Leguhan kerbau pagi ini mendadak mampir di gendang
telingaku. Segera kuberanjak,mengucap syukur dan kemudian membuka pintu. Keluar,
menikmati segarnya udara pagi. Kelihat jalan depan tempat tinggalku, tiga ekor
kerbau sedang konvoi menuju arah barat dusun kami, di belakangnya sang pemilik.
Dengan langkah santai namun pasti, rombongan pekerja keras itu menuju sawah
yang hendak dikerjakannya. Tertarik dengan yang terjadi, kuikuti mereka,pelan
agar tidak mengagetkan kerbau-kerbau itu.
“Pak, badhe nggarap sabin pundi?”, Sapaku kepada bapak
yang menggiring kerbau-kerbau itu.
“O..ngriku mas, kilen lepen. Pun wunga ta? Taksih atis
lho mas…”, Jawab Bapak setengah baya itu.
“Sampun pak, wau miring swanten mahesa lajen kula gragapan
tangi”, Jawab saya dan kamipun bercakap sembari berjalan menuju sawah yang akan
menjadi pekerjaan bapak dan kerbaunya hari itu.
Pagi ini aku melihat semangat kerja yang laur biasa dari
bapak dan krbau-kerbaunya. Aku juga melihat keintiman bapak itu dengan
kerbau-kerbaunya, seolah mengerti kehendak sang pemilik. Dan aku tahu dari
percakapan sepanjang jalan tadi, betapa bapak itu menempatkan kerbau-kerbau itu
bukan sebagai pekerja,hewan tanpa makna. Namun bapak itu menempatkannya sebagai
sahabat,sebagai rekan kerja yang dengannya pekerjaan apapun bisa diselelsaikan.
Karena menempatkannya sebagai sahabat, maka ia selalu memulai
menyapa,memahami,mengerti dan mencoba terus menyapa dalam segala kesempatan
berjumpa,selalu meluangkan waktu barang 20 menit untuk menyapa kerbau-kerbaunya
itu.
Dari bapak tani yang sederhana ini, aku belajar bahwa
relasi akan baik jika dimulai dengan selalu menghargai. Ingat, dimulai dari
selalu menghargai. Bapak tani itu tidak langsung bisa beharap dalam sekali
kontak akan mampu berkomunikasi dengan baik dan akrab dengan kerbau-kerbaunya,
namun melalui proses panjang dan melelahkan. Namun manakala proses itu bisa
terlewati, maka yang bisa disaksikan adalah bagaimana keindahan itu terpampang
dengan nyata.
Terkadang, membangun relasi dengan sesame manusia jauh
lebih sulit dan rumit daripada denganhewan,juga kerbau seperti kisahku pagi
ini. Manusia sudah bukan lagi makluk yang penuh ketulusan,manusia adalah makluk
yang selalu ingin meguasai. Oleh karena itu,relasi antar manusia sering saling
menyakiti karena ambisi. Dan saya yakin, manusia tidak akan mau dikatakan kalah
dari kerbau terkait persoalan membangun relasi,oleh karena itu,wahai manusia
(yangmembaca tulisan ini), sadarlah, tepiskanlah ambisi pribadi dalam membangun
relasi.
Belajarlah dari kesederhanaan Pak Tani dan
kerbau-kerbaunya. Belajarlah membangun komunikasi dengan saling memberi supaya
bermakna untuk kehidupan seperti pak tani dan kerbau-kerbaunya, yang membajak
sawah dan menjadi siap ditanami padi. Kemudian padi menghasilkan gabah dan
mungkin juga saudara yang membaca tulisan ini makan nasi dari padi dan beras
yang ditanam bapak dan kerbaunya yang aku jumpai pagi ini..
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar