Sabtu, 05 November 2016

AIR


Setelah semalaman mengikuti berita, tentang ngamuknya orang-orang yang keinginannya tidak terpenuhi, daripada sumpek,maka pergi ke pulau kapuk menjadi pilihan terbaiku. Tidurr… biar esoknya segar kembali, itu doa dan harapku. Dan benar, pagi sekitar jam 03. 50 bangun, bersyukur kepada Sang Pemberi Hidup, menuju luar rumah. 
Udara dingin menyambut keluarku dari tempat tinggal yang bukan rumahku sendiri, meski aku bisa menempatinya selama aku menerima Panggilan Hidup ini. Langkahku tidak  berhenti di sekitar rumah, namun entah mengapa, kaki ini mendorong raga menuju persawahan dan sekitarnya, meski dingin tetap memelukku.
Kuikuti keinginan kakiku dan juga hasrat jiwaku menikmati suasana pagi. Kuikuti biar tidak ikut berdemo, sebab sedang musimnya berdemo. Karena sepertinya manusia ini juga seperti hewan juga, punya siklus kehidupan. Jika hewan saat siklusnya kawin, ya semua ikut kawin,tidak peduli pasangan siapa… Demo kemarin sepertinya juga seperti itu, bahkan ang demo ada unsur wakil rakyat juga. Dalam perjalanan ini juga, dalam pagi ini,sempat tergulir Tanya untuk negeri tercinta, Jika sistemnya Negara perwakilan, mengapa tidak mempercayakan kepada wakil rakyat,atau wakil rakyatnya sudah impoten semua?Akhh…embuhlah..
Kakiku mengantarkanku sampai kie sebuah sungai di ujung desa. Gemericik airnya menyanyikan Simfoni purbakala tentang indahnya semesta. Masih gelap,sehingga bening air tak bisa aku lihat. Aku duduk, membenamkan kakiku dialiran sungai,duduk diantara bebatuan sungai gunung yang elok menyenangkan. Ada suara damai dinyanyikan aliran air sungai itu, nyanyian hati alam semesta. Perlahan terang mulai menampakkan kekuasaannya dan itu membuatku samar bisa melihat air sungai ini. Bening, sangat bening meski kemarinseharian hujan setia mengguyur bumi.
Hutan di atas pemukiman ini ternyata telah berkarya, menampun air hujan, menghambat air hujan menampar tanah sehingga menjadi lembut membuai bumi. Air hujan menjadi ramah,sehingga santun dan sopan menyusup ke dalam ibu periwi, bersapa dengan rumput dan akar,bersua dengan hewan-hewan kecil di dalam tanah, dan saat muncul di tanah, masih setia bening karena tidak marah mengangkut tanah.
Dari air, pagi iniada sebuah pelajaran berharga. Dia bisa ramah menyapa dengan beningnya yang abadi. Semua bisa terjadi,jika alampun menerimanya dengan kehijauan,bukan dengan tanah yang merah menganga,merah menyala. Air akanmarah jika tanah tidak menerimanya dengan ramah,maka mari kita belajar dari air..Dia bisa merusak namun lebih suka memberi hidup dan menghidupi. Hari semakin beranjak terang, kutinggalkan sungai gunung dan air beningnya. Kembali untuk melajutkan kehidupan sesuai dengan yang kupilih...

Salam Air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH