“Gesang
Punika lak Nengga…”
“Gesang punika lak nengga ta pak,,,”,Begitulah
kalimat tulus yang meluncur lembut dari
seorang ibu berusia sekitar 70 tahun. Namanya Suharni, sudah menjanda,suaminya,
Bapak Suyud Yesaya, berpulang bersamaan dengan Natal 2013, tanggal 25 Desember.
Tetangga sekitar biasa memanggilnya mbah harni. Badannya kurus,dan semakin
tidak simetris dengan tinggi tubuhnya
yang tergolong tinggi untuk perempuan desa seperti beliau.
Kulit wajah Nampak keriput,rambut sebagian telah
luruh karena jatuh dan tiada tumbuh. Beliau tinggal sendirian,meski rumah deket
dengan anak-anak yang tidak merantau. Dulu, pada sebuah masa, beliau sangat
dihormati dan dihargai,bahkan mungkin disanjung,sewaktu almarhum suami
menjadi bekel,atau kepala dusun. Sebagai
bekel dalam sebuah masa dalam rezim tertentu, kekuasaan tertinggi dusun ada di
tangan suaminya. Maka, tidak mengherankan jika kehormatan sempat singgah dalam
hidup mbah Harni, meski agaksingkat.
Kini di usia senjanya, mbah Harni menikmati
waktunya dalam kesendirian. Dalam kesepian,anak dan cucu sudah sibuk dengan
semua tetek-bengek permasalahan yang menderu tiada pernah mau istirahat. Semua
dilakukan sendiri,semua dikerjakan sendiri dan sendiri itu semakin sepi
manakala bangunan rerelasi manusia juga sudah semakin rusak oleh “Traktor
Peradaban” bernama Teknologi.
“Kok tidak minta HP ke anak-anak mbah?”, Pada
sebuah kesempatan, saya mencoba bertanya, siapa tahu sebenarnya mbah Harni ini
ingin alat kominikasi selluler,namun enggan meminta ke anak-cucu.
“Walah,,,gek badhe kangge napa pak,,pun mboten
saget. Ngeten mawon kula pun remen,saget nekseni lare2 sami makarya,sanadyan
nggih naming berah-berah”,Dengan lembut mbah Harni menjawab,dengan sederhana
dan tulus mbah Harni memberi alasan semua tentang diri,hidup dan
kesendiriannya. Tidak terlintas ada sebuah sesal,tidak terungkap sebuah rasa
kecewa dengan apa yang beliau jalani.
“Gesang Punika lak naming nengga ta pak”,Kembali,
mbah harni,sambil menyulam kain sederhananya memberikan kesaksian hidupnya.
“Kula, ugi panjengan nggih sami-sami nengga wekdal,wekdal kapurih wangsul datang
griyaning klanggengan..”(Hidup itu kan hanya sebuah penantian,kita semua,juga
saya dan bapak,sama,sedang menunggu,menunggu waktu dipanggil pulang ke rumah
keabadian).
Mbah Harni, peremuan sederhana itu, perempuan yang
dalam usia senjanya meski menyandang sebuah penyaikit,dan juga meski sepi
sendiri,ternyata menyimpan keagungan. Menyimpan kemuliaan. Senja itu,saat aku
berkunjung, kudapati mutiara kehidupan sejati. Mutiara hidup yang menyadarkan
aku, betapa memang hidup ini adalah sebuah penantian. Menunggu. Menantikan
sesuatu. Dan sesuatu itu adalah keabadian. Tinggal sekarang, apakah dalam
penantian ini kita bisa mengisinya dengan sesuatu yang bermakna atau malah yang
merusak.
Suatu
saat dengan mbah Harni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar