Pelajaran
Spiritualitas Hujan
Hujan, hamper semua orang yang tinggal di negeri
ini pernah mengalaminya. Dari yang kecil, yang dinamakan gerimis, sampai yang
besar, dinamakan lebat. Hujan, selalu menimbulkan dua sisi untuk kehadirannya.
Manakala kemarau panjang membuai bumi, kemudia panas terik menjadikan maklk
seolah dipanggang api, hujan menjadi kerinduan yang terperi. Namun demikian,
ketika hujan bergitu kerasan singgah di bumi, kemudian enggan beranjak yang
menjadikannya banjir bandang, semua berharap hujan segera beranjak pergi.
Hujan. Ya, satu hal ini selalu menjadi pergumulan
keberadaannya. Dirindukan dan juga dibenci. Ditunggu sekaligus diusir
kehadirannya. Namun pernahkah kita mencoba berdamai dengan hujan dan kemudian menggali pesan kehidupannya?Dalam
Salah satu tulisannya, Khahlil Gibran mengatakan bahwa hujan itu fenomena alam
yang jujur (Perjamuan jiwa-jiwa, Prahara). Selain makna hidup yang indah
tentang kejujuran hujan, pernahkah kita belajar bahwa hujan mengajari kita
merunduk?Cobalah berjalan ketika hujan menyapa bumi,lalu coba pula untuk
tengadah. Adakah kita sanggup melawan derai hujan yang menampar muka kita?
Hujan itu anugerah. Hujan itu bahasa alam yang
jujur dan polos. Dia tidak akan pilih kasih menyapa bumi sebagai sahabatnya. Ia
akan mendatangi bumi sesuai panggilannya. Sebutuh apapun manusia dan makluk
lainnya akan hujan, namun jika belum saatnya, hujan tak akan pernah dating.
Demikian pula hujan akan mengajar manusia untuk hormat, merunduk. Karena air
yang ajtuh itu pasti akan menyerang muka manusia dan tiada kuat melawannya,
maka jalan terbaik adalah merunduk. Hujan mengajak kita untuk rendah hati,
menunduk dan bukan menengadah menantang. Hujan mengajari kita semua sebuah
kerendahhatian dan kejujuran. Semoga kita mampu senantiasa memetik pelajaran
berharga dari alam dan bahasanya.
tulisan ini pernah dimuat di www.satuharapan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar