Kamis, 09 April 2015

Buku itu Mengingatkanku akan dirimu

Sendok di tanganku belum sempat aku dorong mengantarkan sesuap nasi menuju ke mulutku, ketika tiba-tiba pintu ruang tamu tempat aku tinggal diketok dari luar. Bergegas aku menuju pintu, kulihat dari sela-sela korden siapa yang datang, aku kenal maka segera kubuka pintu ruang tamuku. Berbasa-basi sejenak, lalu aku pamit cuci tangan, meskipun aku upayakan juga untuk menyediakan minuman untuk tamu yang adalah sahabatku itu.
Sekitar satu jam kami bercakap dengan topik yang tak menentu. Namun hampir pasti di sekitar kerjaan, rumah, HP, Tab, BB dan juga pasangan hidup. Dari daftar itu, bagian terakhir aku paling tidak suka membicarakannya. Entah mengapa aku enggan berbicara masalah itu. Benar usiaku sudah tidak muda lagi, benar pula bahwa teman-teman se-angkatanku dan juga seusiaku sudah hampir semua ada yang memanggil “ibu”, “mama”, “bunda”, “mami”, dan tinggal aku yang masih bertahan dengan paggilan “mbak.” Setelah sekitar satu jam kami berbagi cerita dan berkisah dalam senda gurau, yang akhirnya membuat tempat kami bercakap kacau-balau.
Temanku itu, Suci namanya. Kinathi Suciningtyas, dan akrab dipanggil Suci. Wanita karier, enerjik, supel, agak tomboy dan enak diajak berteman. Hobinya banyak, salah satunya, mengoleksi dan membaca buku. Selalu ketika bertemu, paling tidak memamerkan satu buku baru yang dibacanya, entah pinjam maupun membelinya sendiri. Juga ketika saat ke rumahku, ia membawa atau lebih tepatnya memamerkan buku-bukunya, ada dua yang baru yang katanya bagus. Aku tidak peduli karena memang semenjak dulu, aku tidak begitu suka dengan buku, apalagi membacanya. Saking antusianya memamerkan ke aku, sekitar 4 buku dikeluarkan dari tas dan diperlihatkan ke aku.
Mungkin lupa, atau tergesa, sewaktu hendak pulang, atau lebih tepatnya meninggalkan tempat tinggalku (baru saja dapat BBM katanya) ada satu buku yang tertinggal. Waktu itu aku tahu ketika sedang membersihkan ruangan. Aku kaget karena ada buku di bawah meja, aku sadar itu bukan bukuku. Setelah hampir usai, aku mengambil buku itu, aku kaget, sepertinya aku pernah kenal buku dengan model yang hampir sama. Judul buku itu sederhana, ada tertera angka 33, selalu dengan angka itu penulis memberi judul untuk memberitahukan jumlah tema di dalam buku itu. Setelah selesai semuanya, aku masuk ke kamar, berbaring dengan santai. Rambutku yang masih bertahan panjang semenjak esde kubiarkan terurai, kedua kakiku kuselonjorkan, bantal satu kualaskan buat kepalaku, guling pink sama dengan warna bantal serta spreiku kuletakkan di samping untuk sandaran tanganku. Kipas angin kecil kunyalakan, ada kesegaran lembut menampar sekujur tubuhku. Segar dan menyenangkan.
Aneh, tiba-tiba aku tertarik sebuah buku. Aneh, dan membuat aku seperti kehilangan diriku. Diriku yang sulit tertarik dengan buku, meskipun dengan begitu aku bisa mengenyam pendidikan strata satu. Sepertinya buku ini, milik Suci ini, memiliki daya kekuatan luar biasa. Aku baca sampul depannya. Tiba-tiba, ingatanku melompat ke sebuah waktu di permulaan abad ini. Aku samar-samar ingat, namun amat samar sehingga aku sulit menautkannya menjadi gambaran indah tuk dinikmati.
Mendung tiba-tiba datang tanpa berkabar. Aku maklum, negriku sudah sulit diprediksi keberadaanya. Dulu katanya ada empat musim namun sampai sekarang hanya dua saja yang ada. Buku itu masih kupegang, ada yang aneh. Semakin aneh. Samar-samar ingatku terbangunkan, ada gambaran-gambaran bermain di layar memoriku. Semakin aneh manakala tiba-tiba, ada butiran bening air mata bergulir dari dua ujung kelopak mataku. Aku memejamkan mata, mencoba mengejar kilatan bayangan masa laluku yang telah jauh tertinggal dan sengaja kutinggalkan. Masa lalu yang tak pernah kumengerti, namun yang saat akhir-akhir ini justru aku menyesalinya.
Masih kupegang buku ini dengan erat. Sambil tetap berbaring dan memejamkan mata. Rambut panjangku sengaja kugeraikan, meski kadang mengganggu gerak leherku. Tiba-tiba juga, seperti aku ingat kata-kata, “Aku suka dengan perempuan yang rambutnya panjang”. Aku yakin, waktu itu meskipun tak berucap langsung kepadaku, itu ditujukan ke aku. Hening dan tenang, khusuk dan menyenangkan. Dan aku membuka mata, kubaca lagi sampul buku itu. Ahaaaai! Aku ingat. Iya, buku ini, sama persis judulnya dengan buku di rumahku yang kumiliki. Buku itu istimewa bagiku, amat istimewa. Semakin jelas, kilatan-kilatan waktu lalu memberikan gambaran jelas. Iya, buku ini sama persis dengan bukuku yang tak pernah selesai kubaca.

Siang itu terik luar biasa sang mentari. Meskipun bukan puncak musim kemarau. Panas sudah terasa sejak pagi hari. Persisnya aku lupa tanggal serta tahunnya, namun aku ingat bulannya. Bulan lahirku ke jagad raya ini. Sangat tidak pernah aku duga bahwa peristiwa itu terjadi. Jujur, aku tidak begitu menaruh hatiku padanya. Bahkan mungkin membencinya. Tak ada sedikitpun darinya yang bisa menarik perhatianku.Tidak ada yang menarik minatku, sama sekali tidak ada. Bahkan, ketika sebuah bungkusan diberikan ke akupun, tak semilipun kubergeming. Apalagi, itu buku, barang yang sangat tidak aku sukai. Namun kuterima juga, kubuka bungkusnnya ketika aku tinggal sendiri. Sebuah buku yang judulnya berkenaan dengan yang aku alami. Kutaruh di meja dekat tempat tidurku, dengan kulempar. Malas aku membacanya.
Namun, meski malas dan enggan membacanya, pada waktu-waktu aku merasakan sangat suntuk dan berat meniti hidup ini, aku membacanya. Tidak semua, karena buku itu terdiri dari tema-tema tertentu berjumlah 33. Ada yang sangat menarik perhatianku, dan karena itu aku baca. Usai itu, kutinggalkan yang lain.

Aku masih berbaring di tempat tidurku. Kulihat keluar, ke jendala yang sedikit terbuka, kulihat..................selengkapnya di..
pernah dipublikasikan di web www.cerpenku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH