Sabtu, 25 Maret 2017

Pohon Tua


Suatu ketika, di sebuah padang, tersebutlah sebatang pohon rindang. Dahannya rimbun dengan dedaunan. Batangnya tinggi menjulang. Akarnya, tampak menonjol keluar, menembus tanah hingga dalam. Pohon itu, tampak gagah di banding dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Pohon itupun, menjadi tempat hidup bagi beberapa burung disana. Mereka membuat sarang, dan bergantung hidup pada batang-batangnya.

Burung-burung itu membuat lubang, dan mengerami telur-telur mereka dalam kebesaran pohon itu. Pohon itupun merasa senang, mendapatkan teman, saat mengisi hari-harinya yang panjang. 

Orang-orang pun bersyukur atas keberadaan pohon tersebut. Mereka kerap singgah, dan berteduh pada kerindangan pohon itu. Orang-orang itu sering duduk, dan membuka bekal makan, di bawah naungan dahan-dahan. "Pohon yang sangat berguna," begitu ujar mereka setiap selesai berteduh.
Lagi-lagi, sang pohon pun bangga mendengar perkataan tadi. Namun...Selengkapnya DI SINI

MENYEMBUHKAN KEBUTAAN



Kebutaan secara jasmaniah adalah gagalnya indera mata menangkap obyek yang ada. Bisa jadi ini dikarenakan oleh karena penyakit tertentu atau karena kecelakaan yang menjadikan mata sebagai indera pelihat mengalami persoalan. Akibat dari situasi buta adalah keberadaan sepi dan seolah sendiri untuk si penderita. 

Selain akibat langsung ini, buta juga menyebabkan bangunan relasi sosial penderita dengan lingkungan mengalami persoalan. Oleh karena itu, bisa dibayangkan betapa hal kebutaan merupakan beban hidup yang berat bagi si penderita. Secara medis mungkin ada jalan keluar mengatasi kebutaan, salah satunya dengan donor mata, namun biayanya pastilah sangat mahal, sehingga penderita buta sering pasrah dengan keadaan dirinya.

Saat sebagian manusia melihat buta sebagai sebuah kemestian hiduo, Yesus melihat dan menempatkan situasi buta dengan cara pandang yang berbeda. Saat para murid sibuk mencari-cari siapa yang salah dengan kebutaan, Yesus justru melihat bahwa kebutaan itu adalah panggilan Illahi untuk siapa saja yang melihat segera terlibat. Ini ditunjukkan Yesus saat melihat orang buta. Ia segera  bertindak dengan caraNya yang selalu unik. Dan akibat dari tindakan Yesus, si buta menjadi sembuh dan bisa melihat dunia dengan sempurna.

Tindakan Yesus di Yohanes 9 :1-41 ini hendak memberikan cermin hidup, agar siapa saja yang membacanya, seolah sedang berhadapan dengan cermin. Bahwa di depan cermin itu kita bisa melihat diri kita yang sering menghindar dari panggilan saat melihat ketidak beresan situasi. Yesus menampar para murid, bahwa kebutaan yang sedang mereka saksikan adalah panggilan Tuhan untuk terlibat memberi pertolongan.

Kebutaan bisa dalam arti konotasi. Buta terhadap apa saja, terhadap ajaran gereja, situasi sosial, terhadap kemiskinan, penderitaan dan segala yang berniansa minor dalam dunia ini. Melalui narasi ini, kita yang membaca diajak untuk menghadirkan “Terang Yang Bisa Melihat”. Kebutaan kita terhadap  situasi lingkungan sering kita alami, karena kita sibuk dengan diri sendiri dan bahkan mempersalahkan situasinya.

Maka, belajar dari Yesus Sang Terang Dunia, mari kita ikut melibatkan diri dalam situasi dunia yang (mungkin) sedang dilanda kebutaan. Kita melibatkan diri untuk membuat yang buta itu mampu melihat realita dan kondisi konkrit dunia ini. Keteladanan Yesus inilah yang menjadi pokok permenungan minggu ini, menghadirkan terang untuk siapa saja.
Ke-buta-an itu juga selalu ada di dekat kita, maka mari kita meneladan Yesus, menolong “yang buta” demi bisa melihat indahnya Dunia.

Kamis, 23 Maret 2017

Ketika Gubug Kami Runtuh

Sore yang cerah itu tiba-tiba berubah menjadi gelap karena mendung. Dari arah barat, nampak jelas di atas sebuah bukit yang dikenal oleh warga kampung kami sebagai Gunung Mur, mendung hitam seolah berjalan mendekati dusun kami. Burung-burung yang tadinya berkicau riang mendadak senyap. Dan suasana alam semesta seolah menyeramkan. Semilir angin yang tadinya enak dirasa mendadak menjadi besar dan menggoyangkan dedaunan serta ranting dan bahkan pohon-pohon kecil. Sungguh sangat menyeramkan.

Dan akhirnya hujan disertai angin menghantam dusun kecil di sebuah lembah, di semenanjung pegunungan seribu itu. Hujan pada akhirnya tidaklah sederas yang terbayang dari hitamnya mendung, namun angin yang tadinya sepoi berubah menjadi besar dan menakutkan. Beberapa pohon tumbang dan dahan serta ranting patah. Badai memang seperti gerak alam semsta yang lainnya, selalu jujur dan tidak bisa dimanipulasi.

Akibat badai itu, gubug milik kami yang dibuat almarhum bapak ikutan menjadi korban "keisengan" alam yang bermain-main dengan hujan serta badai. Gubug mungil nan sederhana itu, di dekat pohon mangga tua, di ujung sebuah pematang dan  dekat dengan lereng sebuah bukit kecil itu ambruk. Tiang-tiang penyangga gubug itu terlalu rapuh menyangga beban atap dan juga terlalu tua untuk kuat menahan badai.

"Dasar badai tidak tahu diri. Gara-gara dia hadir, gubug bersejarah itu hancur", Demikian gumanku sewaktu mengetahui gubug itu ambruk. Kemudian kudekati gubug yang sudah hancur itu. Ada segurat sedih kurasakan karena di balik Gubug itu ada banyak kisah dengan almarhum kedua orangtuaku. Namun semua sudah runtuh dan jika aku mendirikannya kembalipun, tidak mungkin mengukir kenangan lama tentang almarhum bapak dan simbok.

"Bukan salah badai jika gubug itu ambruk!", Tiba-tiba sebuah suara mampir di telingaku. Aku tidak paham suara siapa karena saat aku tengok kanan dan kiri, tidak ada siapapun. Dan akupun tidak berkeinginan mencari asal suara itu.
"Jangan menyalahkan angin namun karena tiang-tiang penyangga gubug itu yang tidak kokoh yang menyebabkan keruntuhannya", Kembali suara itu mampir di indra pendengaran ini. Aku sama sekali tidak berkeinginan mencarinya karena aku sadar suara itu suara batinku yang selalu menyalahkan "pihak lain" dibandingkan mengkoreksi diriku sendiri.

Sering manusia enggan mengakui sebuah kesalahan jika terjadi persoalan, sering manusia mempersalahkan pihak lain. Seperti gubug runtuh menyalahkan angin, itulah watak dasar manusia. Mempersalahkan pihak yang lain. Perkuatlah dirimu sehingga mampu mengha
dapi semua bencana.

Salam Semesta

 

Rabu, 22 Maret 2017

Karunia Di Balik Bencana



Siapapun pasti akan kesal manakala menghadapi situasi mepet dan kemudian bertambah masalah. Demikian yang terjadi pada diri saya saat merasa waktu mepet namun kemudian ban motor kempes. Kesal dan marah entah untuk siapa berkecamuk di dada. Namun kesal dan marah tidaklah mungkin membuat ban kempes menjadi tidak kempes lagi.
Itulah pengalaman yang pernah saya alami pada suatu waktu. Panas terik dan kejaran waktu membuat amarah membuncah saat menemui ban motor yang saya pakai kempes. Namun sesal dan marah tidaklah bisa menjawab pesoalan,maka saya segera menuntun. Mau arah balik, meskipun turun jauh dan belum menjamin di bawah ada tukang tambal ban, sementara naik ada tukang tambal ban, meski belum ada kepastian buka atau tidak. Keputusan cepat harus segera diambil dan saya memutuskan naik. Perjuangan berat menuntun sepeda kempes saat jalanan menanjak.

Peluh mengalir deras dan nafas tersengal. Namun motor harus segera sampai di tukang tambal ban karena bayangan waktu anak usai sekolah, lalu sendiri tidak ada teman seolah menjadi tambahan energi untuk segera sampai di tukang tambal ban. Dalam sepanjang perjalanan, ada beberapa hal yang menginspirasi untuk kehidupan saya. Diantara banyak hal itu satu yang sangat menarik perhatian saya adalah melintasnya segerombolan burung puyuh beserta anak-anaknya. (hehe..saya sebenanrnya tidak nanya, itu anak-anaknya atau keponakannya..)
Burung yang sulit terbang itu mesti melintasi jalanan demi mendapatkan makanan. Ada banyak ancaman bahaya di dalamnya, baik predator maupun kendaraan lewat dan melindasnya. Saat saya menuntun motor dan berjarak sekitar 10-15 meter, dengan jelas saya melihat induk dan anak-anak puyuh itu berhati-hati melintas.  Yang unik, induk puyuh itu selalu menjaga keamanan anak-anaknya. Saat hendak menyeberang, ia mendahului dengan melihat situasi, lalu saat dirasa aman, ia ijinkan anak-anaknya melintas. Dan sebelum masuk ke semak belukar kembali, si induk itu kembali menjaga anak-anak puyuh itu. Ia membiarkan anak-anaknya masuk ke belukar dan setalah semuanya masuk, barulah si induk ikut masuk ke semak belukar.

Nurani induk memang selalu berjuang menjaga keberlangsungan anak-anaknya.  Dan dengan cara sederhana namun unik, anak-anak puyuh itu aman dan mempercayakan semuanya kepada induknya. Mungkin sebenarnya mereka bercakap namun karena saya tidak paham bahasa mereka sehingga saya tidak paham, jika ada percakapan diantara mereka.

Meski dikejar waktu, namun sekilas pengalaman perjumpaan dengan induk puyuh dan anak-anaknya itu membuat saya tertegun, betapa Sang Pencipta menciptakan semuanya dengan keunikannya dan kemahaannya.  Burung puyuh dan anak-anaknya yang melintas itu  menjadikan kekesalan saya sirna, berganti kekaguman luar biasa untuk Sang Pencipta. 

Dan saya baru sadar bahwa ban kempes itu sejatinya sedang direncanakan olehNya agar saya bisa menikmati keajaiban dan keindahan semesta yang merupakan ciptaanYa.
Andai ban motor saya tidak kempes, tidak mungkin saya sempat menyaksikan keindahan ciptaan dan keunikan seluruh ciptaanNya. Sungguh rencana Sang Maha Kuasa selalu indah jika kita, manusia ini, bisa membaca dan memahami semua peristiwa.

Terkadang hal yang kita anggap negative itu justru kunci untuk kita menikmati anugerah istimewa dari Sang Pencipta. Oiya, saya juga tidak telat lho, menjemput anak pulang sekolah. Semua sudah diatur serta ditataNya.

Sabtu, 18 Maret 2017

Lelaki Tua yang Merindukan Bintang

Lelaki Tua yang Merindukan Bintang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

“Ya, tapi entah kenapa untuk itu, Tuhan harus meminta tumbal!”
“Tumbal?”

Malam mengalun.
Lampu pijar menerang susah payah sebuah teras rumah sederhana. Pada sebuah amben reyot seorang lelaki tua dan perempuan tua duduk.

“Ceritakan padaku, apa yang kau lihat?” kata lelaki tua. Perempuan tua tua yang duduk di sampingnya memilin ujung baju abadinya, kebaya usang berwarna pudar.
“Tak ada,” kata perempuan tua. “Gelap saja.”
“Tak ada? Bulan tak ada? Bintang?” lelaki tua merasa tak yakin dengan jawaban yang ia dengar.
“Mestinya ada. Tapi mendung sekarang ini, langit gelap sekali.”
Lelaki tua terbatuk-batuk beberapa lama. Perempuan tua mengangsurkan padanya gelas berisi air teh pahit.

“Aku masih ingat,” lelaki tua kembali berkata-kata di antara sisa-sisa batuknya baru saja. “Dulu aku selalu melihat bintang sampai jauh malam. Bintang adalah makan malam. Tidak benar-benar mengusir rasa lapar, tapi bisa membuat aku melupakan rasa lapar.”
“Kau tadi mengunyah krowodan-mu. Kau tak sedang lapar lagi bukan?”
“Tidak, aku hanya bercerita saja. Dulu perutku lapar sepanjang malam, tapi jiwaku tidak. Sekarang ini mungkin lebih baik, tapi aku rindu kerlap-kerlip bintang dan terang bulan.” Lelaki tua mengelu-elus lututnya.
“Keadaan telah membuatku menjadi sedem
... baca selengkapnya di Lelaki Tua yang Merindukan Bintang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Jumat, 17 Maret 2017

Mendobrak Penjara Kehidupan..



Pagi tadi, tanggal 17 maret 2017 saya membaca sebuah WA dari grup SMA. Yang menjadikan saya kaget setengah hidup, eits..setengan mati adalah tentang tulisan seperti ini, “Kita sebagai kaum muslim, janga pernah mengatakan bahwa semua akan indah pada waktunya”, karena itu tulisan yang berasal dari bible. Tidak layak untuk kita sebagai kaum muslimin mengatakan kalimat seperti itu, kalimat yang tidak berasal dari kitab suci kita….” 

Jujur, saya sangat kaget dan sempat hampir keluar dari grup. Namun setelah saya timbang-timbang, saya senyum-senyum sendiri, dan dalam hati berujar, “Ya ampun, sampai sebegitunyakah relasi hidup kita sebagai manusia, yang telah begitu dibonsai pemikiran dan perilaku hanya dengan sesuatu yang berbeda?”

Saya berharap sahabat SMA saya itu membaca tulisan saya ini dan kemudian berefleksi bahwa di dalam hidup ini manusia tidak mungkin bisa menghindari dengan apa yang dinamakan perjumpaan. Masalah yang dijumpai itu baik atau tidak juga bergantung dari sikap kita sebagai yang berwenang atas hidup kita sendiri. Lha kalau hanya berjumpa dengan kalimat yang ada di kitab orang lain dan itu kemudian menjadikan paranoid, betapa mengerikannya hidup ini. Mengapa kita tidak berani melintasi batas-batas yang sebenarnya kita buat sendiri? Apakah berdosa saat kita melintasi batas itu?

Hidup adalah perjalanan dan di dalam perjalanan itu pastilah ada perjumpaan. Setiap perjumpaan, pastilah mengakibatkan perubahan, entah dalam bentuknya yang seperti apa. Selain perjalanan, hidup manusia juga dipenuhi oleh beraneka macam konsep tentang apapun juga. Konsep tentang  bahagia, tentang keindahan, tentang keseuksesa, tentang batasan-batasan. Yang terakir ini sangat menarik jika kita menggumulinya, karena memang manusia sering membangun sebuah batasan-batasan atau garis-garis demarkasi di dalam hidupnya. Ada batas demarkasi budaya, demarkasi iman, demarkasi status sosial. Akibat dari semuanya itu adalah jarak atau sekat-sekat khidupan. Dan uniknya, manusia jarang yang mau mencoba mendobrak batas atau garis demarkasi itu, justru senang dengan keberadaannya. Karena dengan adanya batas itu, manusia merasa aman dengan status dirinya.
Namun apa yang menurut manusia nyaman, ternyata tidak dirasakan nyaman  oleh Yesus Sang Guru kehidupan. Yesus buka tipe orang yang suka dengan batasan-batasan, Yesus ingin mendobrak itu, ingin menghacurkan dan meniadakan batasan-batasa itu, apalagi jika batasan-batasan itu justru malah mengurangi makna serta relasi antar umat manusia. Oleh karenanya, Yesus menabrak,membongkar dan meruntuhkan batasan-batasan itu.

Narasi Injil Yohanes 4 ayat 5-42 mengajak kita semua berefleksi betapa batasan-batasan atau garis demarkasi bbudaya  itu ada dan bahkan hidup serat dihidupi oleh manusia itu sendiri. Orang Israel menganggap orang Samaria sebagai warga berdosa, warga kelas dua sehingga tidak boleh berinteraksi dengan mereka. Pemahaman itu sudah ada semenjak jaman perpecahan Israel menjadi dua, Yehuda dan Samaria. Perpecahan yang selalu menyulut konflik, perpecahan yang menjadikan jarak antar sesama ciptaan itu  nampak sebagai sebuah kebanggaan. Namun Yesus tidak ikut-ikutan memeliharanya, Ia mendobraknya. Perjumpaan dan percakapannya dengan perempuan Samaria di dekat sebuah sumur itu menjadi cermin penting untuk kehidupan dari sepanjang jaman.

Keberanian Yesus melintasi batas-batas primordial,batas kesukuan, batas sosial, batas iman atau agama adalah sebuah teladan untuk kita semua. Teladan bahwa batas atau jarak itu bukan menuntun orang pada kebaikan, namun justru menuntun orang pada kecurigaan dan syakwasangka yang selalu negatif. Dan mengetahui hal seperti ini Yesus mendobraknya, membongkarnya serta menbangun sebuah model relasi atau hubungan yang tanpa batas. Persoalannya adalah, beranikah kita meniru jalan sunyi Yesus yang berani melintasi batas, berani mendobrak sebuah sistem sosial relegius yang sudah sangat begitu kuat?

Kembali ke soal WA teman saya di grup tadi, jika kita tidak membongkar sebuah batasan-batasan atau garis demarkasi yang ada disekeliling kita, betapa terbatasnya kehidupan ini? Lalu apa salahnya “nasehat bijak dari “ si penyair hebat pada masa lalu yang dalam bahasa Jawa disebut  Kohelet itu? Betapa dia bisa menyimpulkan bahwa semua sudah tertata dan karenanya akan indah pada saatnya?

Apakah kita akan bisa menikmati sebuah keindahan dari sebuah lukisan yang belum jadi?Bukankah lukisan akan terlihat indah saat sudah usai pembuatannya?Dan oleh karenanya memerlukan waktu?Apakah kita akan tersenyum menyantap buah masam karena belum saatnya dipetik?Bukankah untuk menikmati buah sampai masak itu butuh waktu?

Jujur kawan, aku takpaham maksut hidup yang kau jalani, betapa kau memilih memenjara hidupmu dengan warisan-warisan yang tiada pernah kaudalami lebih jauh. Sekali lagi harapku, kau akan tersinggung jika membaca tulisanku ini dan mengontakku. Jujur, aku tidak bisa memahami pemahamanmu.. Dan harapku, jika kau baca ini dan tidak tersinggung, semoga kau mampu dan berani mendobrak penjara kehidupanmu..
Selamat Mendobrak apapun juga yang membatasi relasi kehidupan.