ANTARA
SAAT TEDUH DAN MAKAN
Beberapa orang Nampak asyik mengelilingi sebuah
meja makan di restoran elit sebuah kota. Sambil bercandaria mreka menghabiskan
waktu makan dengan bergurau dan juga mungkin membuat kesepakatan-kesepakatan
bisnis,menilik dari pakaian mereka yang menandakan seorang ekskutif modern. Baju
santai dan semua bagian pakaian serta tubuh memegang HP,Gadged,BB, Ipad dan
juga Androit. Karena asyiknya, waktu makan mereka menjadi jauh lebih lama
daripada “ritus” makan yang sejati. Dan saat usai makan,sambil melirik jam
tangan, salah seorang dari mereka mengajak mereka untuk kembali ke tempat mereka
mengabdi. Namun terdengar jelas jawaban salah satu dari mereka.
“Tunggu sebentar lagilah, biar makanan ini turun
dulu”. Sebuah jawaban spontan yang jujur namun mengandung pengertian biologis
yang dalam, bahwa makanan yang usai mereka santap itu mesti turun dan msuk ke “ruang
pengolahan”, sebelum dipilah dan dipilih menjadi sesuatu yang berguna untuk
tubuh jasmani ini. Dan memang benar, mkanan yang dimakan manusia tidka harus
langsung bisa dimanfaatkan oleh tubuh,namun mesti melewati beberapa tahap dan
proses dalam tubuh sebelum siap dipergunakan untuk kebaikan tubuh.
Mendengar percakapan sekelompok ekskutif muda
itu,pikiran ini jauh melayang pada sebuah ritus agama yang saya yakini. Dalam sebuah
ritus dan itu kemudian masuk homile (kotbah),setelah usai kotbah,tuntunan
ibadah itu adalah “SAAT HENING”, atau saat teduh. Namun sepertinya “Ruang Teduh”
ini semakin hari semakin didesak oleh gemuruh persoalan dan kebutuhan manusia. Ruang
teduh yang semestinya seperti prosesi makanan dari mulut,kunyah,tenggorokan,lambung,usus
besar, pengolahan,masuk ginjal,disortir,dikirim he hati,disortir lagi,dimuat
untuk diangkut melalui ekspedisi darah keseluruh tubuh hilang. Manusia berpikir
serba instan dan praktiks pragmatis,seolah semua harus selalu siap. Fenomena ini
jamak terjadi di hampir semua agama. Semua hanya berkutat pada wilayah kognitif
sementara wilayah rasa dan “Penguyahan” ditendang jauh-jauh untuk digantikan
dengan gejolak gairah hasrat pemenuhan segala nafsu. Pada akhirnya, saat teduh
itu dikorupsi oleh hasrat keserakahan manusia.
Pernah suatu saat, penulis dalam sebuah
ritus,menggunakan waktu SAAT TEDUH ini hampir sekitar 3 menit. Apa reaksi yang
muncul dari audience?Gelisah dan bingung!!Beberapa suara yang masuk serta
mengganggu adalah..”Hmmm…iki
kesuwennn,sing kotbah lali yen ra turu!!” (hmmm…jangan-jangan yang kotbah
lupa atau malah ketiduran!!). dan kemudian,saalah seorang pemimpin umat itu
mendekati mimbar serta mengingatkan, “Pak, pun kedangon,napa sare?” (Pak sudah
kelamaan, atau bapak tertidur?” Benar-benar memprihatinkan. Kembali lamunan ini
melayang jauh ke proses makan dan makanan tadi,apakah setelah di makan langsung
bisa dikirim ke seluruh tubuh???
Saat teduh, sebuah istilah yang indah dan sungguh
sangat menyentuh bagi siapa saja. Dan mekanisme ini bisa dijumpai dalam praktik
hampir di semua agama yang beredar di muka bumi ini. Bahkan ada sebuah
keyakinan yang di dalam menjalani keyakinannya sebagiabn besar adalah
kontemplasi atau saat teduh. Namun sayang,
semakin hari RITUS TEDUH ini semakin tersingkir dari peradaban kepercayaan umat
manusia di jaman yang semakin tidak menentu ini. Mana yang benar?Wallauallam
Salam cinta untuk semesta
Sip
BalasHapusSip
BalasHapus