Sabtu, 26 September 2015

Nasib di Langit

Nasib di Langit Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Pada jaman dahulu ada seorang Jendral dari negeri Tiongkok kuno yang mendapat tugas untuk memimpin pasukan melawan musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak.

Mendengar kondisi musuh yang tak seimbang, seluruh prajuritnya gentar kalau-kalau akan menderita kekalahan dan mati sia-sia.

Di tengah perjalanan menuju medan perang, Jendral itu singgah di sebuah kuil kecil. Ia sembahyang dan berdoa meminta petunjuk para dewa.

Sedangkan prajuritnya menanti di luar kuil itu dengan harap-harap cemas.

Tak lama kemudian, sang Jendral keluar dari kuil tersebut.

Ia berteriak pada seluruh pasukannya, “Kita telah mendapat petunjuk dari langit.”

Lalu ia mengeluarkan koin emas simbol kerajaan dari sakunya. Sambil mengacungkan koin itu ke udara ia berkata,

“Sekarang, kita lihat apa kata nasib. Mari kita adakan toss. Bila kepala yang muncul, maka kita akan menang. Tapi bila ekor yang muncul, kita akan kalah. Hidup kita tergantung pada nasib.”

Jendral lalu melempar koin emas itu ke udara. Koin emas pun berputar-putar di uda
... baca selengkapnya di Nasib di Langit Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Selasa, 22 September 2015

Hati-hati dengan Tindakan BAik



Awas, dibalik Tindakan baik sering ada bahaya !
Semnjak kecil kita senantiasa diajarkan untuk berbuat baik. Menolong sesama,memberi bantuan sesama saling menyapa sesama. Kita diajak untuk peduli satu dengan yang lainnya. Dan memang, akibat atau buah dari ajaran berbuat baik itu bisa terkristalisasi hingga dewasa,hingga kita berusia tua bahkan. Namun, benarkah berbuat baik itu selalu  berujung baik?Benarkah bertindak baik itu senantiasa mengasilkan buah yang baik pula?
Alkisah, di sebuah desa, ada satu keluarga yang sudah menikah dan belum memiliki anak hingga usia pernikahan mereka hampir 9 tahun. Bisa dibayangkan kegundahan mereka, dan sewaktu mereka kemudian diberi anak (Teologi Anugerah), mereka sangat berbahagia,mereka senang bukan kepalan. Hingga tiba saatnya lahir anak itu. Saking senengnya, maka diadakan syukuran, semacam bidston untuk sanak saudara, tetangga dan handai taulan. Namun masalahnya bukan di sini, namun saking senangnya mendapatkan momongan, keluarga ini justru teramat sangat hati-hati memperlakukan anak mereka, hingga senantiasa digendong. Bahkan hingga usia yang semestinya mulai belajar berjalanpun anak ini masih saja digendong,diemban oleh keluarga itu dengan alasan takut jatuh, takut kena pecahan kaca,takut nabrak pintu dll. Semua “Tindakan Baik” kedua orangtua si anak itu berakibat fatal, si anak menjadi lambat pertumbuhan fisiknya. Disaat anak-anak seusianya sudah bisa brmain dan berlarian. Ia belum bisa berjalan karena terlalu seringnya digendong oleh orangtuanya.
Tindakan baik orang tua diatas menghasilkan bencana bagi si anak. Dan sepanjang  sejarah peradaban manusia di dunia ini, narasi kehidupannyapun juga sering ditandai dengan “Tindakan Baik” yang berujung petaka bagi yang lain. Atas nama kemuliaan bangsa Arya, Hitler memusnahkan Etnis Yahudi, Atas nama kejayaan Republik Indonesia, berapa ribu jiwa dihempaskan Soeharto? Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melakukannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya adalah perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemukan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara. Mengapa Semua ini bisa terjadi?
Semua bisa terjadi karena orang yang (merasa) sedang berbuat tidak memiliki  kejernihan berpikir. Kejernihan berpikir di sini berarti, mencoba melihat segala sesuatu masalah dengan jelas dan utuh, tidak hanya sepotong-sepotong. Tidak bisa hanya demi kasih sayang karena 9 tahun tidak memiliki anak lalu menggendong terus anak yang seharusnya  sudah bisa berlarian. Biarkan saja anak belajar berjalan dan berlari, JATUH dan LUKA itu bagian dari pengalaman hidup.
Sebuah nasehat dari Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, mungkin perlu diangkat demi menolong kita melihat apa itu kejernihan, Enomiya-Lasalle, mengatakan bahwa kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa dan konsep. Seluruh ajaran filsafat, mistik dan agama di seluruh dunia mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada jati diri sejati kita sebagai manusia.
Seringkali kita sudah merasa benar saat mendengar jeritan minta tolong orang dan kemudian menolong dia/mereka. Di sini kejernihan tidak diajak bicara,tidak dilibatkan. Ini semua terjadi karena di dalam konsep berpikir manusia hanya dipenuhi dengan “Yang penting menolong”. Menolong itu baik, namun melihat masalah dengan lebih jelas dan jernih juga sangat penting. Sama dengan kasus di atas, menggendong anak itu tidak salah,dan juga tidak ada pidana,karena itu baik, namun akibat dari selalu menggendong itu adalah petaka bagi si anak itu sendiri. Mencampuri urusan orang lain  mungkin baik, namun dengannya ada ruang yang hilang batas demarkasinya, sehingga bias semua.
Kembali ke ajaran Enomia-Lasalle, sebagai pertimbangan berpikir kita, berbuat baik itu ada empat kategori. Berbuat baik secara fisik seperti memberi bantuan saat ada yang (merasa) terluka dan tersakiti, yang kedua bertindak baik dengan memberikan inspirasi pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, supaya ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya, ketika keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk berkembang.
Yang ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita memberikan “kebenaran” kepada orang lain.
Yang keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik dengan menjelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain, sehingga orang lain bisa menggunakan segala hal yang ia punya untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut juga jalan Bodhisattva. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima segalanya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan kemudian menggunakan semuanya untuk menolong semua mahluk.
Dari pemaparan yang diangkat Enomia di atas, jelas bahwa kita sering hanya terpaku pada kategori pertama, bertindak baik secara fisik. Dan itu bisa berakibat kategori dua sampai empat musnah. Kita berbuat baik tanpa berjuang memberi inspirasi,kita menolong tanpa tujuan memberi penjelasan, persis seperti seorang bapak yang menggendong anaknya yang menangis karena bertengkar dengan temanyya, lalu marah-marah kepada anak tetangga, padahal sejatinya anaknya yang salah. Si Bapak memiliki pamrih, yaitu puas dan anaknya ada dipihak yang benar, sebagai korban. Jika kita berbuat baik mash dengan pamrih, artinya kita manusia yang belum selesai dengan diri sendiri.oleh karenanya,jangan BERBUAT BAIK dulu, akibatnya berat, gaswat bin medeni.

 


Kamis, 17 September 2015

Dia Ibuku

Dia Ibuku Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Seperti biasa ketika aku sedang dilanda masalah yang berkaitan dengan urusan hati atau lebih suka ku sebut dengan perasaan, aku akan duduk di atas atap genteng rumah yang bewarna hijau lumut dan melamun disana. Melipat kedua kaki di dada dan memeluknya erat. Ku goyangngkan tubuh ke depan dan ke belakang. Aku yakin bila ada seseorang yang melihatku pasti akan mengira aku sedang ditiup angin. Hal itu di karena tubuhku yang kurus dan kecil. Bolehkah aku menggantinya dengan kata imut? Kata ‘kecil’ rasanya terlalu tidak aku sukai untuk sebutan fisikku.

Kembali ke cerita awal bagaimana aku bisa terdampar di atas genteng dan memandangi sekumpulan wanita disana yang mengelilingi gerobak si Mamang penjual sayur keliling di desaku. Aku melihat mereka tertawa, dan suara yang paling aku kenali adalah suara ibuku. Yah, beliau disana berkumpul dengan teman-temannya dan bergosip. Membicarakan masalah suami-suami mereka atau membicarakan anak-anak mereka. Saling menebar kesombongan dan keangkuhan. Aku benci saat-saat seperti itu. Aku benar-benar benci, karena ajang pamer kehebatan masing-masing akan membawa dampak bagiku.

Bagaimana caranya?

Ku beritahu kau, itulah alasan aku berada
... baca selengkapnya di Dia Ibuku Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

FIKSI Di Malam PASKAH