Kamis, 03 November 2016

CATATAN HARIAN DALIJO DI JAKARTA



Suasana malam di ibukota, malam kedua Dalijo di kota metropolitan. Hingar-bingar suasana dan lalu lalang kendaraan, disertai lampu yang benderang,membuat Dalijo kagum, bahkan sangat kagum.  Masih sekagum malam pertamanya di ibukota. Setelah pamitan ke Songko, yang menampungnya di tempat tinggalnya, Dalijo pamit,hendak menimati malam, meski hanya ke luar dekat,karena takut tersesat. Dalijo menuju sebuah tempat, sebuah Taman tepatnya.

Di bawah rimbun pohon perdu,di daerah yang dia sendiri tidak paham, Dalijo melihat semuanya dengan kagum. Dalam kekagumannya, terpikir olehnya jika besok pagi, saat banyak orang yang seperti dirinya,hendak beramai-ramai melakukan sesuatu, semua yang tertata rapi itu akan rusak. Karena,orang banyak pastilah sulit dikendalikan. Namun,apalah dayanya seorang Dalijo, ia merasa kecil dan bukan apa-apa atau siapa-siapa.

Ramainya jalan dengan kendaraan yang seolah semut di kaki bukit,saat musim hendak berganti, tidak membuat Dalijo hatinya ikut ramai. Justru dalam relung hatinya bergumul,membuncah dengan aneka Tanya dan kecewa. Keberadaanya di ibukota,yang sejatinya hanya ingin menikmati kota besar dengan fasilitas gratis,ternyata sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ia sendiri tidak kenal,apalagi paham. 

Dalijo menjadi sadar,apalagi setelah perjumpaanya dengan orang-orang baik nan jujur sebelumnya. Dengan Sareh sahabatnya, laki-laki di agen bus, Pak Sumarah di terminal Cileduk,Songko dan juga semalam, dengan penjual Mie Ayam,yang ternyata orang Eromoko, Wonogiri. Percakapannya dengan penjual Mie Ayam itu,semakin membukakan cakrawala berpikirnya, bahwa hidup ini mesti dijalani seturut batas dan wilayah kerjanya.

“Mas, ada wilayah yang mesti kita perhatikan dan ketahui. Wilayah manusia,yaitu yang  mesti kita kerjakan,sesuai dengan pilihan dan kemapuan kita. Itu yang mesti kita kerjakan,sementara wilayah Sang Maha Kuasa. Biar DIA yang mengerjakannya. Dia itu kuat dan maha segalanya, maka tidaklah perlu dibela. Kalau DIA masih butuh pembelaan,berarti DIA sudah tidak maha lagi. Sang Maha itu tak tersentuh oleh siapapun dan dengan apapun. Manusia dengan segala keterbatasannya hanya mampu mencoba dan dalam mencobapun mesti sadar, tidak aka pernah mampu menjangkaunya. Manusia hanya bisa menangkap sesuai kemampuannya,dengan akal yang terbatas, pikiran terbatas,bahasa terbatas dan juga budaya terbatas. Dalam segala keterbatasan itu, tidak baik kalau masing-masing mengaku paling sempurna, itu khilaf dan khilaf itu tidak baik”

Kata-kata penjual Mie Ayam,yang orang Eromoko  itu, yang ternyata juga seorang Sarjana itu membuka nalar berpikirnya. Dalijo semakin sadar bahwa Agama, apapun itu,hanyalah salah satu cara manusia menyapa Yang Illahi. Dia dicipta dan dikerjakan oleh manusia, dengan budaya,pikiran,alam dan Bahasa manusia. Jadi,kalau ada yang mengatakan itu dari Sang Illahi sendiri,kemungkinan salah sangat besar. Manusia hanya mencoba menumpulkan kepingan-kepingan pengalaman yang ia tempatkan dan yakini,lalu disusun dalam sebuah mekanisme yang dinamakan agama. Dalijo semakin bersyukur, ternyata,ada juga manfaatnya ia ke Jakarta,meski awalnya ia hendak ikut berdemo dan mendapatkan bayaran.

Suasana malam semakin menuju pusatnya, namun Jakarta masih ramai,seolah garis demarkasi antara siang dan malam itu sudah tidak ada,sudah seperti manusia,yang seolah menjadi Tuhan dengan berani menghakimi satu dengan yang lainnya. Semakin malam,semakin banyak orang berlalu lalang,dengan pakaian yang beridentitas keyakinan tertentu, dan terlihat dari caranya melihat suasana Jakarta, pastilah mereka pendatang, seperti dirinya. Dalijo tersenyum,entah apa arti senyumnya itu, hanya dia sendiri yang tahu dan juga Tuhan saja,orang lain yang mencoba menafsirkan senyumnya Dalijo dan mengaku paham arti senyum Daljo,hanya pembual, omong kosong belaka, apalagi yang kemudian tersinggung dan melaporkan Dalijo ke polisi dengan alasan mengejek,karena tersenyum, itu seperti anak kecil,anak balita.

Dalijo sadar, mungkin mereka itu,yang juga datang dari luar daerah, awalnya tidak tahu dengan tujuan mereka, dan andaipun kemudian tahu,pastilah ad aiming-imingnya, entah itu uang atau surge. Memang aneh, banyak yang menawarkan surge,seolah surga itu miliknya,sehingga seenaknya saja ditawarkan dan dijanjikan kepada siapa saja. Padahal, mereka yang menawarkan surga itu sendiri juga belum tahu tempat dan keadaanya. Beberapa yang sok tahu,mengatakan banyak bidadari,itu pasti menyinggung kaum perempuan. Kalau hanya bidadari, pastilah perempuan tidak cantik enggan ke surga, karena kalah saingan. Dalijo kemudian tersenyum sendiri.

Malam masih terus bergulir,meski nampak letih memanggul jaman yang semakin liar tak terkendali. Dan Dalijo masih mengamati suasana Jakarta,pada sebuah tempat yang termasuk rimbun, dia tidak tahu nama daerah itu,meski sempat ia mendengar itu bernama Taman Puring. Dalijo  beringsut, tidak bergeser, masih duduk dtempat duduk yang disediakan, yang rapi an bagus. Kata orang di situ, itu semua berkat Gubernur yang sedang menjadi buah bibir itu.

Kota yang dulu katanya kumuh dan semrawut, dan sekarang berkat jasa pemerintahan dengan Gubernur yang sekarang ini,dijadikan tertata dan rapi ini,masakan hendak didemo,ditolak bahkan hendak disingkirkan,dan dirinya ikut menjadi atu di dalamnya?Akhh..betapa konyolnya aku ini!! Dalijo berguman dalam dirinya sendiri. Semakin bingung dia menyambut esok,menyambut hari setelah tanggal 3 November. Di taman tempatnya menikmati malam,semakin ramai,semakin meriah,seolah aka nada sebuah pesta. Dalijo masih duduk,masih mengamati dan juga menikmati suasana,karena itulah salah satu tujuaannya pergi ke Jakarta.

Sampai besok kawan.. 

Saya, Dalijo berpesan, agar setia mengikuti kisahku, siapa tahu bermanfaat..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH