Jarum jam di rumah Dalijo menunjukan jam 09.45. Dalijo nampak sudah bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Tas ransel butut, yang dia beli semenjak sekolah este’em masih utuh, Meskipun warnanya kusam,sekusam wajah negri yang aneh,penuh dengan orang-orang aneh. Aneh karena ada orang yang kerjanya Cuma mengkritik meski dibayar oleh anggaran Negara,aneh karena ada yang pekerjaannya Cuma dema-demo saja..
Dalijo kemudian mengambil Hape,memencet tombol-tombolnya, kemudian mengirim pesan. Sesaat kemudian,
setelah mengunci pintu rumah, pamit ke Paklik
Bogging, tetangga terdekatnya,
menyerahkan kunci, sembari memesan sesuatu. Kemudian Dalijo melanjutkan
langkah, melewati kandang sapi reyot peninggalan almarhum orang tuanya.
“Thiit..thittt…”
Hape Dalijo berbunyi, kemudian dijawabnya telefon dari seberang sana.
“Iya Reh,
aku sida mangkat. Melu bis wae, ben ongkose luih ngirit. Seminggu meneh aku
mulih ya”, Dalijo menjawab suara telefon dari sahabatnya, Sareh. Dalijo melanjtukan
langkah,dengan tegap dan nampak mantab, ia melangkah menuju kota kecamatan.
Di pertigaan dusun,ia sudah ditunggu Suliyo, teman
esdenya,yang berjanji mau mengantar ke
agen bis, sekalian mau menjemput anaknya yang kelas satu esde.
“Wis
manteb melu demo Dal?”, Tanya Suliyo dan dijawab dengan
anggukan kepala, kemudian Dalijo nyengklak
motor Suliyo,menuju agen bis di kota kecamatan. Semilir angin pagi menjelang
siang itu segar bukan main dan cuaca cerah,langit biru. Saat melintasi kedung peninggalan Belanda, Dalijo
sempat memandang kedung yang selalu
ia pakai untuk memancing,mencari hiburan hidup. Kemudian mereka, Dalijo dan
Suliyo sampai di agen bis,, di kota kecamatan itu.
“Mas, Dalijo, nanti berangkat jam 12.00 ya, ikut
bis terakhir. Sengaja saya tempatkan mas di bis terkahir, soalnya kata agen di
Praci, ada juga yang ke Jakarta mau kerja seminggu, ga tahu kerja apa itu,sama seperti mas Dalijo”, Terang pemilik
agen.
Dalijo termenung, ternyata tidak semua warga
masyarakat mengerti tentang keheboan yang akan terjadi di ibukota negri ini
tiga hari mendatang. Entah mereka benar-benar tidak tahu atau tidak mau tahu,
Dalijo tidak begitu paham. Setelah menyelesaikan admistrasi tiket bis, Dalijo
mencari tempat duduk,meletakkan tas ranselnya, kemudian duduk,mengambil rokok
favoritnya, mengambil satu batang dan kemudian meyalakannya.
“Mas, mau ke Jakarta ya?”, Tanya seseorang
tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
“Iya mas, lha
mas mau ke mana?”, Jawab Dalijo.
“Saya
mau menengok keluarga,di Jakarta. Tapi saya ragu mas, katanya akan ada demo ya
mas? Nanti tanggal 4 Nopember ini. Saya itu bingung, orang kok kerjanya
demooo..demoooo terus itu apa tidak capek ya?Apa mereka tidak punya
pekerjaan,tidak punya anak dan istri? Kok selama ini yang demo itu ya kelompok itu terus ya. Itu lho mas yang seragamnya putih-putih semua, apa mereka tidak
punya seragam yang lain ya mas?”, Tanya laki-laki
sederhana yang ada dan duduk di dekat Dalijo.
Dalijo merenung. Benar juga yang dikatakan orang
ini. Yang selalu demo itu ya kelompok itu terus. Dan sekarang dirinya akan ikut
terlibat,karena mendapat sms dari temannya di facebook, bahwa bila ikut demo
akan di bayar 150 ribu perhari untuk yang luar kota dan ditanggung perjalanan
pergi pulangnya. Sejenak mencuat keraguan dalam sanubari Dalijo. Ingin ia
membatalkan perjalanan ke Jakarta, namun sudah terlanjur berpamitan dan akan
pulang seminggu kemudian.
Sambil menghisap rokoknya, Dalijo menjawab.
“Iya ya mas, kok mereka itu demo terus ya,kok
tidak pernah merasa bosan ya”, Dalijo malah berbalik bertanya, seolah orang
lain yang sama sekali tidak tahu tentang demo, padahal dia sedang bersiap mau
ke ibukota untuk berdemo,tepatnya untuk mendapatkan uang, meskipun tidak paham
sama sekali tujuan dan manfaat dari demo yang dalam beberapa hari
digembar-gemborkan di tipi itu.
Beberapa orang bersiap naik bis,ketika ada bis
AKAP jurusan Jakarta berwarna biru putih, bis local daerah itu masuk ke
terminal kecamatan itu. Jam 11.00, bis sudah berangkat menuju ibukota dan
penumpangnya nampak penuh. Dalijo melihat bis itu, sembari berpikir keras
tentang demo yang akan diikutinya. Dia hanya ingin pergi ke Jakarta,ingin
dolan,dan kalau ada yang mau membayari,ya baguslah. Dia tidak tahu tujuan dan
manfaat demo itu. Yang ia tahu hanya dia ingin ke ibukota,yang katanya sekarang
bersih dan teratur semenjak digubernuri oleh yang namanya Hok hok itu, maklum
Dalijo tidak apal nama Gubernur Jakarta.
“Kok melamun mas, mikir apa?”, Tanya sebelah
Dalijo, yang menjadi rekan ngobrol
Dalijo dalam penantian bis menuju Jakarta,ibukota.
“Saya itu sebenarnya kan mau ke Jakarta itu untuk
demo mas, lha saya dijanjikan uang perhari 150 ribu,dan perjalanan 3 hari
dihitung,lalu ongkos pergi pulang diongkosi. Lha kalau saya hitung kan lumayan
mas, 150 rubu kali 3 kan 450 ribu,makan minum ditanggung, jadi sudah dolan
dibayari,kan joss ta mas?Tapi kok dari tadi banyak yang tidak tahu berita
tentang demo itu,dan kalaupun tahu, tidak nggagas
blas. Mereka cuek dengan rencana demo
Ibukota mas”, Dalijo menjelaskan yang sedang ia pikirkan.
Laki-laki sebelah Dalijo itu kemudian
bergeser,mengambil nafas dan berkata dengan santai.
“Inilah
wajah warga Negara kita mas, sering melakukan sesuatu tanpa pernah tahu apa
yang ia lakukan. Sering hanya senang grudak-gruduk dalam keramaian,sering suka
tampil di televise,meski tampilan itu bukan untuk kebaikan. Demo itu hak semua
warga Negara,namun apakah semua mesti dilalui dengan demo?Demo sejatinya
mencerminkan gagalnya berpikir dewasa dan jernih. Dan semakin parah jika demo
itu hanya untuk kepuasan diri dan keuntungan diri dan kelompoknya. Jika kita
merasa manusia yang beradab,maka demo bukan pilihan menyelesaikan persoalan. Demo
itu cerminan pola piker anak kecil yang sering demo dengan nagis dan merusak
semua yang di dekatnya. Tapi ya itulah wajah negri kita mas”, Ungkap
lelaki sebelah Dalijo.
Dalijo mulai ragu,mulai bimbang apakah akan
melanjutkan ke Jakarta atau kembali pulang. Dalam bimbang, ada bis warna merah
muda masuk terminal, tepat depan mereka duduk. Dan kemudian,terdengar suara
meminta semua penumpang masuk ke dalam bis.
“Semua penumpang harap segera masuk. Ini bis
terkahir ke Jakarta dari sini” Sapa pemilik agen, Dalijo tidak sempat menimbang
lebih dalam,segera bergegas dan naik bis itu setelah sebelumnya pamit ke
pemilik agen. Sementara lelaki di sampingnya tadi,juga naik. Namun tempat duduk
mereka berjauhan. Dan Dalijo tetap berangkat demo ke Jakarta…
Bagaimana kisah Dalijo selanjutnya?
Tungga saja..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar