Selasa, 01 November 2016

DALIJO IKUT DEMO II


Jarum jam di rumah Dalijo menunjukan jam 09.45. Dalijo nampak sudah bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Tas ransel butut, yang dia beli semenjak sekolah este’em masih utuh, Meskipun warnanya kusam,sekusam wajah negri yang aneh,penuh dengan orang-orang aneh. Aneh karena ada orang yang kerjanya Cuma mengkritik meski dibayar oleh anggaran Negara,aneh karena ada yang pekerjaannya Cuma dema-demo saja..
 
Dalijo kemudian mengambil Hape,memencet tombol-tombolnya, kemudian mengirim pesan. Sesaat kemudian, setelah mengunci pintu rumah, pamit ke Paklik Bogging, tetangga terdekatnya, menyerahkan kunci, sembari memesan sesuatu. Kemudian Dalijo melanjutkan langkah, melewati kandang sapi reyot peninggalan almarhum orang tuanya.

Thiit..thittt…” Hape Dalijo berbunyi, kemudian dijawabnya telefon dari seberang sana.

Iya Reh, aku sida mangkat. Melu bis wae, ben ongkose luih ngirit. Seminggu meneh aku mulih ya”, Dalijo menjawab suara telefon dari sahabatnya, Sareh. Dalijo melanjtukan langkah,dengan tegap dan nampak mantab, ia melangkah menuju kota kecamatan.

Di pertigaan dusun,ia sudah ditunggu Suliyo, teman esdenya,yang berjanji mau mengantar ke agen bis, sekalian mau menjemput anaknya yang kelas satu esde.
“Wis manteb melu demo Dal?”, Tanya Suliyo dan dijawab dengan anggukan kepala, kemudian Dalijo nyengklak motor Suliyo,menuju agen bis di kota kecamatan. Semilir angin pagi menjelang siang itu segar bukan main dan cuaca cerah,langit biru. Saat melintasi kedung peninggalan Belanda, Dalijo sempat memandang kedung yang selalu ia pakai untuk memancing,mencari hiburan hidup. Kemudian mereka, Dalijo dan Suliyo sampai di agen bis,, di kota kecamatan itu.

“Mas, Dalijo, nanti berangkat jam 12.00 ya, ikut bis terakhir. Sengaja saya tempatkan mas di bis terkahir, soalnya kata agen di Praci, ada juga yang ke Jakarta mau kerja seminggu, ga tahu kerja apa itu,sama seperti mas Dalijo”, Terang pemilik agen.

Dalijo termenung, ternyata tidak semua warga masyarakat mengerti tentang keheboan yang akan terjadi di ibukota negri ini tiga hari mendatang. Entah mereka benar-benar tidak tahu atau tidak mau tahu, Dalijo tidak begitu paham. Setelah menyelesaikan admistrasi tiket bis, Dalijo mencari tempat duduk,meletakkan tas ranselnya, kemudian duduk,mengambil rokok favoritnya, mengambil satu batang dan kemudian meyalakannya.

“Mas, mau ke Jakarta ya?”, Tanya seseorang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.

“Iya mas, lha mas mau ke mana?”, Jawab Dalijo.

“Saya mau menengok keluarga,di Jakarta. Tapi saya ragu mas, katanya akan ada demo ya mas? Nanti tanggal 4 Nopember ini. Saya itu bingung, orang kok kerjanya demooo..demoooo terus itu apa tidak capek ya?Apa mereka tidak punya pekerjaan,tidak punya anak dan istri? Kok selama ini yang demo itu ya kelompok itu terus ya. Itu lho mas yang seragamnya putih-putih semua, apa mereka tidak punya seragam yang lain ya mas?”, Tanya laki-laki sederhana yang ada dan duduk di dekat Dalijo.

Dalijo merenung. Benar juga yang dikatakan orang ini. Yang selalu demo itu ya kelompok itu terus. Dan sekarang dirinya akan ikut terlibat,karena mendapat sms dari temannya di facebook, bahwa bila ikut demo akan di bayar 150 ribu perhari untuk yang luar kota dan ditanggung perjalanan pergi pulangnya. Sejenak mencuat keraguan dalam sanubari Dalijo. Ingin ia membatalkan perjalanan ke Jakarta, namun sudah terlanjur berpamitan dan akan pulang seminggu kemudian. 
Sambil menghisap rokoknya, Dalijo menjawab.
“Iya ya mas, kok mereka itu demo terus ya,kok tidak pernah merasa bosan ya”, Dalijo malah berbalik bertanya, seolah orang lain yang sama sekali tidak tahu tentang demo, padahal dia sedang bersiap mau ke ibukota untuk berdemo,tepatnya untuk mendapatkan uang, meskipun tidak paham sama sekali tujuan dan manfaat dari demo yang dalam beberapa hari digembar-gemborkan di tipi itu.

Beberapa orang bersiap naik bis,ketika ada bis AKAP jurusan Jakarta berwarna biru putih, bis local daerah itu masuk ke terminal kecamatan itu. Jam 11.00, bis sudah berangkat menuju ibukota dan penumpangnya nampak penuh. Dalijo melihat bis itu, sembari berpikir keras tentang demo yang akan diikutinya. Dia hanya ingin pergi ke Jakarta,ingin dolan,dan kalau ada yang mau membayari,ya baguslah. Dia tidak tahu tujuan dan manfaat demo itu. Yang ia tahu hanya dia ingin ke ibukota,yang katanya sekarang bersih dan teratur semenjak digubernuri oleh yang namanya Hok hok itu, maklum Dalijo tidak apal nama Gubernur Jakarta.

“Kok melamun mas, mikir apa?”, Tanya sebelah Dalijo, yang  menjadi rekan ngobrol Dalijo dalam penantian bis menuju Jakarta,ibukota.
“Saya itu sebenarnya kan mau ke Jakarta itu untuk demo mas, lha saya dijanjikan uang perhari 150 ribu,dan perjalanan 3 hari dihitung,lalu ongkos pergi pulang diongkosi. Lha kalau saya hitung kan lumayan mas, 150 rubu kali 3 kan 450 ribu,makan minum ditanggung, jadi sudah dolan dibayari,kan joss ta mas?Tapi kok dari tadi banyak yang tidak tahu berita tentang demo itu,dan kalaupun tahu, tidak nggagas blas. Mereka cuek dengan rencana demo Ibukota mas”, Dalijo menjelaskan yang sedang ia pikirkan.
Laki-laki sebelah Dalijo itu kemudian bergeser,mengambil nafas dan berkata dengan santai.

“Inilah wajah warga Negara kita mas, sering melakukan sesuatu tanpa pernah tahu apa yang ia lakukan. Sering hanya senang grudak-gruduk dalam keramaian,sering suka tampil di televise,meski tampilan itu bukan untuk kebaikan. Demo itu hak semua warga Negara,namun apakah semua mesti dilalui dengan demo?Demo sejatinya mencerminkan gagalnya berpikir dewasa dan jernih. Dan semakin parah jika demo itu hanya untuk kepuasan diri dan keuntungan diri dan kelompoknya. Jika kita merasa manusia yang beradab,maka demo bukan pilihan menyelesaikan persoalan. Demo itu cerminan pola piker anak kecil yang sering demo dengan nagis dan merusak semua yang di dekatnya. Tapi ya itulah wajah negri kita mas”, Ungkap lelaki sebelah Dalijo.

Dalijo mulai ragu,mulai bimbang apakah akan melanjutkan ke Jakarta atau kembali pulang. Dalam bimbang, ada bis warna merah muda masuk terminal, tepat depan mereka duduk. Dan kemudian,terdengar suara meminta semua penumpang masuk ke dalam bis.

“Semua penumpang harap segera masuk. Ini bis terkahir ke Jakarta dari sini” Sapa pemilik agen, Dalijo tidak sempat menimbang lebih dalam,segera bergegas dan naik bis itu setelah sebelumnya pamit ke pemilik agen. Sementara lelaki di sampingnya tadi,juga naik. Namun tempat duduk mereka berjauhan. Dan Dalijo tetap berangkat demo ke Jakarta…
Bagaimana kisah Dalijo selanjutnya?
Tungga saja..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH