Sabtu, 23 September 2017

Memahami Kasih Dan Kuasa Allah




Seorang petani, di saat melepas lelah berteduh di bawah pohon beringin di pinggir ladangnya yang ada di tepi hutan. Ladang yang subur dengan dinding lereng perbukitan. Dan pohon beringin itupun ada di ujung sawahnya juga berfungsi sebagai penjaga sumber mata air yang mengairi sebagian ladangnya. 

Musim tanam ini si petani menanam semangka dan semangkanya sudah mulai berbuah serta hampir siap dipanen. Sambil mengamati buah semangkanya, petani itu merasa heran, mengapa Tuhan begitu tidak adilnya. Semangka dengan pohon lemah dan menjalar diberinya buah yang teramat besar sementara beringin itu, yang pohonnya begitu kokoh dan kuat, hanya diberi buah yang begitu kecil. Sama sekali tidak seimbang, tidak adil. Begitu pikir si petani. 


Angin sepoi ujung kemarau menampar wajahnya yang letih namun nampak bahagia, hingga kantuk menyergap si petani. Kantuk yang terasa indah yang mengantarkannya pada tidur yang sekilas, hingga tiba-tiba..sebuah buah beringin jatuh menghantam wajahnya, kaget si petani namun juga menyadarkan betapa bahaya jika keadilan menurutnya terjadi. Buah sebesar pohonnya, pastilah wajahnya akan lebam atau bahkan hancur  terhantam buah yang besar. Petani itu sadar bahwa keadilan Tuhan selalu berbeda dengan keadilan menurut dirinya.

Saudara, bacaan Alkitab minggu ini, 24 September, berbicara tentang keadilan serta kemahakuasaan Tuhan Allah. Keadilan Tuhan yang selalu berseberangan dengan keadilan manusia. Manusia hanya mampu berpikir keadilan sesuai kapasitas berpikirnya yang sangat terbatas, sementara Tuhan memiliki kebijaksanaan kekal untuk melakukan keadilan sesuai dengan kuasa dan kasihNya. 


Matius 20 ayat 1-15 yang merupakan lanjutan ajaran Yesus tentang Kerajaan Surga, berbicara tentang keadilan Allah yang diluar jangkauan manusia. ketika pemilik kebun anggur meminta orang bekerja, sudah terjadi kesepakatan akan upahnya, yaitu satu dinar. Lalu dalam rangkain waktu, di hari itu juga dalam waktu yang berbeda, pemilik kebun anggur itu juga menjumpai banyak orang dan semuanya dimintanya bekerja. Bahkan saat senjapun masih dimintanya orang yang ditemuinya untuk bekerja dengan upah yang sama. Saat hari menjelang malam, para mandor memanggil para pekerja, dari yang mulai bekerja paling akhir,hingga paling awal dan semua diberi upah sama, satu dinar. Hal ini menjadikan yang berangkat paling awal memprotes tuan itu namun diberi jawaban bahwa semua harus menurut kehendak si pemilik kebun anggur.

Kadangkala dalam kehidupan ini, kitapun berpikir seperti dua contoh di atas, berpikir keadilan menurut ukuran manusiawi kita, bahkan dalam memikirkan Tuhanpun sering dipaksa untuk “taat” sesuai daya nalar kita dan ketika itu tidak terjadi, maka kita memprotes keadaan dan bahkan memprotes Tuhan. Sadar atau tidak, kerap kali kita sebagai menusia mencoba memaksa Tuhan agar keadilannya seturut dengan kehendak kita. Kita kerap kali memaksa Tuhan masuk dalam bingkai pemikiran kita. Kita merasa kuat dan besar, maka kita seolah punya hak memaksa Tuhan agar manut kehendak kita dan kemudian melakukan berbagai upaya untuk mewujutkan keinginan itu tanpa peduli menerobos wilayah Illahi. Dan ketika kita (manusia terhempas) karena mencoba memaksa Tuhan, justru kemudian menyalahkan yang lain.


Dari ajaran Tuhan Yesus di Matius 20 ayat 1-15 ini, kita diajak untuk memahami bahwa perihal Kerajaan Surga adalah mutlak berdasarkan otoritas Tuhan dan tugas kita sebagai manusia hanyalah bekerja sesuai kesepakatan kita dengan pemberi kerja, yaitu Tuhan. Dengan begitu, sebenarnya kita sudah berupaya memahami kasih dan kuasa Allah dan tidak berupaya menguasahi Kasih, Keadilan serta Kuasa Allah. Upah kerja kita total dalam kuasa Tuhan dan kita hanya diminta bekerja dan bekerja, entah kapan mulainya bekerja itu tidak penting, yang penting bekerja. Upahnyapun sudah disepakati yaitu sedinar, seharga kebutuhan hidup sehari (waktu itu). 

Adalah baik jika kita memulai menyerahkan semua aspek kehidupan kita kepadaNya, dan kita sebagai manusia hanya bertugas bekerja dan bekerja. Mari melakukan pekerjaan yang kita yakini sebagai panggilan Tuhan dengan serius dan tulus.

Selamat Memahami Kasih dan Keadilan Allah

Jumat, 08 September 2017

SEBUAH SENI MENGINGATKAN




Tidak sempurna dalam menggunakan pakaian merupakan pengalaman yang hampir semua manusia pernah mengalaminya. Entah itu kancing baju yang tidak sesuai, kancing baju yang kebuka satu,entah itu krah yang kurang pas,atau juga retsleting yang belum tertutup. Memang tidak semua posisi pakaian sensitive,namun ada juga yang sensitive. Semisal,seorang laki-laki yang dalam sebuah acara formal tidak menutup retsleting celananya dengan rapat atau perempuan yang kancing bajunya terbuka satu dan itu di dada,pasti yang melihat akan merasa risih. Nah,untuk mengingatkan sering terbentur banyak persoalan. Jika belum kenal bisa menjadi repot,namun jika sudah kenal bisa jadi riskan juga. Kalau mau disampaikan vulgar,tidak enak rasa,namun jika tidak disampaikan juga semakin tidak enak. Maka,satu-satunya jalan adalah mengajaknya menyingkir lalu diberi tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Itulah “Alat” mengingatkan sahabat demi sebuah kebaikan.

Seni mengingatkan, itulah sesuatu yang menarik untuk kita kaji dan renungkan. Mengingatkan itu hal yang baik,namun jika disampaikan tidak dengan cara yang baik,bisa jadi hasilnya juga tidak akan baik. Seni mengingatkan itu amat penting. Dengan seni mengingatkan yang baik dan indah,maka yang diingatkan tidak merasa dipermalukan sedangkan yang mengingatkan juga tidak sedang membuka aib sahabat ataupun orang lain.
Dalam bacaan Injil minggu 10 September ini, bersamaan dengan minggu kedua bulan katekese Liturgi , kita diajak mengerti seni mengingatkan yang begitu sederhanana, namun sempurna. Hal itu yang dulu diajarkan Yesus. Sebuah seni mengingatkan yang teramat cerdas. Mengajak bicara empat mata,langkah pertama, sebuah model pendekatan personal dan kekeluargaan. Jika ini gagal,mengajak saksi satu orang. Inipun sebuah langkah bijak demi kebaikan bersama. Jika dengan aksi masih juga tidak berhasil,maka diserahkan ke komunitas demi kebaikan bersama,dan jika ini juga gagal,berarti orang tersebut memang tidak mau untuk dikasihi,tidak mau diberi informasi baik demi dirinya. Jadi,ya biarkan saja dia.

Dalam kehidupan kita yang bersama dengan yang lain ini, sudah menjadi kemestian untuk saling menyapa dan mengingatkan,demi kebaikan bersama. Kesalahan dan kekurangan merupakan kewajaran tiap-tiap manusia. Dan wajar pulalah untuk saling mengingatkan, justru akan menjadi tidak wajar jika tidak diingatkan.Belajar dari Seni dan Strategi Yesus mengingatkan orang yang bersalah,hendaknya kita semua bisa memetik pengalaman indah dan kemudian mempraktekannya. Selamat Berjuang Mengingatkan dengan seni indah..
oiya..awas..retsleting anda..jangan keasikan membaca..

selam damai

Sabtu, 02 September 2017

TIDAK SEMUA YANG NAMPAK BAIK ITU BENAR



“Enyahlah Iblis. Engkau batu sandungan bagiKu, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”

Perkataan Yesus itu ditujukan untuk salah seorang muridNya, yaitu Petrus. Hardikan marah itu bukan dikarenakan Petrus melakukan sesuatu sesuatu yang bernada criminal atau yang merugikan pihak lain. Bukan.

Apa yang dilakukan, tepatnya dikatakan, Petrus sebenarnya justru sesuatu yang (terlihat ) baik. Apa yang dikatakan Petrus?

Waktu itu, 13 orang laki-laki sedang dalam sebuah perjalanan. Mereka selalu bersama dalam segala keadaan. Sungguh kesatuan yang kuat. Rombongan itu baru sajamengerjakan pekerjaan ajaib dan karenanya banyak orang menjadi takjub dan heran, meskipun banyak orang juga yang merasa terusik.


Yesus, Sang Guru Agung yang bbersama rombongan itu menyadari bahwa apa yang dikerjakannya selama ini di satu sisi membuat banyak orang bersukacita namun juga banyak yang menderita,karena kenyamanannya terganggu. Mereka yang terganggu kenyamanannya itu pastilah akan berupaya menyingkirkan Yesus. Kesadaran bahaya serta spiritual hidup bahwa derita adalah “Lagu Kehidupan” yang harus Yesus dendangkan itulah yang membuatNya, di sebuah kesempatan dalam perjalanan mengungkapkan  masa hidupNya.

“Aku akan segera dikejar-kejar oleh para imam kepala dan para Ahli Taurat. Mereka merasa terusik oleh semua pekerjaanKu yang menjadikan banyak orang mengikutiKu. Penderitaan akan segera kudendangkan dan bahkan kematian akan segera menghampiriku. Namun janganlah kalian gelisah, karena pada hari ketiga, seperti yang ternubuatkan di kitab-kitab para nabi, aku akan bangkit”, Demikian Yesus menguraikan hari esoknya, dengan suara datar namun berwibawa.

Petrus yang sangat ekspresif dan agresif, ketika mendengar bahwa derita dan sengsara akan segera menjemput Yesus, bahkan kematianpun segera akan memeluk Yesus, tidak terima. Bagi Petrus, Gurunya yang adalah Messias, yang ajaib dan yang mulai memiliki banyak pengikut, tidak boleh mengalami seperti apa yang baru saja dikatakan Yesus.
Sebenarnya tidak jelas motif Petrus terkait ketidakterimaannya akan derita Yesus itu. Apakah itu wujud cinta dan sayangnya kepada Guru Agungnya itu, atau karena harapan politisnya (seperti kebanyakan orang Israel saat itu) akan kembali kandas karena keengganan Yesus melawan secara politis dan fisik? Yang pasti Petrus tidak terima Yesus mesti menderita dan akhirnya mati.

Petrus ingin Yesus selalu kuat dan semakin hari semakin menunjukkan kuasa dan mujijatNya. Mungkin dalam benak Petrus, dengan banyaknya atraksi ajaib itu akan membuat semakin banyak pengikut dan juga semakin membuat para ahli Taurat dan imam-imam kepala ngeri dan ketakutan, sehingga kemudian mudah menggulingkan pemerintah yang merupakan boneka penjajah.

Intinya Petrus tidak terima Yesus menderita. Petrus ingin membela Yesus.
Apa yang salah dari sikap dan upaya Petrus terhadap Yesus? Apakah salah membela seseorang yang dikasihi untuk lepas dari ancaman bahaya? Apakah salah menghindarkan seseorang dari bahaya?Jawabnya tidak. Lalu mengapa Yesus marah luar biasa kepada Petrus?

Karena apa yang Petrus pikirkan, meskipun nampak baik dan terlihat sebagai ungkapan cinta kasih, itu bertentangan dengan rencana Allah. Yesus memang hadir untuk menderita, sehingga ketika Dia mengungkapkan derita itu, Yesus berharap para murid bersiap dan menghayati semua yang akan dialami Yesus sebagai wujud ketaatan, sebagai wujud bekti, eh..bakti kepada kehendak Illahi. Itulah “dosa” Petrus.

Benar bahwa menjaga orang yang dikasihi dari bahaya itu penting, namun kesadaran akan ketaatan terhadap  rencana Illahi tetaplah lebih penting. Pada titik inilah Petrus gagal total mengerti kehendak Guru Agungnya, yang baru saja berkisah tentang panggilan hidupNya.
Jadi kemarahan Yesus terhadap Petrus karena kegagalan Petrus mengerti kehendak Illahi. 

Bagi Petrus, kehendak Illahi harus selalu terlihat baik dan aman, namun bagi Yesus bukan. Sakit dan juga kesulitan hidup, bisa jadi justru merupakan kehendak Illahi.

Kemarahan Yesus terhadap petrus yang tidak rela Yesus harus menderita, semestinya menjadi cermin untuk berefleksi siapa saja, bahwa sesuatu yang kita pandang baik dan terlihat peduli, belum tentu sesuai dengan kehendak Illahi. Artinya, jangan memaksakan ide-ide baik untuk terlaksana, renungkanlah apa itu sesuai kehendak Illahi atau tidak. 

Seringkali banyak orang berpikir bahwa yang dirasakan baik dirasakan sebagai wujud kepedulian itu harus dilakukan, meski belum tentu sesuai dengan kehendak Illahi.
Bisa jadi memang Yesus melihat ada motif lain dari tindakan Petrus, sehingga meledaklah amarah Yesus. Oleh karena itu, apapun yang kita pikirkan,kita anggap baik, belum tentu itu sejalan dengan kehendak Tuhan. Maka jangan memaksakan semua yang kita anggap baik itu mesti terlaksana dan jika tidak dilaksanakan atau diijinkan lalu ngamuk, ngancam sana-ngancam sini, yang malah menunjukkan kekanak-kanakan sikap, meskipun ingin nampak  dewasa.

Salam