Senin, 22 Juli 2013

NARASI KEHANCURAN











SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB UNTUK MENGHIJAUKAN INI LAGI?
Hutan di seluruh dunia, menurut laporan semakin menipis, begitu pula di Indonesia. Di antara Salatiga dan Gubug Purwodadi, sejatinya adalah Hutan Jati milik Perhutani. Namun semenjak reformasi tahun 1997-1998, akibat terjadinya penjarahan besar-besaran  hingga kini kondisinya semakin menguatirkan.
Ilalang tumbuh menggantikan pohon-pohon jati, sementara tanaman palawija petani seperti jagung dan kacang, dalam beberapa tahun terakhir, justru menghiasi (bekas) hutan jati ini. Sebenarnya Perhutani telah tepat mengambil langkah dengan menggadeng petani lokal untuk menggarap dengan cara tumpang sari sehingga keamanan tanaman tahunan terjaga. Namun harapan akan segera tumbuh besarnya tanaman itu belum bisa terwujud cepat karena kadang petani lebih mementingkan tanaman palawijanya daripada tanaman Jati.
Jika terus dibiarkan, maka besar kemungkinan hutan Jati diantara Salatiga dan Gubug Purwodadi ini akan menjadi padang rumput atau bahkan hamparan ilalang yang secara fungsi hutan sebagai Paru-Paru dunia tidak begitu berpengaruh signifikan.
Lalu masalahnya adalah, siapa yang bertanggungjawab atas nasib hutan ini?Pemerintah melalui Dinas Kehutanan ataukah seluruh masyarakat? Sudah saatnya semua memikirkan nasib hutan yang merupakan bagian dari ciptaan  Tuhan
Mbah’e


refleksi



BAHAGIA ITU PILIHAN
Catatan tafsir reflektif Kisah Rasul 16:16-34

Banyak orang berpikir dan juga menjadikannya prinsip hidup bahwa yang menjadi sumber kebahagiaan adalah tertumpuknya material yang didambakan. Ada rumah mewah lebih dari satu, ada tabungan dan uang kas sesuai keinginannya, ada mobil,semua alat elektronik paling mutakhir. Ada pula yang memiliki konsep bahwa dirinya akan bahagia jika memiliki istri banyak, memiliki perusahaan banyak, bisa kemanapun yang disuka. Hampir semua manusia memiliki  konsep kekayaan sebagai sumber kebahagiaan. Dan nampaknya itu tidak banyak yang menangkali. Semua sepakat dan setuju akan konsep ini.
Jika kemudian manusia diperhadapkan pada realita yang berbeda, pada suatu kenyataan yang secara manusiawi menyakitkan, apakah mungkin bahagia yang didamba itu akan dirasa?Mungkin akan ditertawakan oleh banyak orang. Dikatakan gila, tak rasional, tak masuk akal, kenthir dan masih banyak umpatan lainya.
Lalu, ketika ada sebuah ide, usulan, pendapat yang menyatakan bahwa bahagia itu pilihan, kira-kira akan seperti apa reaksi mereka itu ya?
Alkisah, dalam touringnya ke sekitar Asia Kecil Paulus dan Silar sampai pada sebuah kota. Di sana mereka mengajar tentang Injil Yesus. Ada yang disembuhkan, adan yang diajar dan mendapat pembaharuan, namun yang paling  heboh adalah ada yang terusir setannya. Hebuaat!Namun justru inilah masalahnya, seta-seta itu dikendalikan oleh para juru tenung dan mereka bekerja kepada majikan demi segepok uang. Maka ketika banyak yang  tak lagi memerlukan ilmu tenung para petenung yang notabene mengurangi penghasilan mereka. Mereka marah. Paulus dan Silas akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Penjara paling jelek pada masa itu. Gelap,pengab dan sempit. Dingin dan lembab. Mungkin banyak nyamuk dan juga tinggi (binatang ecil yang kalau menggigit menjadikan bentol). Mungkin masih banyak lagi. Semua bisa menjadi pendukung untuk tidak bahagia. Namun mereka malah bernyanyi, mereka bahagia. Ini yang aneh. Ajaib. Mana ada orang dipenjara bisa bersuka cita (Kecuali sekarang karena Penjara itu bisnis fasilitas juga).
Paulus dan silas mengerti darimana, dimaa dan mau ke mana hidup mereka. Dari siapa, dan untuk siapa hidup mereka, karenanya apapun yang mereka alami tak mempengaruhi bahagia mereka. Bagi mereka bahagia adalah suasana hati bukan keadaan di luar diri. Bahagia buka karena mampu mengumpulkan banyak namun manakala mampu membagi eberapa banyak.
 Penjara yang gelap itu membuat keajaiban. Nyanyian Pujian mereka berdua menggoncangkan struktur bumi, ada gempa bumi yang akhirnya melepaskan mereka yang terpenjara. Mereka lepas dari belenggu yang menyencangnya.   Dan mereka hebat, manakala penjaga penjara ketakuta karena merasa lalai dan karena itu mau bunuh diri, mereka menghalanginya. Pengampunan adalah buah dari kebahagiaan. Maka, kita perlu belajar untuk menjadikan bahagia itu pilihan bukan lotre kehidupan.
Selamat  Mencoba

MARIA DAN MARTHA


Kisah dua perempuan bersaudara di dalam Alkitab Perjanjian Baru (PB) ini merupakan salah satu kisah yang populer di dalam tradisi gereja-gereja. Dan biasanya selalu mempertentangkan dua perempuan ini dalam pusaran permusuhan antara yang benar dan yang salah. Memang benar, Yesus secara tersirat membenarkan pilihan Maria dan dengan demikian tidak begitu setuju dengan pilihan Marta. Namun apakah benar demikian yang terjadi?Awas, jangan terburu menilai namun mari sejenak kita ikuti kisah ini dengan cermat dan seksama.

Kisah yang dicatat dalam Lukas 10 ayat 38-42 ini adalah kelanjutan kisah sebelumnya, setelah Yesus selesai mengajar dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Yesus dan para murid dalam sebuah tour, long march atau perjalana pajang ke seluruh Yudea dengan menyisir kampung-kampung. Kondisi geografi Israel yang di dominasi Padang Tandus nan panas sangat mempengaruhi kondisi tubuh. Perjalanan panjang, letih tak terkira, menghadapi banyak orang yang ruwet,usil,sok paham, sok pintar, sok mengerti, sok salah dan aneka sikap yang lain membuat energi terkuras. Itu  yang (mungkin) sedang dirasakan oleh Yesus dan tentunya para murid. Maka ketika rombongan itu sampai pada sebuah kampung dan memutuskan istirahat, betapa leganya para rombongan. Lukas mencatat bahwa rombongan Yesus menginap atau singgah di rumah perempuan yang menerimanya. Alkitab LAI mencatat bahwa Maria menerimanya, sedangkan BIS (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menerjemahkan dengan bahasa lebih vulgar, yaitu Maria mengundang ke rumahnya. Maria punya saudara perempuan namanya Marta. Nach, kedua saudara perempuan inilah yang menjadi topic permenungan kita.
Ketika Yeses mampir, Ia mengajar dan Maria dengan tekun mendengar (duduk dekat kaki Yesus). Sementara Marta sibuk di dapur (LAI Melayani, sementara BIS sibuk dengan pekerjaan rumah tangganya). Sampai di sini belum muncul masalah dan Yesuspun sepertinya juga tidak mempermasalahka Marta. Namun tiba-tiba (mungkin saking jengkelnya) Marta mendatangi Yesus dan  dengan wajah mengiba dan memelas meminta Yesus menyuruh Maria membantunya. Marta berpikiran Maria tak tahu diri,kebangeten, ada tamu banyak, dari perjalanan jauh kok tidak membantunya menyiapkan hidangan malah duduk enak-enak mendengarkan cerita (dalam bahasa Alkitab pengajaran Yesus). 

Marta jengkel,gemas,marah,kecewa dan mungkin iri atau cemburu.
Nach, mengetahui keadaan demikian Yesus menjawab Marta. Jawabanya sungguh diluar dugaan Marta. Marta berpikir ia akan dibela Yesus karena kewajiban wanita Israel adalah menyiapkan hidangan untuk tamu jika ada tamu. Namun bukanya dibela malah dimarai. Kesalahan Marta bisa jadi bukan karena pilihannya menyiapkan menu hidangan di dapur melainkan iri yang berlebihan dan bermuara ke kebencian. Karena iri dengan saudaranya, maka Marta tega “mempermalukan” Maria di depan banyak orang. Maka hati-hati dengan pilihan hidup. Jika telah memilih jangan mempermaslahkan pilihan orang lain, namun kerjakan pilihanmu untuk kepentingan yang lain. Dari kisah ini kita bisa memetik nilai kehidupan berharga. Sampai dengan pilihannya menyediakan hidangan, Marta tidak pernah dimarahi Yesus, namun ketika iri dan dengki mulai menguasahi dan memprotes yang lain karena benci, maka Yesus tidak mentolerirnya. Maka dari kisah ini, sejatinya menggambarkan kisah kehidupan kita yang sering dikuasahi iri dan benci kepada sesama kita dengan pilihan hidupnya masing-masing.
Selamat menikmati pilihan hidup yang benar dengan tanpa mengusili pilihan orang lain.

Kisah dalam Cerita



BUKU YANG TERTINGGAL


Sendok di tanganku belum sempat aku dorong mengantarkan sesuap nasi menuju ke mulutku, ketika tiba-tiba pintu ruang tamu tempat aku tinggal diketok dari luar. Bergegas aku menuju pintu, kulihat dari sela-sela korden siapa yang datang, aku kenal maka segera kubuka pintu ruang tamuku. Berbasa-basi sejenak, lalu aku pamit cuci tangan, meskipun aku upayakan juga untuk menyediakan minuman untuk tamu yang adalah sahabatku itu.

Sekitar satu jam kami bercakap dengan topik yang tak menentu. Namun hampir pasti disekitar kerjaan, rumah,HP,Tab, BB dan juga pasangan hidup. Dari daftar itu, bagian terakhir aku paling tidak suka membicarakannya. Entah mengapa aku enggan berbicara masalah itu. Benar usiaku sudah tidak muda lagi, benar pula bahwa teman-teman se-angkatanku dan juga seusiaku sudah hampr semua ada yang memanggil “ibu”, “mama”, “bunda”, “mami”, dan tinggal aku yang masih bertahan dengan paggilan “mbak.” Setelah sekitar satu jam kami berbagi cerita dan berkisah dalam senda gurau, yang akhirnya membuat tempat kami bercakap kacau-balau.

Temanku itu, Suci namanya. Kinathi Suciningtyas, dan akrab dipanggil Suci. Wanita karier, enerjik, supel,agak tomboy dan enak diajak berteman. Hobinya banyak, salah satunya, mengoleksi dan membaca buku. Selalu ketika bertemu,paling tidak memamerkan satu buku baru yang dibacanya, entah pinjam maupun membelinya sendiri. Juga ketika saat ke rumahku, ia membawa atau lebih tepatnya memamerkan buku-bukunya, ada dua yang baru yang katanya bagus. Aku tidak peduli  karena memang semenjak dulu, aku tidak begitu suka dengan buku, apalagi membacanya.  Saking antusianya memamerkan ke aku, sekitar 4 buku dikeluarkan dari tas dan diperlihatkan ke aku.



Mungkin lupa, atau tergesa, sewaktu hendak pulang, atau lebih tepatnya meninggalkan tempat tinggalku (baru saja dapat BBM katanya) ada satu buku yang tersingsal. Waktu itu aku tahu ketika sedang membersihkan ruangan. Aku kaget karena ada buku dibawah meja, aku sadar itu bukan bukuku. Setelah hampir usai, aku mengambil buku itu, aku kaget, sepertinya  aku pernah kenal buku dengan model yang hampir sama. Judul buku itu sederhana, ada tertera angka 33, selalu dengan angka itu penulis memberi judul untuk memberitahukan jumlah tema di dalam buku itu. Setelah selesai semuanya, aku masuk ke kamar, berbaring dengan santai. Rambutku yang masih bertahan panjang semenjak esde kubiarkan terurai, kedua kakiku keselonjorkan, bantal satu kualaskan buat kepalaku, guling pink,sama dengan warna bantal serta spreiku kuletakkan di samping untuk sandaran tanganku. Kipas angin kecil kunyalakan, ada kesegaran lembut menampar sekujur tubuhku. Segar dan menyenangkan.

Aneh, tiba-tiba aku tertarik sebuah buku. Aneh, dan membuat aku seperti kehilangan diriku. Diriku yang sulit tertarik dengan buku, meskipun dengan begitu aku bisa mengenyam pendidikan strata satu. Sepertinya buku ini, milik Suci ini, memiliki daya kekuatan luar biasa. Aku baca sampul depannya. Tiba-tiba, ingatanku melompat ke sebuah waktu dipermulaan abad ini. Aku samar-samar ingat, namun amat samar sehingga aku sulit menautkannya menjadi gambaran indah tuk dinikmati.

Mendung tiba-tiba datang tanpa berkabar. Aku maklum,  negriku sudah sulit diprediksi keberadaanya. Dulu katanya ada empat musim namun sampai sekarang hanya dua saja yang ada. Buku itu masih kupegang, ada yang aneh. Semakin aneh. Samar-samar ingatku terbangunkan, ada gambaran-gambaran bermain dilayar memoriku. Semakin aneh manakala tiba-tiba, ada butiran bening air mata bergulir dari dua ujung kelopak mataku. Aku memejamkan mata, mencoba mengejar kilatan bayangan masa laluku yang telah jauh tertinggal dan sengaja kutinggalkan. Masa lalu yang takpernah kumengerti, namun yang saat akhir-akhir ini justru aku menyesalinya.

Masih kepegang buku ini dengan erat. Sambil tetap berbaring dan  memejamkan mata. Rambut panjangku sengaja kugeraikan, meski kadang mengganggu gerak leherku. Tiba-tiba juga, seperti aku ingat kata-kata, “Aku suka dengan perempuan yang rambutnya panjang”. Aku yakin, waktu itu meskipun tak berucap langsung kepadaku, itu ditujukan ke aku. Hening dan tenang, khusuk dan menyenangkan. Dan aku membuka mata, kubaca lagi sampul buku itu. Ahaaaai,,,,!Aku ingat. Iya, buku ini, sama persis judulnya dengan buku di rumahku yang kumiliki. Buku itu istimewa bagiku, amat istimewa. Semakin jelas, kilatan-kilatan waktu lalu memberikan gambaran jelas. Iya, buku ini sama persis dengan bukuku yang takpernah selesai kubaca.
****
Siang itu terik luar biasa sang mentari. Meskipun bukan puncak musim kemarau. Panas sudah terasa sejak pagi hari. Persisnya aku lupa tanggal serta tahunnya, namun aku ingat bulannya. Bulan lahirku ke jagad raya ini. Sangat tidak pernah aku duga bahwa peristiwa itu terjadi. Jujur, aku tidak begitu menaruh hatiku padanya. Bahkan mungkin membencinya. Tak ada sedikitpun darinya yang bisa menarik perhatianku.Tidak ada yang menarik minatku, sama sekali tidak ada. Bahkan, ketika sebuah bungkusan diberikan ke akupun, tak semilipun kubergeming. Apalagi, itu buku, barang yang sangat tidak aku sukai. Namun kuterima juga, kubuka bungkusnnya ketika aku tinggal sendiri. Sebuah buku yang judulnya berkenaan dengan yang aku alami. Kutaruh di meja dekat tempat tidurku, dengan kulempar. Malas aku membacanya.
Namun, meski malas dan enggan membacanya, pada waktu-waktu aku merasakan sangat suntuk dan berat meniti hidup ini, aku membacanya. Tidak semua, karena buku itu terdiri dari tema-tema tertentu berjumlah 33. Ada yang sangat menarik perhatianku, dan karena itu aku baca. Usai itu, kutinggalkan yang lain.


JALAN MENJADI KAYA


Aku masih berbaring di tempat tidurku. Kulihat keluar, ke jendala yang sedikit terbuka, kulihat lagit cerah, biru menggelayut seolah memayungi bumi dengan biru yang damai. Mendung yang tadi sempat menggelapi bumi telah pergi entah ke mana. Buku temanku yang tertinggal itu masih kudekap. Aneh, sepertinya aku terikat batin dengan buku ini, atau lebih tepatnya dengan buku yang judulnya sama dengan yang sedang kudekap. Aku bangkit, menuju ke meja, kuraih HP yang kutaruh di atas meja itu. Kucari nama, kupencet tombol call. Yach, aku menelfon ibu,  aku minta tolong ibu untuk melihat di almari kamarku, di laci rak tengah,di bawah pakaian agak resmiku. Aku punya kebiasaan memilah dan menempatkan pada tempat berbeda untuk pakaianku. Untuk yang harian sendiri, yang resmi sendiri, yang santai sendiri dan untuk pakaian tidur juga sendiri. Ibu kebetulan sedang dirumah dan kersa mencarikannya. Aku gelisah, harap-harap cemas. Tiba-tiba aku takut kehilagan buku itu. Aku takut buku itu tidak ibu temukan.
Kembali aku berbaring sambil menunggu 15 menit, itu waktu yang kusampaikan ke ibuk. Tiba-tiba aku ingat, ingat dengan seseorang. Seseorang yang sekitar dua bulan yang lalu -setelah sekian waktu tak saling lihat- berjumpa atau boleh aku jumpai. Meski perjumpaan itu hanya sepintas dan tidak terlontar satu kata dari kami, hanya tangan kami yang saling jabat. Hanya senyuman kami saling terlontar. Aku sepanjang satu jam selalu mencoba mengamatinya, karena kami berhadapan, meski  kadang sembunyi aku tahu dia juga sering mengarahkan padanga ke aku, karena kerap sepanjang waktu itu, beberapa kali pandangan kami saling bertemu.
Lamunanku melambung, berkelana entah ke negeri mana. Sekalian kudengar musik mp3 dari sebelah rumah, lagu melankolis dari Katon Bagaskara “Cinta Selembut Awan”. Tetangga sebelah itu agak aneh, anak ABG namun suka lagu-lagu lama, lagu-lagu romantis yang semestinya tidak disukai anak-anak remaja jaman sekarang. Atau memang disengaja olehNya, untuk sekaligus menambah dan menjadi ornamen keadaanku sekarang ini? Gigitan  nyamuk menyadarkanku, aku kaget. Kutengok HP, ada 2 sms. Aku buka, dari ibuk ternyata. Sebuah kabar, bahwa bukunya masih. Teriak tertahan aku membaca sms dari ibuku. Segera kuminta besok ibu atau bapak mengirimkannya ke aku dengan paket express biar segera sampai di tanganku.
Buku temanku yang tertinggal itu kuraih. Aku mulai membuka halaman demi halaman, bab demi bab. Tidak aku baca memang, hanya kubuka dan kubuka. Mata dan tanganku di buku temanku yang tertinggal ini, namun pikiran dan anganku melanglang buana. Meniti jalan mimpi.
Hari-hari setelah itu kulalui dengan harap yang membubung tinggi, buku itu segera sampai di tanganku. Memang aneh, di tanganku ada buku temanku yang tertinggal. Judulnya sama, warnanya sama, edisinya setelah aku cek juga sama. Namun aneh, bukan buku itu yang menarik perhatianku. Buku milikuku itu yang menarik minatku. Ku menghitung hari. Setelah tiga hari kuterima buku itu. Seperi anak kecil, sesampai di rumah sepulang kerja, kubergegas ke kamar, kubuka bungkusan buku itu, kusobek biar cepat terbuka dan akhirnya kupegang kembali buku yang telah lama kuabaikan. Dengan memegang buku ini, seolah ingatanku akan peristiwa lampau tertampak lagi.
***
Aku sadar, mungkin aku dulu salah menanggapi sesuatu. Salah membaca bahasa dari seseorang yang ternyata sangat menaruh perhatianku, sampai saat ini. Aku salah, karena aku hanya mengikuti emosiku, tanpa pernah menggunakan nalar logisku untuk memikirkannya. Dalam hal ini, aku tidak akan menyalahkan siapapun, selain aku. Dengan kuakui kesalahanku, aku berharap akan ada langkah jelas di hari-hari yang akan kujelang. Terkadang muncul niatan untuk merampasnya. Namun akal sehatku  berteriak, aku lunglai. Wajah polos ibu dan dua bocah kecil nan mengagumkan itu menyadarkan keegoisanku.
Tanpa sepengetauan siapapun, kerap aku buka-buka account FB, dan kulihat wajah-wajah imut menggemaskan dari dua bocah kecil itu. Manis dan cakep keduanya. Sering alam bawah sadarku menggodaku, seandainya dahulu tak salah aku mengambil pilihan, mungkin dua bocah imut ini menjadi bagian dari hidupku. Mungkin, aku akan menjadi ibu dari anak-anak itu. Namun, semua hanyalah mimpi, hanyalah lembara-lembaran kenangan. Aku mesti menepiskannya.

Mbah’e