,Kembali, mbah harni,sambil menyulam kain sederhananya memberikan kesaksian hidupnya. “Kula, ugi panjengan nggih sami-sami nengga wekdal,wekdal kapurih wangsul datang griyaning klanggengan..”(Hidup itu kan hanya sebuah penantian,kita semua,juga saya dan bapak,sama,sedang menunggu,menunggu waktu dipanggil pulang ke rumah keabadian).
Mbah Harni, peremuan sederhana itu, perempuan yang dalam usia senjanya meski menyandang sebuah penyaikit,dan juga meski sepi sendiri,ternyata menyimpan keagungan. Menyimpan kemuliaan. Senja itu,saat aku berkunjung, kudapati mutiara kehidupan sejati. Mutiara hidup yang menyadarkan aku, betapa memang hidup ini adalah sebuah penantian. Menunggu. Menantikan sesuatu. Dan sesuatu itu adalah keabadian. Tinggal sekarang, apakah dalam penantian ini kita bisa mengisinya dengan sesuatu yang bermakna atau malah yang merusak.
Suatu saat dengan mbah Harni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH