MERTI DUSUN
Sebuah upaya menyatukan warga dalam
sebuah pesta rakyat
Semakin
lama, semakin terdesaklah budaya Jawa atau minimal segala yang berbau
jawa di dalam kehidupan ini. Orang-orang
semakin tidak suka dengan segala sesuatu yang bersifat pelestarian budaya,
karena semua yang bernuansa budaya sering dianggap sesuatu yang usang, kuna
atau jadul. Masyarakat semakin hari semakin akrab dan malah bangga dengan
segala sesuatu yang berasal dari luar dan itu yang dianggap maju,modern dan
mengikuti jaman. Adat istiadat, budaya,tata krama, tata sulila, sopan santun dan
keramahan khas Jawa
semakin hilang dari permukaan peradaban di mana sekarang ada di tanah dan pulau
jawa ini.
Kesemuanya
ini semain diperparah dengan sistem negara yang sepertinya memang tidak mau mempertahankan
budaya lokal sebagai bagian dari kekayaan kultural. Di sekolah-sekolah sebagai persemaian generasi yang akan datang,sangat
jarang ada alokasi waktu pelajaran untuk mengenal perihal seperti wayang, kenduri,slametan
ataupun pesta panen
rakyat yang terkemas dalam bentuk merti dusun (untuk daerah sekitar Wonogiri dan Gunung Kidul dikenal dengan
istilah Rasulan). Andai pemerintah yang dalam hal ini sebagai pelaksana
kehidupan bersama mampu melihat dan kemudian secara intensif mengembangkan
perhatian terhadap budaya lokal sebagai kekayaan bersama, niscaya bayak budaya
yang merupakan kekayaan lokal akan bertahan. Karena jikalau tidak diupayakan
secara bersama, maka cepat atau lambat bayak kekayaan budaya lokal yang
terancam punah.
Setiap tahun,dan biasanya pada bulan oktober,
di dusun Nalen,
desa Watuagung kecamatan Tuntang ada sebuah
perayaan pesta panen.
Sebuah perayaan pesta rakyat yang terkemas dalam istilah merti desa/dusun. Puncak dari acara
ini adalah digelarnya wayang kulit selama sehari semalam. Ini merupakan puncak
dari seluruh rangkaian pesta rakyat dalam bentuk merti dusun.
Pesta
diawali dengan kerjabakti membersihkan sumber air desa yang dianggap sebagai
pusatnya kehidupan warga desa. Seluruh warga desa, tapa terkecuali hadir
bersama dalam kerjabakti membersihkan sumber air ini. Ini sangat unik dan menarik,mengapa?Dalam jaman semua
sudah menggunakan sumur pribadi untuk kebutuhan air secara pribadi, di dusun
ini (Nalen) masih setia memanfaatkan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Dan
lagi, setahun sekali, dalam merti dusun, semua anggota masyarakat diajak untuk
memebrsihkan sumber air ini. Semua anggota masyarakat hadir,terlibat dan
mengerjakan sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada saling pilih pekerjaan,semua
mengalir dengan baik dan sederhana. Tidak ada saling iri dan curiga,seolah di
sumber air itulah jati diri manusia yang terbatas dan saling membutuhkan
terlaksana dengan utuh. Kemudian dilanjutkan dengan
mempersiapkan diri untuk membuat ambengan yang berbentuk gunungan yang aka dipersiapkan
untuk “kenduri besar” di pagi hari sekitar pukul 07.00 sebelum kelir digelar.
Namun sebelum semuanya itu, sebelum pesta besar digelar, seluruh warga masak
dan berkirim masakan ke handai tolan baik yang jauh maupun yang dekat dengan
menu makanan yang hampir sama.
Model
wayangan yang terjadi atau dilaksanakan di dusun nalen mungkin agak unik bila
dibadingkan dengan model pagelaran wayang di sekitar solo dan jogja. Wayang di
daerah solo atau jogja biasanya dipentaskan hanya pada waktu malam hari, sementara
untuk di dusun nalen (juga di daerah sekitar Tuntang) wayang dipentaskan
semenjak siang, malahan semenjak pagi sekitar pukul 09.00WIB.
Wayang
sebagai media komunikasi, dialog dan juga pastinya sebagai media hiburan telah
hampir sirna. Tidak ada sekolah-sekolah
negri ataupun swasta yang memberikan pelajaran kepada muridnya. Jangankan
dialokasikan secara khusus, dalam agenda ekstrakurikulerpun tidak ada. Ini
sungguuh ironis, budaya mati di rumahnya sendiri. Dan kematinan budaya sendiri itu bukan karena tidak berguna,melainkan
karena “dibunuh” dengan sengaja oleh pemiliknya sendiri. Pengalihan ke budaya
lain menjadi salah satu penyebab matinya budaya sendiri yang sebenarnya sangat
bernilai agung ini.
Pembunuhan Budaya ini perlu dihentikan. Dan Merti
Dusun bisa dijadikan semacam “Suplemen” penjaga budaya ini.
ngeponan bagus kalau dikupas
BalasHapus