Sore itu hujan seolah mengamuk,
menghajar bumi. Padahal siangnya panas membakar dengan sangat. Hujan disertai angina
menyebabkan pepohonan seperti hendak tumbang dan itu membuat anak-anak menjadi
takut. Saking takutnya, anak tidak mau jauh dari orangtua. Jangankan anak,
sedangkan orang dewasa saja sangat kuatir.
Sore semakin beranjak,menuju senja
dan akhirnya malam tiba. Hujan belum juga berhenti,malah seolah semakin deras. Dari
kaca jendela rumah terlihat aliran air dari genting begitu besar,seolah tidak
kuat menampungnya. Kilatan petir di atas bukit,jauh di timur laut desa kami
semakin menambah seramnya sore menjelang senja. Seorang bapak sedang mengendong
anaknya, sembari menggendong, bapak itu pamit bahwa satu jam lagi mesti
menjalankan tugas. Namun anak itu tidak mau ditinggal,ia mulai merengek dan menangis. Seribu
cara dipakai bapak dan ibu anak itu merayu,agar mau ditinggalkan bapaknya.
Meski sejuta cara dipakai,
nampaknya anak itu tidak mau melepas bapaknya. Sementara waktu semakin menuju
batas di mana bapak itu mesti mengerjakan sesuatu. Dengan sabar dan penuh kasih
sayang, bapak tu menggendong dan membelai anaknya, sembari merayu dan berharap
tidur dalam gendongannya. Namun ketika waktu hampir sampai pada batasnya, anak
itu tetap terjaga dan mendekap bapaknya dengan erat. Ada seberkas rona marah
dalam wajah bapak itu, tanda mulai hadirnya marah,namun dikendalikannya. Memarahi anak,bukan cara terbaik
untuk mendidiknya. Maka, diambilnya hape, ditekannya sebuah nama, dan
menelfonlah si bapak itu.
Hujan masih tercurah, meski tidak
sederas 30 menit yang lalu. Jarum jam menunjukan pukul 18.50 menit dan waktu bapak
itu menjalankan tugasnya jam 19.00, padahal jarak dari tempatnya tinggal
sekitar 9 km. tidak mungkin dia terbang, namun dengan sabar bapak itu
menggendong anaknya. Saat jam menunjukan jam 19.35, anak itu terjaga. Kemudian direbahkannya
di tempat tidur, berkemas dan setelah berpamitan dengan cium mesra ke istrinya,
bapak itu berangkat.
Hujan masih jatuh satu dua rintik
dari langit. Dingin menembus tulang. Dengan sepeda motor kesayangannya, bapak
itu berangkat. Dalam hati berdoa,agar masih bisa diberi toleransi. Getaran HP
di saku celana tidak dihiraukannya, bapak itu terus dan terus memacu motornya. Sesampai
di dekat sebuah lereng bukit, dia melihat ada beberapa orang, da nada ang dari
jauh memintanya berhenti.
Astaga, tanah dan jalan itu longsor.
Sungguh besar banjir hari ini,guman bapak itu. Dia kemudian menghentikan
motornya, memarkirnya dan kemudian bergabung dengan orang banyak itu.
“Kapan longsornya pak”, Ungkap
seorang diantara mereka.
“Kapam kejadiannya pak?”, Tanya
bapak yang baru datang itu.
“Sekitar 35 menit yang lalu”, Jawab
orang itu.
Bapak itu mendadak lemas, dia
teringat anaknya. Jika saja anaknya tidak menangis dan melarangnya
berangkat,pastilah waktu tanah itu longsor, dia tepat di tempat itu, dan
kemudian…..Bapak itu tidak bisa membayangkan yang terjadi. Perlahan ia
menyingkir, mengambil hape dan membukanya. Ada SMS, dan bapak itu membacanya.
Tidak
usah berangkat pak,hujan sangat deras, biar diganti yang lain saja. Tidak apa-apa.
Terima kasih
Kembali, ada keharuan dalam hati
bapak itu. Bahasa Tuhan sedang memakai tangisan anaknya untuk menghindarkannya
dari bencana. Terkadang, cara Tuhan menyapa selalu penuh dengan rahasia. Dan,
tugas manusia adalah cermat dan mengerti bahasaNya.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar