Kamis, 09 April 2015

Nyanyian Daun-daun...

Nyanyian Rindu Daun-daun
Untuk Sahabat-sahabat yang telah berpisah 
Pagi ini, seperti biasa, kubuka hariku pada saat tanah belumlah terang. Masih temaram dan buram. Unggas baru ayam jago yang terbangun, sementara burung-burung yang tersisa dalam kebebasa alam belum juga terjaga dari mimpi indahnya malam ini. Aktifatas kembali kulakukan di saat waktu masih sepagi itu. Aktifitas yang sempat menguap beberapa waktu saat ada yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah ini. Kemudian kulanjutkan untuk mengantarkan anak pertamaku ke sekolah yang berjarak sekitar 7 km arah selatan tempat tinggal kami (Bukan rumah kami karena memang kami hanya numpang). Setelah satu desa kami lalui, kami masuk dan melintasi  sebuah perkenbunan karet milik sebuah perusahaan Nasional, perkebunan itu tidaklah luas.  Sekitar 1,5 km jarak tempuh yang mesti dilewati.
Pagi itu, angin berhembus cukup kencang dan bersamaan dengan itu daun-daun karet yang warnanya mulai memerah kekuning-kuningan, tanda hampir usai tugasnya, berguguran,berterbangan, melanglangbuana entah ke mana. Beberapa  helai  daun menampar wajah anak-anak sekolah yang naik motor tanpa helm. Hmmm,,,inilah wajah anak-anak negeriku. Mereka takpernah diajari tertib dan teratur. Keteraturan bagi mereka adalah kalau ada petugas, kalau ada Polisi yang berjaga dan melakukan operasi ketertiban, diluar itu,,tak ada dalam kamus mereka ketertiban itu.  Orangtua mereka mungkin teramat sangat sibuk sehingga lupa mengajari mereka sopan santun, atau mungkin orangtua mereka hanya berpikir uang dan uang,,Entahlah. Mereka hanya mau melakukan yang mereka maui..
Sumpah serapah meluncur mulus dari mulut mereka dan sempat singgah di telinga anakku. Anakku, SD kelas 1,usia 5 tahun 10 bulan, sempat bertanya,,,”Pak,Asu itu kan Anjing ya?Kan ga ada Anjingnya, kok mas-mas yang naik motor itu ngomong Asu!” Akh,,dalam perjalanan ini tak mungkin kujelaskan arti sumpah serapah itu dan juga belum saatnya anak seusia anaku itu mengerti makna sebuah sumpah serapah remaja yang sedang dalam proses pencarian jati dirinya
Hujan Daun di pagi ini,begitu aku berguman. Dan kurasakan ada kedamaian terbawa oleh  daun-daun lepas dari ranting dan melayang mengikuti kekasih baru mreka,Angin. Yahh,,, angin itulah kekasih abadi daun-daun itu,selalu ia setia merayu dedaunan itu dalam segala kesempatan dan selalu sabar angin itu menunggu saat yang tepat untuk mengajak daun-daun itu mau diajak pergi,melayang jauh. Begitu setia si angin itu. Kesetiaan yang utuh dan abadi.
Kulanjutkan perjalananku supaya anakku tidak terlambat. Kuajari dia bagaimana menghargai waktu. Kuajari dia sakitnya terlukai oleh waktu dan kuajak dia tak melukai waktu.  Waktu adalah karunia Sang Kehidupan yang  diberikanNya sama kepada semua makluk. Hanya terkadang, manusialah yang selalu merasa kekurangan waktu. Dasar manusia. Sesampai di sekolah setelah ber-formalitas sekejab aku langsung bersiap kembali ke rumah. Kutitipkan harapan dalam bisikan dan cium sederhana ke anakku. “Belajar yang tekun nak, untuk hari esokmu,,,”  Sambil bergegas beranjak,anakku menjawab,”iya bapak,,”. AKu segera bergegas menuju kebun karet itu. Aku rindu daun-daun kering itu. Aku rindu mereka. Aku ingin menyapa mereka.
Aku rindu Daun-Daun Kering itu kembali menampar muka kusamku ini. Kupacu Sepeda motor inventaris ini dengan agak cepat. Ingin segera kusampai di kebun karet.
Aha…akhirnya aku sampai juga. Kuparkir motor, lalu kumasuk ke dalam area perkebunan. Angin sudah taksekencang saat berangkat. Namun beberapa daun kering masih saja luruh,terbang ke bawah dan kemudian hinggap di tanah. Menyatu dengan tanah,kembali ke asal kehidupannya. Bersanding dengan beberapa “kerabat” yang sudah lebih dahulu menyatu dengan bumi, dengan tanah, mungkin mereka bercakap dalam “Laku Kehidupan” menuju wujud yang berbeda itu. Mungkin, karena aku tak mendengar percakapan mereka. Aku melihat beberapa daun telah membusuk,dan luruh dalam dekapan bumi, dalam selimut abadi tanah itu.
Dalam ilmu pelajaran SD dulu kusadari,bahwa daun itu busuk setelah jatuh dan membuat tanahnya subur,lalu  daun-daun pohon menjadi hijau dan semakin besar. Kemdian luruh lagi,busuk lagi,ada juga yang terbang jauh mengikuti kekasih sejatinya –angin- dan kemudian juga luruh dan busuk,memberi arti tempatnya yang abadi. Kemudia menjadi pupuk yang subur.  Demikian seterusnya dan seterusnya.
Aku diam. Angin pagi ini kembali berhembus agak kencang.daun-daun masih ada beberapa yang luruh dan kemudia terbang, juga masih ada yang setia dalam keberadaan mereka.  Gemerisik mereka manakala berebut diterpa samirana pagi ini,mungkin segar dan lebih segar dari waktu siang,meski sama-sama samirana yag menyentuh. Beberapa kulihat terbang,menari-nari diudara. Bersama music gemerisiknya daun-daun yang lain. Irama purbakala yang mengesankan. Lalu lalang kendaraan bermotor dengan suara mesin yang meraung-raung seolah takmampu mengusir  nayanyian dedaunan ini dalam telingaku. Suaranya meski lirih namun nyaring menerpa sanubariku. Bergaung keras menyapaku. Nyanyian dedaunan ini seperti nyanyian kerinduan, nyanyian rindu untuk selalu menyatu. Daun luruh den kemudian jatuh ke tanah,busuk,menjadi pupuk,subur tanahnya,pohon semakin besar dan daun-daunnyapun kembali menghijau. Itulah putaran kehidupan daun-daun itu. Nyanyian mereka semua adalah nyanyian rindu. Rindu untuk selalu menyatu. Bagi daun-daun itu, keberpisahan adalah sebuah laku kehidupan,dan dalam laku kehidupan itu, mereka senantiasa berjuang memberi  makna, entah seperti apa makna itu, bagi daun tidaklah penting. Yang penting,mereka memberi makna. Berpisah dan bersatu bagi daun-daun itu adalah sebuah kerinduan. Mereka seolah sadar bahwa mereka sedang melakukan sebuah tugas. Tugas dari Sang Kehidupan Sejati. Maka, takada sesal dalam diri mereka,meski harus berpisah,bahkan jauh dari “rumah” mereka.
Anganku melambung jauh,melayang ke sebuah  waktu,saat alam semesta ini masih hijau,masih sejuk dan nyaman. Tidak sebising dan seberisik sekarang ini. Hiajau dan sejuk. Bening dan nyama. Endah dan permai dengan segala pesona. Sebuah rasa rindu tiba-tiba hadir bersama sebuah getir takut. Takutku adalah, saat dewasa nanti anak-anakku tidak akan bisa melihat lagi daun-daun , dan sudah berganti dengan daun-daun palsu, sepalsu dan semunafik peradaban ini.
“Pak,,madosi napa?” (Pak mencari apa?), Sebuah sapaan menyadarkanku dari alam lamunan. Bergegas aku bangkit dan memberi jawaban. “Motret godong garing niki lho bu..” (Mengambil gambar daun kering bu). “O..oo..Nggih sampun pak,,mangga kula riyin,,”(oo,,mari pak,saya duluan). Kujawab dengan senyum. Sebuah bahasa khas kampung nan akrab,nan ramah dan tulus, yang juga aku kuatirkan akan segera punah. Hanya sebuah harap muncul dalam benakku. Semoga bahasa keakraban dan kesantunan itu tidak punah,namun luruh dan kemudian membangun siklus yang baik, seperti daun-daun itu. Hanya sebuah harapan iseng, bisa jadi esok atau lusa kesopanan dan keakraban itu segera punah tertelan peradaban uang yang semakin kuat menguasahi.
Semilir angin kembali menghiasi pagi ini. Sinar matahari mulai terasa panas,seolah siang hari sewaktu 20 tahun yang lalu. Akupun merasa, panas mataharipun sudah tak seakrab dulu lagi. Sudah terasa pedih dalam segala waktu. Sehelai daun kering jatuh menerpa wajahku. Aku segera beringsut. Kembali, menuju sebuah rutinitas siklus kehidupanku…
Suatu Pagi Medio Agustus 14
http://ppsetyasemesta.blogspot.com/www.cintasemesta.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH