Rabu, 29 April 2015

Sebuah Catatan Janji untuk anak-anakku..

CATATAN KECIL UNTUK ANAK-ANAKKU

Malam ini aku pulang, dari sebuah tugas yang telah kupilih menjadi hidupku. Tugas yang penuh dengan narasi, baik senyum dan kerutan dahi. Cerita yang membuatku segar dan tegar  serta juga membuatku merinding, dan bahkan bukan sekedar cerita, namun sebuah pengalaman. Malam ini, gerimis kembali mengakrabi bumi, membuai semesta,terkhusus di mana kami diijinkanNya tinggal dan merasakan semua pengalaman hidup.


Gerimis dan gelap yang disertai kabut itu aku terobos,berharap segera kujumpai keluargaku, anak-anak dan ibunya. Dan saat kusampai di tempat aku menumpang tinggal dan hidup, kudapati mereka telah terlelap dalam balutan dan bingkai mimpi mereka sendiri-sendiri. Entah apa yang mereka impikan,mungkin tentang telaga indah, sawah dan capung serta kupu-kupu,mungkin tentang mainan baru atau apa saja,,aku tidak tahu. Yang pasti mereka terlelap dalam wajah damai dan penuh senyuman. Kelepaskan “Uborampe” yang menyertaiku,kemudian ke kamar mandi,membersihkan diri sebelum menyentuh mereka satu persatu.

Kulihat, yang paling bersar, terlelap dekat dengan si bungsu yang baru beberapa hari menghirup udara dunia ini. Dekat sekali kedua tubuh itu. Kulihat mereka juga terlelap dalam damai. Kemudian  aku menuju ruang yang lain,kelewati ibunya yang masih menghaluskan pakaian semua anggota keluarga. Ingin kulihat putri tengahku, yang diwarisi panggilan “Kunil” oleh almarhum simbahnya, yang beberapa waktu yang lalu, meninggalkannya pulang ke rumah keabadiannya. Juga kulihat ia terlelap, dengan gaya tidurnya yang khas, menghadap ke tembok. Kupandang dengan seksama wajah putrid tengahku yang mungil ini. Dipanggil kunil karena badanya yang kecil,dikarenakan tidak mau makan nasi dan hanya makan makanan kecil atau nyamikan  saja.

Setelah bersapa dengan ibu dari mereka, kemudian kuangkat jagoan sulungku. Berat memang, sekitar 31 kg berat badan sulungku ini. Kuangkat dan kupindahkan dari dekat putrid bungsuku supaya dalam ketidaksadaran tidurnya, tidak mengakibatkan adik bungsunya menangis dengan “Polahnya”. Kubawa ke kamar, dimana si Kunil tidur dengan lelapnya. Pramudya, dahulu kehadiranmu sungguh merupakan sebuah waktu yang selalu kuhitung dengan detail. Kehadiranmu juga selalu ditunggu oleh banyak pihak dengan gegap gempita. Doa dan harapan serta penyambutan seolah siap menangkap kehadiranmu.

Kini kau telah beranjak dewasa nak, jalanilah hidupmu dengan senyum. Jangan iri,jangan bandel,jangan pernah melihat dan membandingkan dirimu dengan yang lain. Ingatlah selalu nak, hidup ini masing-masing telah memilih lagu untuk di nyanyikannya sepanjang hayat dikandung raga ini. Kami, orangtuamu, akan semampu kami mendampingi kalaian nak…semampu kami. Tugas kami hanya mendampingi dan mengarahkanmu,mengarahkan kalian. Hidup kalian adalah hak kalian,kami tak punya hak untuk mengatur dan memilikinya nak…

Sesampai di kamar, di mana si kunil terlelap, kubaringkan sulungku itu. Kusandingkan dengan adiknya. Kulihat sejenak wajah gadis mungilku ini. Polos dan utih bersih. Wajah yang darinya kuberbahagia, meski hidup laksana diterjang ombak dan badai yang tiada henti menyapa kami. Kunil, kau hadir dalam balutan harap dan sukacita kami,meski yang menyambutmu tidak semeriah kakakmu, Si Kriwil itu.

Namun kami sangat bersyukur saat kutau dirimu, dan saat kau menangis usai menghirup udara dunia ini untuk yang pertama kalinya, semua yang mendengar hadirmu sepakat, bahwa kami sudah lengkap. Kau dan kangmasmu, si kriwil itu. Dalam perjalanan kehidupanmu, kami mendapati, betapa sulitnya dirimu menyantap nasi, berbagai upaya talah kami tempuh, namun takjuan sampai saat ini kau mau menyantap makanan pokok nenek moyang kita ini. Dan jujur, kami gelisah dengan keadaan ini nak..doa dan usaha kami selalu agar engkau mau seperti kami dan seluruh leluhur kita, mau memakan nasi.

Kemudian aku menuju dapur, mengambil minuman dari panci,minum untuk kesegaran. Air bening pemberian Sang Pemilik Kehidupan ini. Segar sekali minuman ini,menyegarkan dan juga memulihkan raga yang sudah letih mengarungi hidup dan kehidupan ini. Di kamar tengah, kupandangi wajah bayi mungil berusia lima hari itu. Beberapa kerabat mengatakan wajah itu mirip aku, dan akupun setuju.

Memang benar, si bungsu ini sangat mirip dengan diriku. Kulihat, kutatap dengan seksama. Polos dan bersih wajah itu. Tiba-tiba, menitip sebutir air bening dari ujung kelopak mata ini. Kuingat betapa takkusambut dia seperti kedua kakaknya. Takada seremoni, takada tangis saat tangisannya memecah ketegangan menanti hadirnya, tidak seperti waktu si sulung hadir. Semua terlihat lega,ucapan mengalir bak air bah menghujam jagat raya. Sementara, untukmu nak, Visitaria dan kami sepakat memanggilnya VISTA, takada sambutan itu. Teringat aku akan candaan sahabat bahwa memiliki anak lebih dari dua itu adalah wujud keberimanan. Dan mungkin memang ia, ini adalah wujud keberimanan,paling tidak untuk keluarga kami.

Vista, maafkan kami jika kami tak menyambutmu seperti mas dan mbakmu. Maafkan kami jika kehadiranmu takseheboh mas dan mbakmu. Namun yakinlah, kami sayang dan teramat saying dirimu, seluruh perhatian dan hidup kami hanya untukm kalian,semuanya sama meski sulit untuk menemukan alat pengukurnya. Yakinlah, mantaplah meniti seluruh jalan hidupmu nanti dengan sukacita dan bertanggungjawab.

Tidak usah kuatir tentang apa yang menjadi kebutuhanmu, kami akan berjuang semampu kami nak..maka ayo,bantu kami,jadilah anak yang manis nak…yakinlah kami kuat dan mampu mendampingimu. Jangan kuatirkan kami nak, kami sudah siap dengan segala yang akan terjadi. Tidak usah bercermin mas dan mbak…jadikanlah keberbedaan ini sebagai cambuk hidupmu nanti,menyongsong masa depanmu juga.

Hidup kami adalah doa anak-anakku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH