Pagi membuka tirai hitam malam yang sangat pekat. Perlahan namun pasti selimut cerah pagi memanjakan alam semesta. Kicauan burung,kokok ayam jantan, nyanyian serangga liar,luruh,membaur menjadi satu,dalam sebuah simfoni alam yang sejati.
Kubuka pintu,melangkah menuju luar rumah,menghirup
udara segar pemberian Sang Khaliq. Mematikan saklar lampu,sebuah pekerjaan
sederhana yang mungkin tidak akan pernah diekspos mediamanapun,meski sebenarnya
sebuah pekerjaan mulia,karena hemat enegri. Dengan hemat energy berarti saying akan
akan cucu yang akan melanjutkan hidup di waktu kemudian, juga sadar bahwa bumi
ini hanyalah pinjaman. Kita meminjam dari anak cucu.
Langit pagi ini cerah, setelah semalaman hujan mencumbu
tanah dengan begitu semangatnya. Seperti tempo hari,embun juga menyapaku,dengan
bias warna pelangi indah saat berbenturan pandang dengan pandangku dan nyala lampu di
ujung jalan. Semua membuatku tersenyum sembari bersyukur, semua indah jika
dihayati dan dinikmati,namun tidak indah saat dikejar dan ingin dikuasai.
Saat kembali kupandang langit,terlintas beberapa ekor
kelelwar yang terbang melintas, seolah tergesa. Mungkin karena siang akan
menyapa,sehingga mesti segera sampai di istananya. Sejenak aku termenung,dalam
sepersekian detik waktu, sudah kenyangkah mereka,para kelelawar itu,sehingga
mesti tergesa pulang menyelesaikan waktunya untuk berjuang menyambung
hidup?Jujur, saya tidak tahu,apakah mereka sudah kenyang atau masih lapar. Namun
satu hal membuatku merenung lebih dalam, Kelelawar itu sadar akan batas waktu
yang menjadi miliknya. Ia bisa saja tetap serakah mencari makanannya di siang hari,saat terang
lebih menguasai daripada gelap. Namun takdir hidupnya mengajaknya, kelelawar
itu, sadar, bahwa siang bukan waktunya. Terang cahaya justru akan membuatnya
silau dan tak mampu menangkap mangsa,itulah yang membuat kaum kelelawar sadar,
sehingga cahaya matahari selalu menjadi
penanda akhir kerjanya.
Manusia?Akh..mereka sulit ditebak,sulit dimengerti,bahkan
oleh dirinya sendiri. Selalu merasa kurang dan kurang,baik waktu maupun barang.
Manusia selalu berjuang untuk menguasai
dan tidak pernah belajar menimati,sehingga terjadi benturan di sana-sini. Seharusnya
manusia belajar dari hewan yang tidak begitu menarik ini, dari Kelelawar,
bagaimana bijak mensiapi hidup. Tidak serakah,tahu akan wilayah dan jatah
waktu,sadar akan keterbatasan naturalnya.
Kelelawar itu juga tidak pernah
protes kepada Sang Pencipta,ketika manusia menciptakan peneangan saat
malam,meski terganggu,namun mereka bisa beradaptasi dengan sederhana. Berbeda dengan
manusia, ada sedikit saja yang tidak sesuai dengan hasrat dan keinginannya, demo
dan protes akan dikerjakannya. Namun sering pengecut,tidak berani jujur bahwa
ia demo untuk kepentingannya sendiri, ia atau mereka sering mengatasnamakan
Sang Pencipta dalam demonya. Akhh…
manusia.
Pagi ini dari
kelelawar, aku bisa belajar, bisa bercermin tentang kesederhanaan,tentang
kebersahajaan,tentang mengerti batas-batas diri. Terima kasih kelelawar, darimu
aku bisa semakin menikmati indahnya
kehidupan di semesta yang elok ini. Darimu aku bisa belajar, tidak perlu ada
pemaksaan,tidak perlu mengejar dan menguasai,yang perlu adalah menikmati.
Salam 4 November 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar