Suasana malam di ibukota, malam kedua Dalijo di kota
metropolitan. Hingar-bingar suasana dan lalu lalang kendaraan, disertai lampu
yang benderang,membuat Dalijo kagum, bahkan sangat kagum. Masih
sekagum malam pertamanya di ibukota. Setelah pamitan ke Songko, yang
menampungnya di tempat tinggalnya, Dalijo pamit,hendak menimati malam, meski
hanya ke luar dekat,karena takut tersesat. Dalijo menuju sebuah tempat, sebuah Taman tepatnya.
Di bawah rimbun pohon perdu,di daerah yang dia sendiri
tidak paham, Dalijo melihat semuanya dengan kagum. Dalam kekagumannya, terpikir
olehnya jika besok pagi, saat banyak orang yang seperti dirinya,hendak
beramai-ramai melakukan sesuatu, semua yang tertata rapi itu akan rusak. Karena,orang
banyak pastilah sulit dikendalikan. Namun,apalah dayanya seorang Dalijo, ia
merasa kecil dan bukan apa-apa atau siapa-siapa.
Ramainya jalan dengan kendaraan yang seolah semut di kaki
bukit,saat musim hendak berganti, tidak membuat Dalijo hatinya ikut ramai. Justru
dalam relung hatinya bergumul,membuncah dengan aneka Tanya dan kecewa. Keberadaanya
di ibukota,yang sejatinya hanya ingin menikmati kota besar dengan fasilitas
gratis,ternyata sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ia sendiri tidak
kenal,apalagi paham.
Dalijo menjadi sadar,apalagi setelah perjumpaanya dengan
orang-orang baik nan jujur sebelumnya. Dengan Sareh sahabatnya, laki-laki di
agen bus, Pak Sumarah di terminal Cileduk,Songko dan juga semalam, dengan
penjual Mie Ayam,yang ternyata orang Eromoko, Wonogiri. Percakapannya dengan
penjual Mie Ayam itu,semakin membukakan cakrawala berpikirnya, bahwa hidup ini
mesti dijalani seturut batas dan wilayah kerjanya.
“Mas, ada wilayah yang mesti kita perhatikan dan ketahui.
Wilayah manusia,yaitu yang mesti kita
kerjakan,sesuai dengan pilihan dan kemapuan kita. Itu yang mesti kita
kerjakan,sementara wilayah Sang Maha Kuasa. Biar DIA yang mengerjakannya. Dia itu
kuat dan maha segalanya, maka tidaklah perlu dibela. Kalau DIA masih butuh
pembelaan,berarti DIA sudah tidak maha lagi. Sang Maha itu tak tersentuh oleh
siapapun dan dengan apapun. Manusia dengan segala keterbatasannya hanya mampu
mencoba dan dalam mencobapun mesti sadar, tidak aka pernah mampu menjangkaunya.
Manusia hanya bisa menangkap sesuai kemampuannya,dengan akal yang terbatas,
pikiran terbatas,bahasa terbatas dan juga budaya terbatas. Dalam segala
keterbatasan itu, tidak baik kalau masing-masing mengaku paling sempurna, itu
khilaf dan khilaf itu tidak baik”
Kata-kata penjual Mie Ayam,yang orang Eromoko itu, yang ternyata juga seorang Sarjana itu membuka nalar berpikirnya. Dalijo semakin
sadar bahwa Agama, apapun itu,hanyalah salah satu cara manusia menyapa Yang
Illahi. Dia dicipta dan dikerjakan oleh manusia, dengan budaya,pikiran,alam dan Bahasa
manusia. Jadi,kalau ada yang mengatakan itu dari Sang Illahi
sendiri,kemungkinan salah sangat besar. Manusia hanya mencoba menumpulkan
kepingan-kepingan pengalaman yang ia tempatkan dan yakini,lalu disusun dalam
sebuah mekanisme yang dinamakan agama. Dalijo semakin bersyukur, ternyata,ada
juga manfaatnya ia ke Jakarta,meski awalnya ia hendak ikut berdemo dan
mendapatkan bayaran.
Suasana malam semakin menuju pusatnya, namun Jakarta
masih ramai,seolah garis demarkasi antara siang dan malam itu sudah tidak
ada,sudah seperti manusia,yang seolah menjadi Tuhan dengan berani menghakimi
satu dengan yang lainnya. Semakin malam,semakin banyak orang berlalu
lalang,dengan pakaian yang beridentitas keyakinan tertentu, dan terlihat dari
caranya melihat suasana Jakarta, pastilah mereka pendatang, seperti dirinya. Dalijo
tersenyum,entah apa arti senyumnya itu, hanya dia sendiri yang tahu dan juga
Tuhan saja,orang lain yang mencoba menafsirkan senyumnya Dalijo dan mengaku
paham arti senyum Daljo,hanya pembual, omong kosong belaka, apalagi yang
kemudian tersinggung dan melaporkan Dalijo ke polisi dengan alasan
mengejek,karena tersenyum, itu seperti anak kecil,anak balita.
Dalijo sadar, mungkin mereka itu,yang juga datang dari
luar daerah, awalnya tidak tahu dengan tujuan mereka, dan andaipun kemudian
tahu,pastilah ad aiming-imingnya, entah itu uang atau surge. Memang aneh,
banyak yang menawarkan surge,seolah surga itu miliknya,sehingga seenaknya saja
ditawarkan dan dijanjikan kepada siapa saja. Padahal, mereka yang menawarkan surga
itu sendiri juga belum tahu tempat dan keadaanya. Beberapa yang sok
tahu,mengatakan banyak bidadari,itu pasti menyinggung kaum perempuan. Kalau hanya
bidadari, pastilah perempuan tidak cantik enggan ke surga, karena kalah
saingan. Dalijo kemudian tersenyum sendiri.
Malam masih terus bergulir,meski nampak letih memanggul
jaman yang semakin liar tak terkendali. Dan Dalijo masih mengamati suasana
Jakarta,pada sebuah tempat yang termasuk rimbun, dia tidak tahu nama daerah
itu,meski sempat ia mendengar itu bernama Taman Puring. Dalijo beringsut, tidak bergeser, masih duduk dtempat
duduk yang disediakan, yang rapi an bagus. Kata orang di situ, itu semua berkat
Gubernur yang sedang menjadi buah bibir itu.
Kota yang dulu katanya kumuh dan semrawut, dan sekarang
berkat jasa pemerintahan dengan Gubernur yang sekarang ini,dijadikan tertata
dan rapi ini,masakan hendak didemo,ditolak bahkan hendak disingkirkan,dan
dirinya ikut menjadi atu di dalamnya?Akhh..betapa konyolnya aku ini!! Dalijo
berguman dalam dirinya sendiri. Semakin bingung dia menyambut esok,menyambut
hari setelah tanggal 3 November. Di taman tempatnya menikmati malam,semakin
ramai,semakin meriah,seolah aka nada sebuah pesta. Dalijo masih duduk,masih
mengamati dan juga menikmati suasana,karena itulah salah satu tujuaannya pergi
ke Jakarta.
Sampai besok kawan..
Saya, Dalijo berpesan, agar setia mengikuti kisahku, siapa tahu bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar