Selasa, 08 November 2016

DIPAKSA BAPAKNYA MENJADI PETANI


“Jo, menurutmu pie kalau sekolahe anakku, Manuta, takkeluarke saja. Sebab aku pengen dia menjadi petani joss kaya aku. Kamu tahu kan, sejak jaman banyu sungai mengalir dari gunung sampai sekarang, bahwa leluhurku itu petani yang paling baik sendiri? Masak sekarang prestasi tani keluargaku mau disaingi Mukiyo, orang kampung sebelah itu?”, Begitu kata-kata Pakde Muringa pada suatu sore, saat Dalijo kebetulan lewat dan diminta mampir.
KUNCI BAHAGIANYA DALIJO 
“Wah, yo jangan ta pakde, mesakne, kasihan Mas Manuta, kan lagi seneng-senenge sekolah. Lagian siapa tahu cewek yang ditaksirnya tidak mau kalau mase Manuta jadi petani. Wong mase Manuta itu pintere ranjamak,,pinter poll, pasti banyak cewek yang naksir. Beda dengan saya yang wajah dan kepandaian  terbatas”, Jawab Dalijo.

Memangt issu keinginan Pakde Muringa untuk mencabut sekolah anaknya, demi melanjutkan pekerjaanya sebagai petani terkenal dan sukses itu sudah menjadi percakapan seantero desa terpencil itu. Itu semua gara-gara prestasi pak Mukiyo, petani baru yang sukses. Dan prestasi pak Mukiyo, dari desa itu juga, yang rumahnya di pinggir hutan membuat  banyak orang sedesa kagem serta sering memberi pujian hebat. 
System pertanian yang modern dan hemat, membuat hasil pertaniannya sungguh mengagumkan. Itu yang menjadikan pak Mukiyo menjadi terkenal dan disenangi banyak warga desa.

Meski hampir semua senang dengan cara bertani dan bermasyarakat pak Mukiyo, namun tidak demikian dengan Pakde Muringa, dia selalu marah jika mendengar prestasi pak Mukiyo, dia selalu tidak terima jika system dan model pertanian Pak Mukiyo bisa menghasilkan hasil yang banyak dan Dalijo sangat paham, siapa pakde Muringa, pasti beliau akan marah jika nama dan sejarahnya dikalahkan. sesuai dengan namanya, muringa yang artinya, marahlah..hehe..

Piye Dal, kok malah mesam-mesem kaya jaran?”, Sapa Pakde Muringa agak keras. “Apa aku salah jika mengarahkan anakku mewarisi kehebatanku, bapaknya soal bertani?”, Lanjuta Pakde Muringa.  Dalijo kaget, namun sembari usil Dalijo tersenyum dalam hati, wah..pakde ini kok nyamakan aku dengan jaran (kuda), nanti jadi gosip nasional,ada bakda Jaran..

“Wah, saya mikir pakde, dan saya ya setuju saja dengan ide pakde. Namun apa mas Manuta bisa menjadi petani, lha wong seumur-umur belum pernah pegang pacul, eh salah, cangkul. Nanti kalau kebalik bagaimana dhe, megang paculnya malah bukan dorannya, namun malah mata cangkule?”, Jawab Dalijo mencoba menyenangkan Pakde Muringa.

“Weladalah, itu soal gampang, mayar Dal, nanti aku biayai, yang ngerjakne buruh ta ya, tapi yang memegang status tani yan si Manuta. Jadi biar semua orang tahu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan keluarga Muringa soal bertani”, Jawab Pakde Muringa berapi-api.

Dalijo diam, karena mau diberi pertimambangan seperti apapun, tidak mungkin mengubah pendirian pakde Muringa ini. Dan benar,  dalam beberapa waktu kemudian Mas manuta benar-benar dicabut dari sekolahnya. Dari STM terkenal di daerah itu. Manuta, anaknya Pakde Muringa itu mulai belajar bertani. Dari sekedar jalan-jalan ke sawah,tegal dan kebun. Dari sekedar memegang arit dan cangkul. Semua pekerjaan petani dicoba dilakukan mas Manuta. 

Orang-orang semakin bingung dan terkadang melihat kelucuan saat Manuta menggarap sawah. Dia belum bisa mencangkul, malah yang sudah rata ditumpuk, galengan yang sudah rapi malah diacak-acak, pokoknya banyak kelucuan. Belum lagi saat harus mencarikan rumput sapi dan kambingnya, karena belum paham dunia perngaritan, maka semua rumput yang nampak hijau dibabat dan di bawa pulang, meski itu bukan makanan hewan. Pernah suatu waktu ditegor mbokde Tiyem, karena mengambil rumput yang hewan tidak mau memakannya.

“Mas Manut, lha kok  itu yang diambil?Itu hewan tidak doyan lho mass,..”, Sapa Mbokde Tiyem. Namun Manuta tetap saja menambilnya. Dan sesampainya di rumah, saat diberikan ke hewan piaraan, tidakmau memakannya sama sekali.

Ngger, anakku Manuta, jangan menyerah, kamu harus menggantikan bapakmu, ramamu ini yang dulu menjadi petani paling top markotop sakdesa. Jangan mundur sejengkalpun, jangan sampai kalah dengansi Mukiyo, orang kerempeng itu. Kamu lebih kekar dan kuat. Maju, sekali maju tetap maju!”, Begitu pakde Muringa menyemangati anaknya, si Manuta.
Manuta sebenarnya merasa berat, tani bukan dunianya, namun karena dipaksa bapaknya, maka dia sesuai namanya, manut, ikut kehendak bapaknya. Dia sebenarnya juga sadar bahwa prestasi bapaknya sebagai petani tidaklah cemerlang, lha wong benih padi 5 kg Cuma panen 4 karung, padahal seharusnya 20 karung. Namun bapaknya merasa menjadi petani paling jos gandos.

Waktu  terus bergulir dan Manuta semakin tersiksa dengan pekerjaannya. Dia sama sekali sulit mengerti dunia pertanian, dia suka dunia elektronika. Namu karena dipaksa bapaknya, meski sering gagal panen dan tabungan makin menipis, dia tetap menjadi petani..
Sunguh kasihan dikau Manuta…

Catatan: Jika tidak paham kata-kata yang dicetak miring silakan cari di eyang gogel, jika masih bellum bisa silakan kontak email ini
paramithasemesta@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH