“Jo, menurutmu pie kalau sekolahe anakku, Manuta, takkeluarke saja. Sebab aku pengen dia menjadi petani joss kaya aku. Kamu tahu kan, sejak jaman banyu sungai mengalir dari gunung sampai sekarang, bahwa leluhurku itu petani yang paling baik sendiri? Masak sekarang prestasi tani keluargaku mau disaingi Mukiyo, orang kampung sebelah itu?”, Begitu kata-kata Pakde Muringa pada suatu sore, saat Dalijo kebetulan lewat dan diminta mampir.
KUNCI BAHAGIANYA DALIJO
“Wah, yo jangan ta pakde, mesakne, kasihan Mas Manuta,
kan lagi seneng-senenge sekolah. Lagian siapa tahu cewek yang ditaksirnya tidak
mau kalau mase Manuta jadi petani. Wong mase Manuta itu pintere
ranjamak,,pinter poll, pasti banyak cewek yang naksir. Beda dengan saya yang
wajah dan kepandaian terbatas”, Jawab
Dalijo.
Memangt issu keinginan Pakde Muringa untuk mencabut
sekolah anaknya, demi melanjutkan pekerjaanya sebagai petani terkenal dan sukses
itu sudah menjadi percakapan seantero desa terpencil itu. Itu semua gara-gara prestasi pak Mukiyo, petani baru yang sukses. Dan prestasi pak
Mukiyo, dari desa itu juga, yang rumahnya di pinggir hutan membuat banyak orang sedesa kagem serta sering
memberi pujian hebat.
System pertanian yang modern dan hemat, membuat hasil
pertaniannya sungguh mengagumkan. Itu yang menjadikan pak Mukiyo menjadi
terkenal dan disenangi banyak warga desa.
Meski hampir semua senang dengan cara bertani dan
bermasyarakat pak Mukiyo, namun tidak demikian dengan Pakde Muringa, dia selalu
marah jika mendengar prestasi pak Mukiyo, dia selalu tidak terima jika system dan
model pertanian Pak Mukiyo bisa menghasilkan hasil yang banyak dan Dalijo
sangat paham, siapa pakde Muringa, pasti beliau akan marah jika nama dan
sejarahnya dikalahkan. sesuai dengan namanya, muringa yang artinya, marahlah..hehe..
“Piye Dal, kok malah mesam-mesem kaya jaran?”, Sapa Pakde
Muringa agak keras. “Apa aku salah jika mengarahkan anakku mewarisi
kehebatanku, bapaknya soal bertani?”, Lanjuta Pakde Muringa. Dalijo kaget, namun sembari usil Dalijo tersenyum dalam hati, wah..pakde ini kok nyamakan aku dengan jaran (kuda), nanti jadi gosip nasional,ada bakda Jaran..
“Wah, saya mikir pakde, dan saya ya setuju saja dengan
ide pakde. Namun apa mas Manuta bisa menjadi petani, lha wong seumur-umur belum
pernah pegang pacul, eh salah, cangkul. Nanti kalau kebalik bagaimana dhe,
megang paculnya malah bukan dorannya, namun malah mata cangkule?”, Jawab Dalijo
mencoba menyenangkan Pakde Muringa.
“Weladalah, itu soal gampang, mayar Dal, nanti aku
biayai, yang ngerjakne buruh ta ya, tapi yang memegang status tani yan si
Manuta. Jadi biar semua orang tahu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan
keluarga Muringa soal bertani”, Jawab Pakde Muringa berapi-api.
Dalijo diam, karena mau diberi pertimambangan seperti apapun, tidak mungkin mengubah pendirian pakde Muringa ini. Dan benar, dalam beberapa waktu kemudian Mas manuta
benar-benar dicabut dari sekolahnya. Dari STM terkenal di daerah itu. Manuta,
anaknya Pakde Muringa itu mulai belajar bertani. Dari sekedar jalan-jalan ke
sawah,tegal dan kebun. Dari sekedar memegang arit dan cangkul. Semua pekerjaan
petani dicoba dilakukan mas Manuta.
Orang-orang semakin bingung dan terkadang
melihat kelucuan saat Manuta menggarap sawah. Dia belum bisa mencangkul, malah
yang sudah rata ditumpuk, galengan yang sudah rapi malah diacak-acak, pokoknya
banyak kelucuan. Belum lagi saat harus mencarikan rumput sapi dan kambingnya,
karena belum paham dunia perngaritan, maka semua rumput yang nampak hijau
dibabat dan di bawa pulang, meski itu bukan makanan hewan. Pernah suatu waktu ditegor mbokde Tiyem, karena
mengambil rumput yang hewan tidak mau memakannya.
“Mas Manut, lha kok itu yang diambil?Itu hewan
tidak doyan lho mass,..”, Sapa Mbokde Tiyem. Namun Manuta tetap saja
menambilnya. Dan sesampainya di rumah, saat diberikan ke hewan piaraan,
tidakmau memakannya sama sekali.
“Ngger, anakku Manuta, jangan menyerah, kamu harus
menggantikan bapakmu, ramamu ini yang dulu menjadi petani paling top markotop
sakdesa. Jangan mundur sejengkalpun, jangan sampai kalah dengansi Mukiyo, orang
kerempeng itu. Kamu lebih kekar dan kuat. Maju, sekali maju tetap maju!”,
Begitu pakde Muringa menyemangati anaknya, si Manuta.
Manuta sebenarnya merasa berat, tani bukan dunianya,
namun karena dipaksa bapaknya, maka dia sesuai namanya, manut, ikut kehendak
bapaknya. Dia sebenarnya juga sadar bahwa prestasi bapaknya sebagai petani
tidaklah cemerlang, lha wong benih padi 5 kg Cuma panen 4 karung, padahal
seharusnya 20 karung. Namun bapaknya merasa menjadi petani paling jos gandos.
Waktu terus
bergulir dan Manuta semakin tersiksa dengan pekerjaannya. Dia sama sekali sulit
mengerti dunia pertanian, dia suka dunia elektronika. Namu karena dipaksa
bapaknya, meski sering gagal panen dan tabungan makin menipis, dia tetap
menjadi petani..
Sunguh kasihan dikau Manuta…
Catatan: Jika tidak paham kata-kata yang dicetak miring silakan cari di eyang gogel, jika masih bellum bisa silakan kontak email ini
paramithasemesta@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar