Senin, 07 November 2016

TANGISAN ANAK SEBAGAI BAHASA TUHAN



Sore itu hujan seolah mengamuk, menghajar bumi. Padahal siangnya panas membakar dengan sangat. Hujan disertai angina menyebabkan pepohonan seperti hendak tumbang dan itu membuat anak-anak menjadi takut. Saking takutnya, anak tidak mau jauh dari orangtua. Jangankan anak, sedangkan orang dewasa saja sangat kuatir.
Sore semakin beranjak,menuju senja dan akhirnya malam tiba. Hujan belum juga berhenti,malah seolah semakin deras. Dari kaca jendela rumah terlihat aliran air dari genting begitu besar,seolah tidak kuat menampungnya. Kilatan petir di atas bukit,jauh di timur laut desa kami semakin menambah seramnya sore menjelang senja. Seorang bapak sedang mengendong anaknya, sembari menggendong, bapak itu pamit bahwa satu jam lagi mesti menjalankan tugas. Namun anak itu tidak mau ditinggal,ia mulai merengek dan  menangis. Seribu cara dipakai bapak dan ibu anak itu merayu,agar mau ditinggalkan bapaknya.

Meski sejuta cara dipakai, nampaknya anak itu tidak mau melepas bapaknya. Sementara waktu semakin menuju batas di mana bapak itu mesti mengerjakan sesuatu. Dengan sabar dan penuh kasih sayang, bapak tu menggendong dan membelai anaknya, sembari merayu dan berharap tidur dalam gendongannya. Namun ketika waktu hampir sampai pada batasnya, anak itu tetap terjaga dan mendekap bapaknya dengan erat. Ada seberkas rona marah dalam wajah bapak itu,  tanda mulai hadirnya marah,namun dikendalikannya. Memarahi anak,bukan cara terbaik untuk mendidiknya. Maka, diambilnya hape, ditekannya sebuah nama, dan menelfonlah si bapak itu.

Hujan masih tercurah, meski tidak sederas 30 menit  yang lalu. Jarum jam menunjukan pukul 18.50 menit dan waktu bapak itu menjalankan tugasnya jam 19.00, padahal jarak dari tempatnya tinggal sekitar 9 km. tidak mungkin dia terbang, namun dengan sabar bapak itu menggendong anaknya. Saat jam menunjukan jam 19.35, anak itu terjaga. Kemudian direbahkannya di tempat tidur, berkemas dan setelah berpamitan dengan cium mesra ke istrinya, bapak itu berangkat.

Hujan masih jatuh satu dua rintik dari langit. Dingin menembus tulang. Dengan sepeda motor kesayangannya, bapak itu berangkat. Dalam hati berdoa,agar masih bisa diberi toleransi. Getaran HP di saku celana tidak dihiraukannya, bapak itu terus dan terus memacu motornya. Sesampai di dekat sebuah lereng bukit, dia melihat ada beberapa orang, da nada ang dari jauh memintanya berhenti.

Astaga, tanah dan jalan itu longsor. Sungguh besar banjir hari ini,guman bapak itu. Dia kemudian menghentikan motornya, memarkirnya dan kemudian bergabung dengan orang banyak itu.
“Kapan longsornya pak”, Ungkap seorang diantara mereka.
“Kapam kejadiannya pak?”, Tanya bapak yang baru datang itu.
“Sekitar 35 menit yang lalu”, Jawab orang itu.

Bapak itu mendadak lemas, dia teringat anaknya. Jika saja anaknya tidak menangis dan melarangnya berangkat,pastilah waktu tanah itu longsor, dia tepat di tempat itu, dan kemudian…..Bapak itu tidak bisa membayangkan yang terjadi. Perlahan ia menyingkir, mengambil hape dan membukanya. Ada SMS, dan bapak itu membacanya.
Tidak usah berangkat pak,hujan sangat deras, biar diganti yang lain saja. Tidak apa-apa. Terima kasih

Kembali, ada keharuan dalam hati bapak itu. Bahasa Tuhan sedang memakai tangisan anaknya untuk menghindarkannya dari bencana. Terkadang, cara Tuhan menyapa selalu penuh dengan rahasia. Dan, tugas manusia adalah cermat dan mengerti bahasaNya.

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH