Kamis, 23 April 2015

Antara Makan dan Saat Teduh



ANTARA SAAT TEDUH DAN MAKAN
Beberapa orang Nampak asyik mengelilingi sebuah meja makan di restoran elit sebuah kota. Sambil bercandaria mreka menghabiskan waktu makan dengan bergurau dan juga mungkin membuat kesepakatan-kesepakatan bisnis,menilik dari pakaian mereka yang menandakan seorang ekskutif modern. Baju santai dan semua bagian pakaian serta tubuh memegang HP,Gadged,BB, Ipad dan juga Androit. Karena asyiknya, waktu makan mereka menjadi jauh lebih lama daripada “ritus” makan yang sejati. Dan saat usai makan,sambil melirik jam tangan, salah seorang dari mereka mengajak mereka untuk kembali ke tempat mereka mengabdi. Namun terdengar jelas jawaban salah satu dari mereka.
“Tunggu sebentar lagilah, biar makanan ini turun dulu”. Sebuah jawaban spontan yang jujur namun mengandung pengertian biologis yang dalam, bahwa makanan yang usai mereka santap itu mesti turun dan msuk ke “ruang pengolahan”, sebelum dipilah dan dipilih menjadi sesuatu yang berguna untuk tubuh jasmani ini. Dan memang benar, mkanan yang dimakan manusia tidka harus langsung bisa dimanfaatkan oleh tubuh,namun mesti melewati beberapa tahap dan proses dalam tubuh sebelum siap dipergunakan untuk kebaikan tubuh.
Mendengar percakapan sekelompok ekskutif muda itu,pikiran ini jauh melayang pada sebuah ritus agama yang saya yakini. Dalam sebuah ritus dan itu kemudian masuk homile (kotbah),setelah usai kotbah,tuntunan ibadah itu adalah “SAAT HENING”, atau saat teduh. Namun sepertinya “Ruang Teduh” ini semakin hari semakin didesak oleh gemuruh persoalan dan kebutuhan manusia. Ruang teduh yang semestinya seperti prosesi makanan dari mulut,kunyah,tenggorokan,lambung,usus besar, pengolahan,masuk ginjal,disortir,dikirim he hati,disortir lagi,dimuat untuk diangkut melalui ekspedisi darah keseluruh tubuh hilang. Manusia berpikir serba instan dan praktiks pragmatis,seolah semua harus selalu siap. Fenomena ini jamak terjadi di hampir semua agama. Semua hanya berkutat pada wilayah kognitif sementara wilayah rasa dan “Penguyahan” ditendang jauh-jauh untuk digantikan dengan gejolak gairah hasrat pemenuhan segala nafsu. Pada akhirnya, saat teduh itu dikorupsi oleh hasrat keserakahan manusia.
Pernah suatu saat, penulis dalam sebuah ritus,menggunakan waktu SAAT TEDUH ini hampir sekitar 3 menit. Apa reaksi yang muncul dari audience?Gelisah dan bingung!!Beberapa suara yang masuk serta mengganggu adalah..”Hmmm…iki kesuwennn,sing kotbah lali yen ra turu!!” (hmmm…jangan-jangan yang kotbah lupa atau malah ketiduran!!). dan kemudian,saalah seorang pemimpin umat itu mendekati mimbar serta mengingatkan, “Pak, pun kedangon,napa sare?” (Pak sudah kelamaan, atau bapak tertidur?” Benar-benar memprihatinkan. Kembali lamunan ini melayang jauh ke proses makan dan makanan tadi,apakah setelah di makan langsung bisa dikirim ke seluruh tubuh???
Saat teduh, sebuah istilah yang indah dan sungguh sangat menyentuh bagi siapa saja. Dan mekanisme ini bisa dijumpai dalam praktik hampir di semua agama yang beredar di muka bumi ini. Bahkan ada sebuah keyakinan yang di dalam menjalani keyakinannya sebagiabn besar adalah kontemplasi atau  saat teduh. Namun sayang, semakin hari RITUS TEDUH ini semakin tersingkir dari peradaban kepercayaan umat manusia di jaman yang semakin tidak menentu ini. Mana yang benar?Wallauallam
Salam cinta untuk semesta

2 komentar:

FIKSI Di Malam PASKAH