Sisa-sisa hujan kemarin dan sebagian malam masih terlihat
jelas. Jalan yang basah,aliran air dari sela-sela tanah beralur rendah,kabut
tipis putih membungkus semesta. Dingi tidak menyurutkan langkahku menikmati
pagi,menyusuri jalan-jalan basah yang masih sunyi. Melewati sawah dan kebun
warga, semua terasa damai.
Tetes-tetes embun yang berebut bergulir, saling
membelai dedaunan,diantara berisik sejati nan lembut, telah mencipta alunan
musik alami yang sungguh enak di dengar,jika mau dan mampu mendengarnya.
Sesampai di bawah rerimbunan pohon duren,langkah kaki ini
terhenti. Tatapan mata ini tertuju pada benda agak kekuningan,jatuh tepat di
pingggir jalan. Setelah dekat baru kutahu, bunga duren yang terhempas. Kuamati,kuambil
dan kemudian kuendus aromanya. Tidak sedikitpun ada keharuman,mungkin karena sudah
batas hayat,maka dari itu terhempas. Kemudian kudongakkan pandangan ke atas, di
dahan-dahan pohon duren itu sudah ada bakal-bakal buah,hasil perubahan dari
bunga-bunga yang sudah luruh dan terhempas ini.
Bunga duren,bertugas tidaklah lama, tidak lebih dari 10
hari, dan juga tidak ada yang memberi apresiasi. Namun meski demikian, mereka
tetap setia menjalankan tanggungjawabnya dengan baik. Mereka menjadi jalan
terbentuknya buah, yang pada akhirnya akan menjadi buruan para penikmat duren,
dari Tupai,kalong,codot dan juga Manusia. Kesetiaan bunga Duren adalah
kesetiaan yang tulus,yang alami, berkarya sesuai kodratnya,memberi diri bermakna
untuk siapa saja.
Dari Narasi kehidupan bunga duren pagi ini, kutemukan
sebuah cermin bening kehidupan. Apapun, di manapun dan seperti apapun tugas
panggilan kehidupan ini, mari kerjakan dengan serius dan setia. Kerjakan dengan
tulus meskipun minim apresiasi,minim penghargaan dan tidak mungkin menjadi
jalur terkenal atau populer. Hidup dan tanggungjawab ini bukan sekedar untuk
populer, namun untuk memberi makna. Bunga duren sangat berarti,sama artinya
dengan buah duren,namun kalah terkenal dengan buah duren. Mereka adalah sebuah
kesatuan alami nan abadi.
Sedikit berkhayal saat langkahku berbalik menuju tempat
tinggal, andai manusia mampu memainkan peran dengan baik dan benar, meski tidak
semua terkenal, betapa indahnya kehidupan alam semesta ini. Namun, sepertinya
itu sangat sulit, karena manusia adalah seonggok daging bernyawa yang dipenuhi
dengan nafsu.
Di ufuk timur remang merah mulai mengembangkan sayabnya,
di sebelah barat, di perbukitan barat kampung kami, kabut putih semakin menipis,karena
mereka semakin membaur dengan udara dan luruh untuk memberi makna.
Salam Bunga Duren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar