Kamis, 15 Februari 2018

JANJI SAAT KEMARAU DI SONG PUTRI (Bag 2)



Perjumpaan di Song Putri itu adalah akhir perjumpaan Sunan dan Narni, sebelum mereka meniti kehidupan masing-masing. Namun diakhir jumpa mereka, ada sebait janji yang merekan ikrarkan.

“Nar, suatu waktu aku akan kembali ke tempat ini mengajakmu. Dan saat itu, aku akan mengajkmu meniti kehidupan ini, mengarungi  bahtera kehidupan di samudra yang kadang terasa  ganas dan menakutkan ini”, Ungkap Sunan, sembari mendekatkan tubuhnya ke tempat Narni berdiri.

Semilir angin siang menjelang sore itu menjadikan suasana terasa sangat romantic. Narni nampak menikmati suasana dan membiarkan saja Sunan semakin mendekatkan tubuhnya ke dirinya. Hembusan angina yang membelai mereka seolah membiaskan kehadiran Sunan. Dan sembari masih menatap kea rah air yang berkeriap-keriap dipermainkan angina dan sinar matahari, Narni merasakan keanehan yang justru didambanya. Perlahan kemudian dua anak manusia itu sudah saling berdekapan.

****

Waktu kemudian bergulir dengan damai dan taka dan yang mampu mengentikan ataupun mempercepat laju mereka. Di dalam waktu yang bergulir bebas namun pasti itu, Sunan dan Narni juga terjebak di dalam pusarannya. Mereka berjuang memperjuangkan hidup, berjuang menata dan merancang hidup demi esok yang lebih baik. 

Kesibukan pada akhirnya menjadikan mereka melupa akan waktu di mana mereka berucap janji. Entah itu karena janji mereka terlahir kala masih remaja atau memang kesibukanlah yang menghalangi mereka.

Sunan tenggelam dalam perjuangan menemuka hidup yang lebh baik. Usai mengakhiri sekolahnya di Sekolah Teka Mulih (STM), sunan merantau, ke kota di mana semua orang silau dengan tawaan kesuksesannya. Merangkak dari posisi bawah, sunan sedikit demi sedikit menggapai impiannya, meraih kesuksesan di tanah rantau. Sempat ingin mencari di mana Narni berada, namun ingin itu ditepiskannya, demi meraih sukses terlebih dahulu.


Sebenarnya masih bergelora rindu dalam dada dan sanubarinya, namun minimnya info tentang Narni membuatnya bersabar, sembari menunggu waktu yang tepat, untuk mendatangi Narni di kampung halamnnya dan kembali mengajaknya ke taman janji, Waduk Song Putri. Namun budaya pulang dua desa mereka nampaknya berbeda, sehingga harapan untuk berjumpa semakin menipis, meski sunan masih menjaga janjinya untuk kembali kepada Narni, seperti janji di Song Putri.

Waktu terus bergulir dan Sunan nampaknya semakin menikmati suksesnya, hingga nama Narni semakin sayup dalam hatinya. Semua semakin terasa sayup, saat Sunan berjumpa dengan sesosok perempuan yang lain. Awalnya taka da rasa apapun, namun keakrabannya dengan adiknya, karena memang perempuan itu karibadiknya, menjadikan perjumpaan yang terlalu sering itupun mengakibatkan tumbuhnya benih rasa di hati dua anak manusia itu. Dan akhirnya, nama Narni semakin tersembunyi jauh di pojok hati Sunan. Sayup dan semakin sayup, hingga akhirnya nyaris tak terdengar kembali, meski sejatinya masih bersuara.
****
Nun di tempat lain, juga masih di belantara ibukota. Narni,perempuan enerjik dan ceria, juga berjuang menata hidupnya. Dia datang ke ibukota seusai menamatkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas. Ada harap, dalam perantauannya,, Narni bisa menjumpai Sunan, namun bukan itu semata tujuannya merantau. Nanri ingin membantu kedua orangtuanya.

Ganasnya belantara ibukota tak menakutkan Narni, berneda dengan temannya, Mini, yang gagal menaklukan ganasnya ibukota. Narni berani menghadapi gansanya ibukota, karena bertekad memberi beda pada hidupnya. Dalam jerih juang menata dan merenda kehidupan dengan kerja, selalu tersembunyi asa Sunan akan menjumpainya. Sehari, seminggu,sebulan,setahun terus bergulir, namun takjua waktu memperjumpakan mereka.


Dan, mungkin sama seperti Sunan, keringnya hati karena janji takjua terpenuhi, menjadikan Narni merindu siraman untuk hatinya yang mulai menggersang. Dan di saat itulah, muncul sosok Arjuna hidupnya. Masih atu propinsi asalnya, meski berbeda wilayah. Pesisir utara jawa dan pesisir selatan jawa. Namun tidak mengapa, toh keringnya hati bisa tersirami hadirnya sang Arjuna.


Asa untuk menjumpa Sunan semakin sayup dan bahkan takterdengar lagi oleh hati Narni, meski suara dalam sanubari itu masih berteriak. Memang terkadang, kenangan siang romantic di Song Putri masih menjadikan hati Narni menimbun harap, suatu waktu kan terulang,. Teringat saat semilir angina mengantarkan raga mereka dekat, sangat dekat dan kemudian yang terasa hanyalah tubuh yang menggigil, sebelum dehem bapak-bapak yang mau ke lading menyadarkan mereka.

Sang Arjuna dari pantura pula yang akhirnya menggandeng Narni mulai melupakan Sunan, seperti Sunan yang juga mulai melupakan dirinya. Dan akhirnya, tanpa ada jumpa, Narni memilih jalan untuk melupakan Sunan dan menggandeng tangan Arjuna Pantura untuk meniti jalan hidup berkeluarga…
***
Lebih dari duapuluhlima tahun waktu bergulir dengan angkuhnya, dan selama itu pula, ada banyak keindahn dan juga kepedihan kehidupan. Jaman berkembang sangat cepat, peradaban melesat bak meteor menghujam bumi dan di dalamnya teknologi ikut berlari sangat kencang. Teknologi jugalah yang mempertemukan banyak sahabat dalam dunia kecil bernama internet. Di sana, ada banyak ruang yang bernama media sosial.

Dalam gemuruh peradaban yang serba cepat, ketika usia sudah tidak muda lagi,saat anak-anak sudah menghiasa hidup berkeluarga, ada sekilas suka ketika beberapa sahabat dan rekan masa silam muncul kembali. Melaui grup Wa, BBM, FB, Line dan sejenisnya, ada perjumpaan, ada keharuan dan gembira yang terungkap. Beberapa kawan lama kembali hadir dan kenangan saat masa-masa sekolah kembali mengapung dan bermain di pelupuk mata. Pun begitu dengan Sunan beserta Narni. Grup WA jualah yang memperjumpakan mereka.

“Anda telah ditambahkan ke grup oleh seseorang yang tidak anda kenal”, Itulah yang muncul di layar Androit Narni, saat ada seseorang memasukkannya di grup SMP. Kemudian dia buka, cek di info grup, hanya deretan angka, belum bernama. Diperhatikan satu persatu dengan seksama. Hingga akhirnya, Narni menemukan wajah yang sangat dikenaknya. Kemudian teringat suatu siang di Song Putri..angannya melayang jauh, bersamaan dengan itu, dari tetangga satu tembok di komplenya. Narni mendengar sebuah lagu Almarhum Chryse, yang sepertinya menampar kenyataan dirinya..

Masih adakah satu kemungkinan
Bagi diriku dengan dirimu
Menjalin cerita berbagi suka, duka
Walaupun kita sama saling menyinta
Bila disana didepan kita
Tirai menghalangi perjalanan ini
Kini ku mengerti dan dapat merasakan
semua yang kau rasadi saat ini............
Reff.Mengapa ini harus terjadi
Kita bertemu saat dirimuTak lagi sendiri
cobalah engkau sadari
Mana mungkin lagi kita berdua kan menyatu
Maafkanlah diriku kasih...

Tiba-tiba, Narni bergegas mengambil tissue, ada air mening mengatree jatuh di dua ujung pelupuk matanya…
Bersambung..

Kamis, 08 Februari 2018

SENYUMAN KEMARAU


Berulangkali WA dari Dewi dibacanya. Ada rasa tak percaya. Sebenarnya tidak rasa lain selain persahabatan yang terjalin semenjak SMP.

Meski beberapa kawan kadang menggoda kami, karena sering aku tertangkap mencuri pandang Dewi dan juga seringnya beberapa teman memasangkan kami. Itu semua karena kau tahu, bahwa dia nampaknya tidak menaruh hati kepadaku, selain relasi persahabatan. Dan akupun menyadari semuanya.

Lama setelah kami berpisah, kami mendengar bahwa Dewi memiliki persoalan dengan rumah tangganya. Itu aku terima dari  beberapa teman yang berkabar “japri” denganku, meski kami sering bercanda luarbiasa di media grup WA.

Aku hanya menghela nafas dengan kabar burung yang beredar, sembari mendoakan agar Dewi tetap baik-baik saja.

Jam di rumahku yang tergantung di gebrok menunjukkan tepat pukul 12, meski takkuperhatikan namun sejatinya kurasa karena panasnya kemarau musim ini sungguh terasa. Kuperhatikan beberapa orang lalu lalang melintasi jalan desa di depan rumah tinggalku, yang kutempati sendiri, semenjak kedua orangtuaku berpulang.

Kuambil sebatang rokok yang selalu setia menemaniku sampai usiaku saat ini, yang masih sendiri. Sekejab sebuah hembusan angina menyegarkan panas yang membuai tubuhku dan bersamaan dengan itu, ada getaran terdengar yang terdengar dari meja di depanku. HP androitku bergerat dan kuambil. Ada WA dari Dewi,

“Aku ingin bertemu denganmu”, Singkat bunyi WA itu.

Aku kaget, ada agin apakah gerangan Dewi tiba-tiba memintaku bertemu?Apakah benar yang dipercakapkan teman-teman di grup WA itu, lalu untuk apa menemuiku?”, Itulah gejolak yang membuncah dalam batinku.

Benar kami satu SMP, namun rumah kami berjauhan, karena berbeda desa,  oleh karenanya kami semenjak berpisah SMP jarang berjumpa. Kami baru sering mengetahui kabar saat ada raksasa komunikasi bernama WA dan kami sering saling berkabar.

“Kapan kita bisa ketemu?”, Balasku.

“Besok jam 12 siang ya ..di tempat biasa dulu kita bertemu”, Balas WA itu.

“Sebenarnya ada apa sih Wi, kok ujug-ujug ingin bertemu denganku?”, Serbuku dengan Tanya.

“Besok saja mas, saat kita bertemu. Semua akan aku jelaskan”, Jawabnya di WA.
Seharian aku memikirkan persoalan permintaan Dewi yang ingin bertemu, mengajakku bertemu di tempat biasa dahulu kami bertemu. Dan kurasakan  hari bergulir seolah sangat lambat. Bahkan saat malampun terasa amat sangat lama. Hingga aku tertidur saat malam, meski belum mandi sore harinya.

Pagi itu kubereskan semua pekerjaan rutinku, memberi makan ternak, mengontrol kebun sayurku serta laporan websiteku.

Setelah selesai semua, bergegas aku berdandan ala kadarnya. Usia sepertiku sudah tidak pada tempatnya berdandan njimet saat seperti masa pemuda dan remaja.

Kemudian aku berangkat, dengan mobilku yang kuhasilkan dari hasil kerja kerasku,semenjak aku gagal membangun rumah tangga. Hanya berusia empat tahun rumah tanggaku, belum sempat punya anak, dan kemudian istriku pergi dengan mantan pacarnya yang berjanji memberikan segala keinginannya. Aku tidak bisa melarangnya dan ketika ada surat ceraipun, aku menerima sebagai bagian dari “Lagu Kehidupan” yang meski aku nyanyikan sendiri, meski terdengar parau.

Pelan kukemudikan mobilku, melintasi jalan-jalan desa yang Nampak mengeras karena panasnya kemarau. Debu kadang  mengahmbur saat ada anak-anak SMP melintas dengan motor tanpa etika berkendara. Panas sekali siang ini, dan hatiku juga ikut berdebar, menantikan perjumpaaku dengan Dewi. Aku jadi teringat denganDewi, kawanku saat SMP. Dulu dia agak pendiam, meski terkadang terkesan sadis. Cukup smart, meski tidak juga Nampak menonjol. Meski di WA takpernah adawajahnya, namun bayangan wajahnya saat SMP masih jelas di pelupuk mata ini.

Sekitar jam 12.10 menit aku sampai di tempat kami berjanji ketemu. Masih seperti dahulu, belum banyak berubah, hanya ada beda tentang tiang-tiang listrik di pinggir jalan yang menuju desa bernama Pokoh. Rumah penutup pintu air itu masih sama, seperti saat kami SMP,saat kami pernah ke tempat ini. Panasnya terik matahari menghujam ke air warna perak di ebelah selatan tempat kami memandang.

Dewi kulihat memandang kea rah kumpulan air itu. Rambutnya yang panjang dipermainkan oleh angina yang semilir mencoba membelai semesta. Ada anak-anak rambut yang keulihat mempir di sekitar bibirnya, saat aku semakin dekat da nada di depan samping dirinya berdiri. Masih diam Dewi, meski sudah tahu kedatanganku. Akupun ikutan menikmati suasana, juga angina yang menampar wajahku, disampingnya aku berdiri.

“Maaf ya, aku merepotkanmu”, Sapanya memecah suasana dan bersamaan dengan melemahnya hembusanangin. Perlahan Dewi memandang ke arahku. Masih manis, seperti saat SMP, hanya rambutnya Nampak lebih panjang, lesung pipit di kedua pipinya Nampak saat agak memaksakan tersenyum.

Aku masih terdiam dan masih asyik menikmati ombak-ombak kecil di bawahku yang kadang berkialaun menerima terpaan sinar matahari. Di ujung selatan, ada angkotan desa meraung-raung membawa penumpang dari pasar, karena ini Wage, pasaran di kecamatan selatan kecamatan kami. Kemudian aku berpaling, menghadap kearah utara, masih bersandar di dua besi dalam bangunan penutup pintu pengatur air itu.

“Hidup ini memang meski saling merepokan Wik”, Jawabku datar.

“Kamu masih seperti dahulu, saat masih SMP”, Jawab Dewi datar.

Angin kembali berhempbus, agak besar sehingga terasa sepoinya. Kuhela nafas, sembari menunggu Dewi menghamburkan cerita.

“Aku dengar kabar, bahwa dirimu gagal berkeluarga. Namun aku takpernah mencoba mencari tahu lebih.” Kata Dewi kemudian. Aku diam, mencoba menunggu ceritanya.

“Akupun demikian. Gagal menjaga rumah tangga, karena suamiku pergi dengan perempuan yang aku sendiri tidak mengenalnya. Pergi tanpa pamit dan takjua kutahu di mana sekarang. Namun yang memberatkanku adalah, semua asetku diambilnya. Kecuali tiga anakku. Semua diambil dan tanpa sisa, bahkan rumahkupun sudah digadaikannya. Menurutku itu belum seberapa. Satu yang membuatku hancur adalah, saat ada seseorang datang menemuiku, mengaku kawannya suamiku. Aku percaya dan dia berjanji menemukanku dengan ayah dari anak-anakku. Namun semua hancur, saat aku diajaknya menemui suamiku, aku dibawa ke sebuah hotel, yang katanya di tempat itu suamiku akan datang. Aku dibookingkan kamar. Aku menurut saja.
Kutunggu dengan sejuta harap, akan bertemu dengan ayah dari anak-anakku.

Namun yang  erjadi adalah petaka. Malam itu, dengan kunci lain, orang yang mengaku kawan suamiku itu masuk ke kamar tempat aku ada. Aku dipaksanya memuaskan nafsunya, dan yang lebih menyakitkan, aku sudah dijual suamiku”, Ungkap Dewi sambil menahan nafas.

Semilir angin semakin sejuk menerpa kami berdua berserta semesta di sekitar kami. Kulihat, ada butiran air bening di kedua ujung kelopak mata Dewi. Perlahan kuambil tissue di sakuku, dan tanpa sadar kuusap butiran air bening itu yang beberapa mulai bergulir ke pipinya.


“Aku sudah hancur berkeping-keping. Semua milikku sirna, dan tinggal anak-anakku yang masih kecil-kecil itu. Sekarang aku titipkan mbahnya, bapak dan simbokku. Aku sudah kehilangan segalanya. Ke sinipun aku minta tolong sepupuku yang gratis tanpa membayar”, lanjut Dewi.

Aku menghela nafas, ada geram bergemuruh di dadaku, tidak terima, kawan dan juga perempuan yang sempat kuidoai itu dihempaskan sebegitu beratnya. Nafasku agak tersengal menahan amarah dan geram.

“Tidak usahlah kau marah. Tidak ada artinya. Aku hanya ingin berkisah denganmu, tanpa harap apapun. Kau mau mendengar kisahkupun sudah mujijat luar bbiasa untuku”, Kata Dewi sembari menyibakkan anak rambutnya yang menutup wajahnya karena hembusan angin siang itu.

Akut tertegun. Kuarahkan pandanganku ke selatan. Nun di sana, bukit-bukit yang merupakan gugusan pegunungan seribu, masih tegar dengan segala duka yang menerpa. Seekor burung tekukur melintas cepat di atas kami berada dan bunyi ayam alas menyeruak diantara semilir angin. Aku tersadar, nampaknya in cara Yang Kuasa mempertemukannya denganku, aku diutusNya untuk menolongnya.

“Dewi, maukah kau menemaniku menghabiskan sisa usiaku?Aku siap mendampingimu bersama-anak-anakmu meniti kehidupan ini”, Tiba-tiba kata-kata itu meluncur bak banjir sungai pegunungan. Dan Dewipun Nampak kaget bukan kepalang.

“Sadarkah dengan apa yang kau ucapkan?”, sergahnya seolah tidak percaya. “Aku sudah hancur, hina sehina-hinanya. Dan kau masih putih laksana awan di timur bukit itu”, sembari menunjuk kea rah sepotong awan putih di atas bukit tenggara kami berada.

“Putih dan tidak bukan kita yang menilai Wik. Sekarang, mau tidak kau menemaniku meniti kehidupan ini?”. Jawabku pelan namun mantab. Kulihat Dewi bingung namun sebait harap Nampak memendar dari wajahnya yang manis. Kemudian menyibakkan rambutnya, menalinya dengan pita ungu, warna kesukaannya semenjak SMP.

“Aku mau. Aku siap menemanimu hidup sampai maut memisahkan kita”, Jawab Dewi. Alam semesta seolah ikut terhanyut suasana hati kami. Di air waduk dekat kamipun mendadak tenang, hembusan anginpun gagal menggerakkannya, semua terhanyut suasana hati kami berdua”

Dan siang itu kulihat Kemarau Yang Tersenyum. Mungkin bukan hanya untuk kami.. Sayup kudengar lagu Naff, “Akhirnya Kumenemukanmu”, teralun merdu, semerdu hati kami berdua…



Rabu, 07 Februari 2018

JANJI SAAT KEMARAU DI SONG PUTRI



Sejak kecil Narni, nama gadis itu, sudah punya bakat cantik dan juga supel serta enerjik, meski kadang terasa agak cerewet. Meski saat SD kecantikannya belumlah terlihat, dan baru Nampak semakin jelas sewaktu menginjak sekolah SMP. Dan saat SMP itulah, Narni 

Nampak akrab dengan teman satu kelasnya, yang bernama Sunan, remaja sederhana yang selalu menjadi perhatian Narni, meski masih Nampak malu-malu kucing.
Selepas SMP, mereka berpisah. Narni masuk SMA dan Sunan masuk STM di kota Kabupaten. 

Karena jarak desa mereka berdua yang relative jauh, maka jarang sekali mereka bisa berjumpa, hanya saat tertentu saja mereka bisa berjuma. Semisal kebetulan satu bus atau memang janjian ke kota Kabupaten. Meski demikian, benih-benih suka mulai tumbuh diantara mereka.

“Nar, kamu pernah kangen ga sama aku?”, Tanya Sunan suatu waktu, saat mereka duduk menunggu bus di halte terkenal di kota kabupaten itu, namanya gudang seng. Saat itu kebetulan Narni sedang dolan ke kota abupaten, dengan teman-temannya.

“Hmm..apa ta Nan, kamu itu..ya…anu..anu..hhh”, Tersipu Narni mencoba menjawab pertanyaan sunan, sembari memegangi kancing baju coklat pramuka, karena kebetulan itu hari sabtu.

“Yowis kalo tidak kangen, tapi dari caramu menjawab, aku tahu kok Nar, kamu itu jan-jane kangen lho sama aku”, desak Sunan, ingin menegaskan bahwa sebenarnya Narni kangen dengan dirinya.

Lalu datanglah Bus arah kampong mereka, Serba Mulya. Mereka kemudian berdesakan naik, dan sudah tak mendapatkan lagi tempat duduk karena saking sesaknya.

“Klakon Ngadeg tekan tujuan kingko…”, Sunan berkomentar dan disambut senyum merona dari Narni. Dan dalam desakan bus Serba Mulya  jurusan Praci-Solo, bersama puluhan penumpang yang lain, Sunan serta Narni meniti jalan-jalan indah penuh romansa.

Kesibukan sekolah akhirnya menjadikan mereka berdua, sangat jarang bertemu, hingga suatu waktu, di sebuah acara desa, mereka bertemu dan mencoba mencari waktu untuk berdua.

“Nar, nanti minggu depan hari jumat itu tanggal merah lho. Bagaimana kalau kita dolan, bedua saja”, Tawar Sunan.

“Wah, kemana Nan, njur pamitku pie?”, Jawab Narni, berharap namun Nampak galau, karena takut tidak diijinkan orang tuanya.

“Aku pamit alasan apa coba?”, Kejar Narni dengan Tanya.

“Hmmm..alasan ngerjain PR kelompok saja Nar”, sergah Sunan penuh harap.

“Kamu ngomong ke simbokmu, matur kalo mau ngerjain PR di rumahe Wanti yang di Parangjoho”, Dengan mantab sunan memberi jawaban solusi.

Dan benar, sesampai di rumah, setelah perjumpaan di acara desa itu, Narni mencoba pamit ke simboknya.

“Oalah Nar, lha kok nggarap PR jaraknya aduh men”?Trus nanti kamu mau ngonthel sendiri atau ngekol dari pasar?”, Tanya simboknya. Narni diam, namun merasa ada peluang, segera meyakinkan simboknya.

“Anu mbok, nanti ada beberapa temen. Ada Mini, Tutik, dan juga Kini, kami mau barengan ke rumah Wanti”, Jawab Narni mantab dan itu yang membuat simboknya memberikan rekomendasi.

Pagi itu, saat tanggal merah, jam 4.00 Narni sudah bangun, mandi dan berdandan. Itu yang membuat simboknya heran. Ini anak mau ngerjakan PR kok semangat banget, bahkan jam sepagi itu sudah bangun serta mandi dan dandan. Sesuatu yang agak jarang saat masuk sekolah.

“Nduk, Nar, kamu itu mau ngerjain PR atau mau kangsen karo Sumadi?”, Canda  simboknya. Agak gugup, Narni kemudian menjawab.

“Ya ngerjain PR ta mbok”,jawabnya agak gagap. Namun simboknya tidak memperhatikan, karena sibuk marut klapa untuk njangan agi itu.

“Nanti pulangnya jangan sore-sore ya nduk”, Weling simboknya.

“Siap mbok, kalo sudah selesai nanti aku segera pulang”, Jawab Narni mantab. Kemudian pamit simboknya, mengambil pit Jengki andalannya. Mengayuhnya menuju arah selatan, lalu belok kanan dan di ujung timur pasar, sudah ada Sunan menunggu di jog motornya, berada dibalik pohon waru timur pasar kecamatan itu.

“Dah lama Nan?”, Tanya Narni.

“Lumayan, dah segera naik di jog”, Jawab Sunan.
Narni segera naik,agak berjarak, setelah berjalan agak jauh, Sunan Tanya, “Mau ke mana ini Nar?”

“Manut saja Nan”, jawab Narni

“Ke Song Putri saja ya, nanti naik ke goa itu, sembari memandang air waduk”, Jawab Sunan. “Iya, manut, tapi janji ya Nan, jangan sore-sore pulange”, Pinta Narni.

“Iya, kalau sudah puas kita menikmati waduk dan goa song putri, kita mulih Nar”, Jawab Sunan sembari mengeber sepeda motornya. Percakapan dalam motor menjadikan mereka tidak merasakan, bahwa ternyata mereka sudah sampai di Goa Song Putri. Setelah memarkir motornya, Sunan mengajak Narni naik. Awalnya mereka berjalan sendiri-sendiri, namun saat Narni hamper terpelanting, dengan sigap Sunan meraihnya. Agak tersipu mereka, apalagi dari bawah, ada dua orang remaja hendak memancing dan nampaknya memperhatikan mereka.

“Awasss nan, aja mbathi…”Sergah Narni, namun nadanya juga pengen tetap dalam pegangan Sunan. Mereka asik menikmati suasana kemarau di atas waduk Song Putri, hingga menjelang sore. Kemudian mereka pulang dengan senyum sempurna. Semenjak saat itu, Narni dan sunan semakin akrab, tak jarang mereka berkirim surat.

Kesibukan sekolah menjadikan mereka semakin akrab dan semakin tumbuh benih-benih asmara. Hingga kemudian mereka lulus STM dan SMA. Mereka berpisah untuk merajut asa mereka, meski sempat ada sebait janji diantara mereka. Mereka akan saling menjaga rasa diantara mereka, dan suatu waktu akan saling menjumpai untuk meraih impian berdua saat kemarau di Waduk Song Putri..

Bersambung…