Malam yang dingin, meski tidak hujan, karena langit
sangat cerah. Dingin karena udara pegunungan yang penuh dengan pepohonan.
Dalijo bersama dengan dua orang sahabat karibnya, Sareh dan Maruta.
Mereka
telah sepakat hendak naik ke atas bukit di sebelah rumah Dalijo. Kira-kira jam
21.30 mereka akan naik, hari itu kamis
paing, waktu yang pas untuk tirakat
dalam perhitungan Jawa. Saat yang tepat
untuk mendekatkan diri dengan Sang Khaliq, paling tidak untuk mereka
bertiga.
“Dal, Reh, jangan lupa minuman air putihe dan juga udud’e”,
Sapa Maruta,mengingatkan teman-temannya., agar tidak lupa membawa uba-rampe
tirakatan malam itu.
“Wedang putih kui susu Mar, meh njaluk susune sapa,anane wedang bening”, Jawab
Dalijo sembari bercanda.
Mereka tidak melanjutkan perdebatan,mereka sudah
saling mengerti satu dengan yang lainnya. Jadi, perdebatan hanya aka terjadi
saat pihak-pihak tidak saling memahami posisinya masing-masing, ada juga yang
satu memaksakan pendapatnya ke yang lain, persis seperti anak kecil.
Pukul 21.30 tepat mereka berangkat, tidak jauh, hanya
sekitar 1 km dan tidak juga mereka menggunakan kendaraan bermotor, selain jalan
yang tidak memungkinkan dilalui kendaraan bermotor, mereka juga tidak punya
kendaraan bermotor. Mereka berjalan dengan santai, menerobos pekat dan
dinginnya malam dalam jalan setapa yang menanjak. Sangat senyap malam
itu,bahkan seolah binatang malampun sedang offday,
libur, bahkan untuk sekedar kentutpun.
Sungguh sangat senyap. Beberapa saat kemudian mereka sampai. Langit cerah,
ribuan bintang bermain di ankasa indah, dan memang selalu begitu semenjak
purbakala. Keindahan yang abadi adalah keindahan malam, keindahan dalam
gelap,dalam remang dan hanya seterang purnama.
“Mar, Reh, lihatlah ke atas, lihatlah bintang-bintang
itu, mereka senatiasa berdamai dengan keadaan. Mereka selalu berdamai dengan
diri mereka sendiri”, Maruta mengawali percakapan.
“Jarang sekali orang di jaman modern ini melihat dan
menikmati bintang. Mereka sudah disibukan dengan nafsu manusiawi yang kian tak
terkendali”, Sambung Sareh pelan. Mereka dududk,menatap ke segala arah. Di
bawah mereka desa mereka, desa Mundu-Baran. Desa yang sungguh terpencil,namun
selalu rukun dan damai penghuninya.
“Dal. Katane
kamu mau cerita tentang agama, ayolah sekarang kamu cerita dan kita rasakan bersama-sama, jika mesti kita
berbagi pengertian dan pemahaman, ya ayo. Mumpung kita bertiga, sudah saling
mengerti sehingga kemungkinan berkonflik kecil”, Ungkap Maruta.
Lalu senyap kembali menguasahi keadaan, namun kerlip
bintang di angkasa takjua mau berhenti. Saat itu angin tak berhembus, dengung nyamuk hutan
mendekati mereka, sungguh cerdas naluri nyamuk itu, mereka selalu menggunakan
seberapapun kesempatan untuk mencari peluang demi bertahan hidup. Mereka
menghindari tiupan angina,karena saat angina bertiup,kemungkinan terbawa angina
besar dan hilanglah kesempatan mendapatkan darah segar sebagai mangsanya.
“Mar, Reh..kamu pernah bertemu dan melihat Lestari, it
utu, ponakane paklik Mukidi, yang katane kecantikannya melebihi bidadari? Meski
yang bilang gitu juga belum pernah bertemu bidadari. Kalian Pernah ketemu?”,
Tanya Dalijo.
“Dal, kamu itu katane
mau cerita soal agama kok malah nanya Lestari,pie ta, apa hubungane
Lestari dengan agama?”, Kejar Maruta, mulai agak tidak sabar.
“Sabar ta mar, mbok
dijawab dulu”, Sergah Sareh.
“Ya belum”, Jawab Maruta.
“Dia itu, Lestari itu Mar, cantiknya memang luar biasa.
Rambutnya lurus sebahu, matanya bening, als matanya berkelopak,pipinya lesung
pipit,bibirnya tipis, dan bahunya semanpai….terus..”
“Sudah-sudah..kok malah cerita lestari ta?, ayo cerita
agama Dal…!”, sembur Maruta. Dalijo tersenyum, kemudian mengambil nafas
dalam-dalam. Udara menjadi tidak begitu dingin karena keadaan. Jari Dalijo
mengambil rokok dari saku jaket kumalnya,menyalakan korek api dan menikmatinya
dengan sangat sederhana.
“Mar, saat aku cerita tentang Lestari tadi, kamu
membayangkan seperti siapa yang kamu kenal?”, Tanya Dalijo.
“Paling seperti Juminten, malah cantikan Jumenten
jangan-jangan?”, Jawab Maruta.
“Itulah
agama itu Mar. agama adalah perjumpaan manusia, siapapun dia, dengan Sang Maha
Sejati. Perjumpaan yang sangat personal. Sang Maha Tunggal itu telah, sedang
dan akan ADA selamanya. Manusia yang berjumpa dengan DIA lalu mencoba
menjelaskannya perjumpaanya itu dengan
akal,pikiran serta Bahasa yang terbatas, tidak mungkin bisa menagkap dan
menjelaskannya dengan sempurna. Jangankan untuk Sang Illahi, sementara aku mau
menceriterakan Lestari saja tidak bisa utuh, padahal Lestari bisa aku raba…”
“Wah, kamu terlalu nekat Dal, ternyata sudah meraba
Lestari ya?”, Tanya Maruta.
“Akh..kamu selalu gitu Mar, mikirmu ya iya-iya”, Sela
Sareh dengan sangat santai. Suasana kembali senyap, Maruta ikutan mengambil
rokok dan menyalakanya. Kemudian Dalijo melanjutkan ceriteranya.
“Manusia yang berjumpa dengan Sang Illahi itu kemudian
menceriterakannya kepada yang lain, maka dari situ mulailah ada
pengingkaran,baik penambahan dan pengurangan, sehingga akan semakin bergulir
liar. Perjumpaannya dengan Sang Kekal itu, yang sangat tidak utuh itu,
diceritakan dengan Bahasa yan terbatas, sedangkan yang mendengar ceritanyapun,
menangkap dengan penuh keterbatasan pula. Maka, agama sejatinya adalah kumpulan
keterbatasan..Jadi kalau ada yang mengaku-aku sempurna, sebenarnya dia telah membohongi
diri sendiri dan telah mencoba memenjarakan Sang Illahi dalam konsep
pikirannya.” Dalijo mengahkiri ceritanya.
“Hmmm..kalau begitu, kita semua ini kumpulan orang-orang
kemaki yang sama-sama sok tahu tentang Sang Tak Terbatas itu ya Dal?”, Tanya Maruta.
“Ya…begitulah…”, Jawab Dalijo.
Malam semakin bergeser, menuju keabadiannya yang takjua
diketahui oleh semua inan, karena malam akan selalu datang dan pergi selama
semesta masih beredar. Mereka bertiga kemudian melanjutkan kisah yang lain.
Saya sendiri tidak tahu, karena mereka bercerita dengan berbisik..juga karena
saya ngantuk..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar