Jumat, 04 November 2016

PELAJARAN DARI KELELAWAR


Pagi membuka tirai hitam malam yang sangat pekat. Perlahan namun pasti selimut cerah pagi memanjakan alam semesta. Kicauan burung,kokok ayam jantan, nyanyian serangga liar,luruh,membaur menjadi satu,dalam sebuah simfoni alam yang sejati. 
Kubuka pintu,melangkah menuju luar rumah,menghirup udara segar pemberian Sang Khaliq. Mematikan saklar lampu,sebuah pekerjaan sederhana yang mungkin tidak akan pernah diekspos mediamanapun,meski sebenarnya sebuah pekerjaan mulia,karena hemat enegri. Dengan hemat energy berarti saying akan akan cucu yang akan melanjutkan hidup di waktu kemudian, juga sadar bahwa bumi ini hanyalah pinjaman. Kita meminjam dari anak cucu. 

Langit pagi ini cerah, setelah semalaman hujan mencumbu tanah dengan begitu semangatnya. Seperti tempo hari,embun juga menyapaku,dengan bias warna  pelangi indah saat berbenturan pandang dengan pandangku dan nyala lampu di ujung jalan. Semua membuatku tersenyum sembari bersyukur, semua indah jika dihayati dan dinikmati,namun tidak indah saat dikejar dan ingin dikuasai.
Saat kembali kupandang langit,terlintas beberapa ekor kelelwar yang terbang melintas, seolah tergesa. Mungkin karena siang akan menyapa,sehingga mesti segera sampai di istananya. Sejenak aku termenung,dalam sepersekian detik waktu, sudah kenyangkah mereka,para kelelawar itu,sehingga mesti tergesa pulang menyelesaikan waktunya untuk berjuang menyambung hidup?Jujur, saya tidak tahu,apakah mereka sudah kenyang atau masih lapar. Namun satu hal membuatku merenung lebih dalam, Kelelawar itu sadar akan batas waktu yang menjadi miliknya. Ia bisa saja tetap serakah  mencari makanannya di siang hari,saat terang lebih menguasai daripada gelap. Namun takdir hidupnya mengajaknya, kelelawar itu, sadar, bahwa siang bukan waktunya. Terang cahaya justru akan membuatnya silau dan tak mampu menangkap mangsa,itulah yang membuat kaum kelelawar sadar, sehingga cahaya  matahari selalu menjadi penanda akhir kerjanya.

Manusia?Akh..mereka sulit ditebak,sulit dimengerti,bahkan oleh dirinya sendiri. Selalu merasa kurang dan kurang,baik waktu maupun barang. Manusia selalu berjuang  untuk menguasai dan tidak pernah belajar menimati,sehingga terjadi benturan di sana-sini. Seharusnya manusia belajar dari hewan yang tidak begitu menarik ini, dari Kelelawar, bagaimana bijak mensiapi hidup. Tidak serakah,tahu akan wilayah dan jatah waktu,sadar akan keterbatasan  naturalnya. 

Kelelawar itu juga tidak pernah protes kepada Sang Pencipta,ketika manusia menciptakan peneangan saat malam,meski terganggu,namun mereka bisa beradaptasi dengan sederhana. Berbeda dengan manusia, ada sedikit saja yang tidak sesuai dengan hasrat dan keinginannya, demo dan protes akan dikerjakannya. Namun sering pengecut,tidak berani jujur bahwa ia demo untuk kepentingannya sendiri, ia atau mereka sering mengatasnamakan Sang Pencipta dalam demonya.  Akhh… manusia.

Pagi ini  dari kelelawar, aku bisa belajar, bisa bercermin tentang kesederhanaan,tentang kebersahajaan,tentang mengerti batas-batas diri. Terima kasih kelelawar, darimu aku  bisa semakin menikmati indahnya kehidupan di semesta yang elok ini. Darimu aku bisa belajar, tidak perlu ada pemaksaan,tidak perlu mengejar dan menguasai,yang perlu adalah menikmati.

Salam 4 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH