Rabu, 02 November 2016

DALIJO SAMPAI DI IBUKOTA


Cileduk habis, Cileduk habis. Ini sampai Cileduk. Silakan bersiap untuk turun,jangan lupa barang-barang bawaan”, Kondektur Bis Malam itu memberi aba-aba yang membuat penumpang terbangun. Begitu juga dengan  Dalijo, terpaksa bangun karena nyala lampu bis yang menandakan sedang berhenti. Sisa-sisa penumpang bis itu telah turun semua, tinggal Dalijo yang masih terbengong, bingung mau melakukan apa, karena memang tidak tahu babar blas Jakarta dan sekitarnya.
 
“Mas, tujuannya mana? Ini sudah sampai di Cileduk, akhir perjalanan lho”, Sapa kondektur bis ramah,meski dalam ukuran ramah crew bis AKAP.

Anu mas, hmmm..saya mau ke Jakarta. Kok malah sampai Cileduk, kan kemarin saya pesene tiket Jakarta mas”, Jawab Dalijo, setengah bertanya dan juga agak  tergagap, bingung karena memang tidak tahu mana yang akan dia tuju. Dia hanya diberi pesan kawannya, Songko, bahwa kalau sudah sampai di Jakarta atau akhir dari bis malam,harap memberi kabar. Namun Dalijo belum berkabar,karena datangnya  masih dini hari.

Wealah mas..mas..Jakarta itu luas, ini Cileduk, ikut propinsi Banten,ayo turun,bis mau dibersihkan. Kalau mau nunggu saudara ayo,ikut aku ke pool bis. Kita ngopi dan bisa udad-udud”, Lanjut kondektur bis itu. Dan Dalijopun manut, ia ikuti kondektur bis itu menuju pool yang nampaknya tidak jauh dari terminal itu.
Dalijo duduk dan memesan kopi sesampai di pool bus, di sana sudah berkumpul banyak crew bis dari berbagai macam PO. Mereka bercengkrama,ngobrol ngalor ngidul. Berkisah tentang penumpang, polisi,jalan dan juga hutang, karena itulah potret jujur anak-anak negeri .

“Mas, alamat saudaramu mana?”, Tanya seorang bapak setengah tua,yang usai membersihkan badan dan duduk dekat Dalijo. Dari perkenalannya tadi,bapak itu namanya Sumarah, yang dalam Bahasa Jawa berarti pasrah.
“Saya tidak punya saudara pak di Jakarta ini, saya datang ke Jakarta ini mau kerja. Saya dikabari teman saya, lewat esemes bahwa ada pekerjaan menunggu. Pekerjaannya Cuma sehari,namun akan dibayar selama tiga hari. Kerjanya nanti pak,jumat tanggal 4 Novemeber.  Katanya sehari dibayar 150 ribu,ongkos PP ditanggung. Makanya saya berangkat. Tadi saya sudah esemes teman saya dan nanti akan menjemput saya jam delapan”, Jawab Dalijo polos.

“Weladalah mas..,mas, kalau begitu sampeyan itu massa yang akan diajak demo itu. Demo menentang Pak Ahok, Gubernur yang berhasil menata Jakarta menjadi kota yang sangat baik, yang katanya menistakan agama. Mbok njenengan pikir ta mas, kok agama dinistakan? Apa bisa agama dinistakan?Apakah agama tidak akan tetap baik meski dihina,diejek,dinista? Mas, Apakah mutiara itu berubah menjadi arang jika dilempar ke arang dan juga akan tidak berarti saat bersama arang? Yang tidak bisa mikir itu ya yang menggerakkan demo itu,sementara yang mau digerakkan adalah saudara-saudara kita satu bangsa yang sangat sederhana pemikirannya,yang penting dapat uang”, Ungkap bapak Sumarah dengan mantab.

Nampaknya bapak sopir bis ini sangat cerdas,ini yang membuat Dalijo tertarik untuk bertanya,menanyakan jati diri bapak sopir bi situ.
“Wah, pemikiran bapak hebat,seperti dosen saja,seperti sarjana”, Ungkap Dalijo.
“Mas, bisa saja, memang saya dulu kuliah mas dan lulus jadi sarjana. Kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di Jogja”
“Lha kok bapak jadi sopir?”, Sambar Dalijo kaget, saat tahu ada sarjana hebat hanya mau jadi sopir bis malam.

Bapak Sumarah menghela nafas santai. Pagi sudah mulai menapaki ala semesta. Geliat pagi mulai terasa di pinggiran ibukota. Tanah juga mulai terlihat dan lampu-lampu sebagian sudah terpadamkan. Setelah menghirup kopinya, bapak itu kemudian melanjutkan  ceritanya.

“Pekerjaan ini pilihanku mas, jadi jangan kaget. Tidak salah kan saya kuliah,jadi sarjana namun memilih pilihan pekerjaan sebagai sopir? Bagi saya  mas, semua pekerjaan itu baik asal dikerjakan dengan setia dan bertanggung jawab. Saya masih merasa bangga menjadi sopir bis mala mini,daripada pemimpin ormas yang kerjaannya Cuma bengak-bengok, grudak-gruduk mengganggu ketertiban. Kita ini kan Negara hokum, ya kalau ada yang dianggap salah, serahkan ke yang berwenang, jangan malah sok hebat,sok suci,sok agamis,padahal hati dan hidupnya gombal. Mas,  kembali ke rencana demo besok jumat itu, saya mungkin sudah sampai sini lagi, itu karena orang-orang keblinger nalar berpikirnya. Tidak bisa membedakan siang dan malam,hanya sibuk mengurusi kepuasan perutnya saja. Dan kalau mas masih mau tetap ikutan demo, ikut saja mas, asal bisa menjaga ketertiban, siapa tahu justru mas ini yang di utus Yang Maha Kuasa untuk menjadi alat perdamaian di lautan demo besok jumat itu”, Lanjut bapak itu.

Dalijo terdiam, dia merenung. Memang keraguan sudah mulai menyapanya saat hendak mau berangkat. Sareh sahabat karibnya sudah mengingatkan,kemudian rekan bicaranya saat di agen bis kemarin juga sudah mengingatkannya. Dan kini,sesampainya di dekat ibukota, pesan untuk mengurungkan niat ikut demo itu semakin kuat. Namun,jika tidak ikut demo,dengan biaya dari maan ia pulang, ia sangat berharap dibayar untuk biaya pulang.

“Mengapa melamun mas?”, Sapa bapak Sumarah datar.
Anu pak, saya ngantuk, saya pengen ke toilet,mana ya pak?”, Jawab Dalijo gugup. Dan bapak itu tahu kegundahan hati Dalijo.

Dalijo ke toilet, dan saat kembali dari toilet, kembali bertemu pak Sumarah tadi, namun dalam keadaan hendak bersiap beristirahat. Kemudian mereka bercakap sebentar.

“Mas, saya mau ngaso,karena nanti harus mancal lagi menuju Wonogiri”, Sapa Pak Sumarah, sembari melangkah menuju sebuah ruangan. Mungkin itu tempat istirahat para crew bis-bis itu. Dalijo mengangguk, kemudian melangkah. Songko, kawannya, baru saja esemes, bahwa dia jemputnya agak terlambat. Kembali Dalijo bingung. Bingung hendak ke mana,karena dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.

ThiitThiiit… Suara Hape Dalijo membuatnya kaget, kemudian ia ambil hape itu,diangkatnya telfon yang masuk.

“Haloo…iya,ooo..kamu songko ta, piye Song?”, Tanya Dalijo penuh harap.
Dal, sing sabar ya.. Aku baru usai menyiapkan property, seragam untuk hari jumat. Termasuk untukmu. Sekitar jam 9nan aku menjemputmu”, Suara Songko dari seberang membuat Dalijo sedikit tenang. Kemudian Dalijo menuju sebuah warung tegal,hendak sarapan…

Dan jam Sembilan masih sekitar dua setengah jam lagi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH