Senin, 21 November 2016

RUH SENGKUNI DI BUMI PERTIWI (lanjutan)



Meski agak letih karena mengikuti Sang Resi mencarikan rumput kambing-kambing peliharaannya, Dalijo merasakan bahagia tiada terkira. Keindahan alam di tempat tinggal San Resi sungguh sangat luar biasa.  Pepohonan hijau, gemericik air dan burung-burung masih banyak berseliweran dan berkicau dengan merdu, kijang masih ada, trenggiling masih juga ada. Semua sempat Dalijo jumpai sewaktu di pinggiran hutan sore tadi.

Dan setelah matahari terbenam,setelah membersihkan badan,mereka berdua, Dalijo dan Sang Resi kembali duduk santai berdua. Yang membuat Dalijo heran, saat mereka usai beraktifitas, minuman dalam poci kecil hitam dan pacitan,semacam makanan kecil, selalu siap terhidang. Entah siapa yang menyiapkannya, Dalijo tidak sempat mencari tahu. Yang Dalijo rasakan hanyalah senang sehingga tidak mencari tahu, siapa yang menghidangkan semuanya.

Semilir angin malam,menyapa suasana. Di sebuah lincak di teras rumah limasan yang sederhana itu,ada dua orang sedang duduk dengan sangat santai. Di halaman rumah itu ada pepohonan rindang. Ada pohon talok,mlinjo dan juga asem di ujung jalan,perbatasan rumah sang Resi dengan halaman rumah warga terdekat. Dalam keremangan cahaya,yang Dalijo sendiri tidak paham itu sinar apa, mereka menikmati malam dengan segala keadaanya.
 
“Bagaimana Ki Sanak Dalijo, apakah merasa lelah mengikuti aku mencarikan makan untuk kambing-kambingku sore tadi?”Sapa Sang Resi membuka percakapan.

“Tidak, sama sekali tidak. Malah saya sangat menikmati suasana. Hampir sama dengan desa asal saya ki Resi”, Jawab Dalijo.

“Yah inilah kehidupan sejati masyarakat yang tanpa kerumitan, kehidupan sederhana,bersanding dengan detak nafas alam yang mengalir sedari purbakala sampai usai semesta ini. Di sini Ki Sanak, tidak ada yang menipu,tidak ada yang mencari keuntungan sendiri. Di sini semua adalah milik bersama, sakit semua sakit,senang semua senang. Kami menjadi satu keluarga yang saling memerlukan. Kami menjaga keamanan dusun ini secara bersama-sama. Meskipun kami di desa, keyakinan kami tidak sama,kami kerbeda. Ada Pangestu, Sumarah, Saptadarma dan masih ada beberapa. Namun itu bukan penghalang bagi kami bersatu,itu urusan keyakinan, urusan pribadi masing-masing manusia dengan Sang Penciptanya”, Demikian Sang Resi mengawali pelajaran hidupnya kepada Dalijo.

Dalijo merenungi kata-kata Sang Resi. Sembari menggut-manggut, Dalijo memandingkan dalam batinnya,keberadaan di negaranya. Sungguh sangat berkebalikan. Tidak ada saling percaya,tidak ada saling menjaga,semua mencari keuntungan sendiri-sendiri. Yang kuat semakin kuat,yang lemah semakin tertindas. Masyarakat di negaranya,sudah tidak bisa saling percaya antara satu dengan yang lainnya, semua saling curiga,dan menimbulkan ketakutan yang memprihatinkan.
Udara malam kembali beringsut, menghasilkan semilir indah. Berisik suara dedaunan tertabuh angina,diikuti gemerisik beberapa daun kering yang jatuh, goyangan dedaunan yang ritmis menjadikan suasana  malam terasa indah dan menyejukkan batin.

“Ki Sanak Dalijo,aku melihat dengan mata batinku, bahwa situasi di negaramu akan sedikit gemuruh untuk beberapa waktu ke depan. Semua ada yang mendalanginya,ada yang menggerakkanya. Daya gerak itu berasal dari ambisi kotor manusia-manusia berwatak bejat. Seperti watak Ki Patih Negeri ini, Sengkuni. Selalu hanya ingin berupaya menyenangkan diri,serakah,munafik,tidak tahu malu. Di Batavia…”

Anu Ki Resi, Batavia sudah berganti nama, menjadi Jakarta”, Serobot Dalijo saat mendengar Resi itu menyebut nama Batavia. Dalam batin Dalijo agak heran, Resi yang sangat waskita ini kok tidak update info,kok masih menyebut Batavia, padahal sudah dibancaki lama menjadi Jakarta.

“Aku sudah tahu ki sanak, aslinya bernama Batavia namun penduduk aslinya tidak bisa menyebut nama itu, maka munculah nama Betawi, nama Jakarta itu juga sebutan untuk Jayakarta, namun sukanya orang sana mengubah nama-nama. Oiya Ki Sanak Dalijo, orang asli sana juga ada beberapa yang berperilaku licik. Mereka menempati  tanah yang bukan miliknya, kemudian digusur, karena mengganggu,setelah itu dibuatkan rumah lebih layak dan lebih bersih. Namun karena mentalitas, beberapa yang mendapat rmah bagus, dijual kemudian tinggal lagi di pinggiran sungai. Mereka meminta digusur,diganti rugi lagi..itulah kelicikan mereka. Jadi watak licik Sengkuni sudah mengurung jiwa-jiwa warga masyarakat di negaramu”, Lanjut Sang Resi.

Dalijo kembali tertegun, ada sebuah nuansa benar dari kata-kata Sang Resi yang sungguh sangat waskita ini. Ingin Dalijo berteriak mengingatkan saudara-saudaranya warga negaranya, namun bagaimana caranya, dia tidak tahu. Diapun tidak tahu akan bagaimana kembali dari negeri Sang Resi ini..
“Ki Sanak Dalijo, jika sudah waktunya, aku akan mengantarkanmu kembali ke negerimu..””Sapa Sang Resi. Dalijo kaget, ternyata Sang Resi bisa mengetahui apa yang dia rasa dan pikirkan..
Bagaimana cara Dalijo kembali?

Tunggu Dalijo Kembali..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH