Minggu, 19 April 2015

MAAFKAN AKU KAWAN...




Barangkali banyak pembaca buku suci yang tidak begitu menyukai aku, karena banyak hal. Baik kengeyelanku maupun ketidakpedulianku akan banyak hal. Namun, aku hanya hendak meminta sedikit ruang dan waktu untuk kalian semua yang sempat membaca tulisan dari pengalamanku pada sebuah malam menjelang paskah. Malam itu kami, duabelas orang, bersma Guru, masuk ke sebuah rumah yang telah dipesan guru sebelum kami memasuki Yerusalem. 

Rumah sederhana dan kami diberi tempat di ruangan atas dari rumah itu.
Awalnya,seperti biasa dalam peringatan-peringatan paskah tahun-tahun yang lalu. Kami duduk dalam satu meja. Di hadapan kami sudah tersedia makanan khas paskah kami,roti tanpa ragi dan anggur khas perayaan paskah. Oiya, paskah kami itu adalah sebuah ritual pengenangan akan kisah selamatnya bangsa kami dari perbudakan Mesir. Kisah tutur tinular yang dikemudian hari dicatat oleh leluhur kami, yang katanya nanti akan menjadi sebuah buku suci. Kisah yang memberi kami asupan semangat untuk menjaga nasionalisme bangsa kami. 

Jadikan FB SUMBER UANG

Roti tanpa ragi sudah tersedia dalam nampan, terbuat dari gerabah yang terukir indah, sementara cawan-cawan tempat anggur itu juga sudah tersedia. Ada sesuatu yang berbeda dan bahkan bisa dikatakan aneh,jika aku bandingkan dengan perayaan-perayaan serta peringatan-peringatan paskah yang lalu-lalu. Keanehan yang belum kuselami dan kumengerti dengan tepat.

Malam semakin bergulir,sepi mencekam. Serangga malam,nyamuk gurun dan beberapa binatang malam mulai menggeliat. Mulai bersiap untuk beraktifitas menjaga dan bertahan hidup dengan perjuangan menurut dunia mereka. Seolah kami diajak kembali mengenang sebuah perjalanan padang gurun nan sepi dan mencekam. Kami duduk melingkar dengan Guru di ujung yang tidak berdekatan dengan siapapun. 

Aku berdekatan dengan Bartolomeus dan Alpheus. Si Simon, seperti biasa selalu dekat dengan saudaranya Andreas dan juga Yohanes dan Yakobus. Kami semua diam, menunggu saat yang tepat memulai ritus paskah dengan mkan roti tanpa ragi.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba guru berdiri,membuka jubahnya dan kemudian berjalan ke ujung ruangan. Mengambil baki yang selalu tersedia untuk kami para tamu,membasuh kaki kami sebelum memasuki sebuah rumah. 

Aku jadi berpikir,apakah kami tadi lupa membasuh kaki kami sebelum masuk,setelah seharian berjalan dalam perjalanan yang panjang?Sehingga guru sampai mengambilkan baki tempat air itu?Namun yang kemudian kulihat adalah pengalaman yang luar biasa aneh,menurutku. Sang Guru,usai mengambil baki air dan kain lenan,berjalan kea rah kami, dari ujung itu, tempat si Filipus duduk,kemudian guru jongkok dan astaggaaaa…Gurun membasuh kaki Filipus!!!Filipus seperti bingung,menatap kami namun kami semua diam takmengerti apa yang mesti kami lakukan.

Aku kaget,sangat kaget. Guru membasuh kaki satu diantara kami,dan aku berpikir,mungkin dengan itu kemudian akan memberikan baki kepada Filipus dan melanjutkannya berantai. Namun apa yang terjadi?Guru membasuh semua kaki kami. Petrus sempat bertanya, namun takbegitu  ditanggapi Guru. Saat Guru sampai kepadaku, berkecamuklah ribuan rasa dalam dadaku. Malu,gundah gulana,haru,takut,kuatir semua menyatu dalam satu nafas hidupku. Bagaimana mungkin Guru yang begitu kami hormati sampai “Turun” membasuh kaki-kaki kami?

Namun yang kulihat dengan mataku ini adalah benar, Guru membasuh kaki kami semua dengan air dan mengelapnya dengan sempurna. Seharusnya itu kami yang melakukannya untuk Guru dan bukan guru untuk kami. Saat kakiku dibasuh itu,seolah ada pembasuhan yang lain,seolah seluruh hidupku dibasuhnya,persisi seperti kata-kata guru saat berjawab dengan Si Petrus manakala jadwal pembasuhan itu sampai ke si Petrus itu. Kulihat dengan malu-malu guru yang sedang berjongkok di hadapanku. Semua menjadikan rasa maluku bertambah dan bertambah. Kudengar kecipak air itu, kudengar nafas guru yang  tenang dan teratur,berbeda dengan nafasku yang terengah dan takberaturan.

Jujur, aku menjadi malu dengan peristiwa itu. Malu pada diriku sendiri, yang masih berpikir untuk mendapatkan kenikmatan hidup,kemudahan hidup dan kepopuleran hidup dengan mengikuti Guru. Aku malu, karena Guru mengajariku konsep kehidupan yang benar-benar lain dari yang ada  pada kami, pada budaya masyarakat kami. Sungguh aku malu. Malam itu,setelah usai membasuh kaki-kaki kami,guru bercerita bahwa malam itu adalah malah terakhir kebersamaan ragawi dengan mereka semua. Setelah itu,penderitaan yang sempurna akan menjemputnya. Aku tidak mengerti apa yang guru maksutkan dengan penderitaan yang sempurna itu. Yang aku tahu, guru adalah mesias yang kami yakini akan menyelamatkan kami, membebaskan kami dari pasungan bangsa Romawi yang mendera kami.

Dalam lamunanku itu, tiba-tiba guru berkata…”Ayo kita pergi…”


dari aku yang sering kurang percaya


1 komentar:

FIKSI Di Malam PASKAH