Minggu, 05 April 2015

merawat budaya rasulan...



MERTI DUSUN
Sebuah upaya menyatukan warga dalam sebuah pesta rakyat

Semakin lama, semakin terdesaklah budaya Jawa atau minimal segala yang berbau jawa di dalam kehidupan ini. Orang-orang semakin tidak suka dengan segala sesuatu yang bersifat pelestarian budaya, karena semua yang bernuansa budaya sering dianggap sesuatu yang usang, kuna atau jadul. Masyarakat semakin hari semakin akrab dan malah bangga dengan segala sesuatu yang berasal dari luar dan itu yang dianggap maju,modern dan mengikuti jaman. Adat istiadat, budaya,tata krama, tata sulila, sopan santun dan keramahan khas Jawa semakin hilang dari permukaan peradaban di mana sekarang ada di tanah dan pulau jawa ini.
Kesemuanya ini semain diperparah dengan sistem negara yang sepertinya memang tidak mau mempertahankan budaya lokal sebagai bagian dari kekayaan kultural. Di sekolah-sekolah sebagai persemaian generasi yang akan datang,sangat jarang ada alokasi waktu pelajaran untuk mengenal perihal seperti wayang, kenduri,slametan ataupun pesta panen rakyat yang terkemas dalam bentuk merti dusun (untuk daerah sekitar Wonogiri dan Gunung Kidul dikenal dengan istilah Rasulan). Andai pemerintah yang dalam hal ini sebagai pelaksana kehidupan bersama mampu melihat dan kemudian secara intensif mengembangkan perhatian terhadap budaya lokal sebagai kekayaan bersama, niscaya bayak budaya yang merupakan kekayaan lokal akan bertahan. Karena jikalau tidak diupayakan secara bersama, maka cepat atau lambat bayak kekayaan budaya lokal yang terancam punah.

Setiap tahun,dan biasanya pada bulan oktober, di dusun Nalen, desa Watuagung kecamatan Tuntang ada sebuah perayaan pesta panen. Sebuah perayaan pesta rakyat yang terkemas dalam istilah merti desa/dusun. Puncak dari acara ini adalah digelarnya wayang kulit selama sehari semalam. Ini merupakan puncak dari seluruh rangkaian pesta rakyat dalam bentuk merti dusun.
Pesta diawali dengan kerjabakti membersihkan sumber air desa yang dianggap sebagai pusatnya kehidupan warga desa. Seluruh warga desa, tapa terkecuali hadir bersama dalam kerjabakti membersihkan sumber air ini. Ini sangat unik dan menarik,mengapa?Dalam jaman semua sudah menggunakan sumur pribadi untuk kebutuhan air secara pribadi, di dusun ini (Nalen) masih setia memanfaatkan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Dan lagi, setahun sekali, dalam merti dusun, semua anggota masyarakat diajak untuk memebrsihkan sumber air ini. Semua anggota masyarakat hadir,terlibat dan mengerjakan sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada saling pilih pekerjaan,semua mengalir dengan baik dan sederhana. Tidak ada saling iri dan curiga,seolah di sumber air itulah jati diri manusia yang terbatas dan saling membutuhkan terlaksana dengan utuh. Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan diri untuk membuat ambengan yang berbentuk gunungan yang aka dipersiapkan untuk “kenduri besar” di pagi hari sekitar pukul 07.00 sebelum kelir digelar. Namun sebelum semuanya itu, sebelum pesta besar digelar, seluruh warga masak dan berkirim masakan ke handai tolan baik yang jauh maupun yang dekat dengan menu makanan yang hampir sama.
Model wayangan yang terjadi atau dilaksanakan di dusun nalen mungkin agak unik bila dibadingkan dengan model pagelaran wayang di sekitar solo dan jogja. Wayang di daerah solo atau jogja biasanya dipentaskan hanya pada waktu malam hari, sementara untuk di dusun nalen (juga di daerah sekitar Tuntang) wayang dipentaskan semenjak siang, malahan semenjak pagi sekitar pukul 09.00WIB.

Wayang sebagai media komunikasi, dialog dan juga pastinya sebagai media hiburan telah hampir sirna. Tidak ada  sekolah-sekolah negri ataupun swasta yang memberikan pelajaran kepada muridnya. Jangankan dialokasikan secara khusus, dalam agenda ekstrakurikulerpun tidak ada. Ini sungguuh ironis, budaya mati di rumahnya sendiri. Dan kematinan budaya sendiri itu bukan karena tidak berguna,melainkan karena “dibunuh” dengan sengaja oleh pemiliknya sendiri. Pengalihan ke budaya lain menjadi salah satu penyebab matinya budaya sendiri yang sebenarnya sangat bernilai agung ini.
Pembunuhan Budaya ini perlu dihentikan. Dan Merti Dusun bisa dijadikan semacam “Suplemen” penjaga budaya ini.



1 komentar:

FIKSI Di Malam PASKAH