Selasa, 08 November 2016

AGAMA MENURUT DALIJO



Malam yang dingin, meski tidak hujan, karena langit sangat cerah. Dingin karena udara pegunungan yang penuh dengan pepohonan. Dalijo bersama dengan dua orang sahabat karibnya, Sareh dan Maruta. 
Mereka telah sepakat hendak naik ke atas bukit di sebelah rumah Dalijo. Kira-kira jam 21.30 mereka akan naik, hari itu kamis paing, waktu yang pas untuk tirakat dalam  perhitungan Jawa. Saat yang tepat untuk mendekatkan diri dengan Sang Khaliq, paling tidak untuk mereka bertiga.
“Dal, Reh, jangan lupa minuman air putihe dan juga udud’e”, Sapa Maruta,mengingatkan teman-temannya., agar tidak lupa membawa uba-rampe tirakatan malam itu.
Wedang putih kui susu Mar, meh njaluk susune sapa,anane wedang bening”, Jawab Dalijo sembari bercanda. 

Mereka tidak melanjutkan perdebatan,mereka sudah saling mengerti satu dengan yang lainnya. Jadi, perdebatan hanya aka terjadi saat pihak-pihak tidak saling memahami posisinya masing-masing, ada juga yang satu memaksakan pendapatnya ke yang lain, persis seperti anak kecil.
Pukul 21.30 tepat mereka berangkat, tidak jauh, hanya sekitar 1 km dan tidak juga mereka menggunakan kendaraan bermotor, selain jalan yang tidak memungkinkan dilalui kendaraan bermotor, mereka juga tidak punya kendaraan bermotor. Mereka berjalan dengan santai, menerobos pekat dan dinginnya malam dalam jalan setapa yang menanjak. Sangat senyap malam itu,bahkan seolah binatang malampun sedang offday, libur, bahkan untuk sekedar kentutpun
Sungguh sangat senyap. Beberapa saat kemudian mereka sampai. Langit cerah, ribuan bintang bermain di ankasa indah, dan memang selalu begitu semenjak purbakala. Keindahan yang abadi adalah keindahan malam, keindahan dalam gelap,dalam remang dan hanya seterang purnama.
“Mar, Reh, lihatlah ke atas, lihatlah bintang-bintang itu, mereka senatiasa berdamai dengan keadaan. Mereka selalu berdamai dengan diri mereka sendiri”, Maruta mengawali percakapan.
“Jarang sekali orang di jaman modern ini melihat dan menikmati bintang. Mereka sudah disibukan dengan nafsu manusiawi yang kian tak terkendali”, Sambung Sareh pelan. Mereka dududk,menatap ke segala arah. Di bawah mereka desa mereka, desa Mundu-Baran. Desa yang sungguh terpencil,namun selalu rukun dan damai penghuninya.
“Dal. Katane kamu mau cerita tentang agama, ayolah sekarang kamu cerita dan kita rasakan bersama-sama, jika mesti kita berbagi pengertian dan pemahaman, ya ayo. Mumpung kita bertiga, sudah saling mengerti sehingga kemungkinan berkonflik kecil”, Ungkap Maruta.
Lalu senyap kembali menguasahi keadaan, namun kerlip bintang di angkasa takjua mau berhenti. Saat itu  angin tak berhembus, dengung nyamuk hutan mendekati mereka, sungguh cerdas naluri nyamuk itu, mereka selalu menggunakan seberapapun kesempatan untuk mencari peluang demi bertahan hidup. Mereka menghindari tiupan angina,karena saat angina bertiup,kemungkinan terbawa angina besar dan hilanglah kesempatan mendapatkan darah segar sebagai mangsanya.
“Mar, Reh..kamu pernah bertemu dan melihat Lestari, it utu, ponakane paklik Mukidi, yang katane kecantikannya melebihi bidadari? Meski yang bilang gitu juga belum pernah bertemu bidadari. Kalian Pernah ketemu?”, Tanya Dalijo.
“Dal, kamu itu katane mau cerita soal agama kok malah nanya Lestari,pie ta, apa hubungane Lestari dengan agama?”, Kejar Maruta, mulai agak tidak sabar.
“Sabar ta mar, mbok dijawab dulu”, Sergah Sareh.
“Ya belum”, Jawab Maruta.
“Dia itu, Lestari itu Mar, cantiknya memang luar biasa. Rambutnya lurus sebahu, matanya bening, als matanya berkelopak,pipinya lesung pipit,bibirnya tipis, dan bahunya semanpai….terus..”
“Sudah-sudah..kok malah cerita lestari ta?, ayo cerita agama Dal…!”, sembur Maruta. Dalijo tersenyum, kemudian mengambil nafas dalam-dalam. Udara menjadi tidak begitu dingin karena keadaan. Jari Dalijo mengambil rokok dari saku jaket kumalnya,menyalakan korek api dan menikmatinya dengan sangat sederhana.
“Mar, saat aku cerita tentang Lestari tadi, kamu membayangkan seperti siapa yang kamu kenal?”, Tanya Dalijo.
“Paling seperti Juminten, malah cantikan Jumenten jangan-jangan?”, Jawab Maruta.
“Itulah agama itu Mar. agama adalah perjumpaan manusia, siapapun dia, dengan Sang Maha Sejati. Perjumpaan yang sangat personal. Sang Maha Tunggal itu telah, sedang dan akan ADA selamanya. Manusia yang berjumpa dengan DIA lalu mencoba menjelaskannya  perjumpaanya itu dengan akal,pikiran serta Bahasa yang terbatas, tidak mungkin bisa menagkap dan menjelaskannya dengan sempurna. Jangankan untuk Sang Illahi, sementara aku mau menceriterakan Lestari saja tidak bisa utuh, padahal Lestari bisa aku raba…”
“Wah, kamu terlalu nekat Dal, ternyata sudah meraba Lestari ya?”, Tanya Maruta.
“Akh..kamu selalu gitu Mar, mikirmu ya iya-iya”, Sela Sareh dengan sangat santai. Suasana kembali senyap, Maruta ikutan mengambil rokok dan menyalakanya. Kemudian Dalijo melanjutkan ceriteranya.
“Manusia yang berjumpa dengan Sang Illahi itu kemudian menceriterakannya kepada yang lain, maka dari situ mulailah ada pengingkaran,baik penambahan dan pengurangan, sehingga akan semakin bergulir liar. Perjumpaannya dengan Sang Kekal itu, yang sangat tidak utuh itu, diceritakan dengan Bahasa yan terbatas, sedangkan yang mendengar ceritanyapun, menangkap dengan penuh keterbatasan pula. Maka, agama sejatinya adalah kumpulan keterbatasan..Jadi kalau ada yang mengaku-aku sempurna, sebenarnya dia telah membohongi diri sendiri dan telah mencoba memenjarakan Sang Illahi dalam konsep pikirannya.” Dalijo mengahkiri ceritanya.
“Hmmm..kalau begitu, kita semua ini kumpulan orang-orang kemaki yang sama-sama sok tahu tentang Sang Tak Terbatas itu ya Dal?”, Tanya Maruta.
“Ya…begitulah…”, Jawab Dalijo.
Malam semakin bergeser, menuju keabadiannya yang takjua diketahui oleh semua inan, karena malam akan selalu datang dan pergi selama semesta masih beredar. Mereka bertiga kemudian melanjutkan kisah yang lain. Saya sendiri tidak tahu, karena mereka bercerita dengan berbisik..juga karena saya ngantuk..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH