Dalijo bangun jam setengah 5, kemudian bersiap untuk ikut acara hari ini. Beberapa kenalan barunya yang juga sama dengan dirinya,mau demo, mengajaknya sembahyang,namun Dalijo hanya tersenyum. sebuah cara menjawab yang khas orang desa. Dalijo bukannya tidak mau sembahyang, ia hanya mau sembahyang karena panggilan hatinya, bukan ajakan siapapun juga.
Waktu semakin
merambat,pagi menuju siang. Hingar-bingar ibukota semakin terasa,dan nampaknya
akan semakin riuh dengan masuknya banyak orang dari tempat lain. lautan atau tepatnya gelombang putih menghiasi sisi lain ibukota.
Saat matahari seharusnya sudah tinggi, mendung mendadak
menyelimuti ibukota,namun Dalijo tetap setia,berkemas untuk ikut beraksi. Ia kemudian
mengambil tas ranselnya, karena ia akan langsung balik ke desanya,usai
melakukan pekerjaan yang telah ia sepakati. Bersama beberapa orang, Dalijo
diangkut menuju sebuah tempat. Dalijo tidak tahu nama tempatnya,karena meski ia dinaikan mobil bak terbuka, Dalijo tidak
paham ibukota.
Sampai pada sebuah tempat, gedung megah dan indah, malah
ternyata ada dua,yang katanya dua tempat ibadah,dua agama yang berbeda. Dalijo tidak
begitu paham, yang ia tahu,banyak orang seperti dirinya, memakai seragam serba
putih. Ada yang lucu menurut Dalijo, seperti seorang ibu-ibu, memakai daster,
namun Dalijo tidak berani tertawa, takut kena apa-apa, karena wajah mereka
sangat sangar, sangat mengerikan, bahkan kepada sesame pemakai pakaian putih.
Dalijo merasa ngeri saat diajak dengan agak paksa untuk
ikut masuk ke gedung yang menurutnya tempat ibadah itu. Saat hendak menolak,mata
dan wajah mereka sontak menjadi beringas. Dalijo terpaksa ikut, untunglah
kerumunan orang yang semakin banyak sehingga membuat pengawasan terhadapnya longgar,
dan Dalijopun menyelinap ke tempat agak jauh dari tempat itu.
Di bawah pohon di pinggir jalan, Dalijo menunggu gerakan
orang banyak itu,sampai sekitar 2 jam. Setelah 2 jam berlalu, nampak gelombang
putih merayap, keluar dan seolah menuju sebuah tempat. Dalijo ikut,tak peduli
dia dengan siapa dia berada,ia ikut. Dalijo merasakan aroma semangat aneh,semangat
kebimbangan diantara gelombang massa yang serba putih itu. Saat ia sempatkan
menyapa orang di dekatnya, jawabnnya sungguh membuat Dalijo terkaget bukan
kepalang.
“Saya diajak membela Kitab Suci mas, karena katanya sudah
dihina orang”, Jawab orang itu polos, sepolos wajahnya.
“Dihina seperti apa mas?”, Tanya Dalijo.
“Ya, saya tidak tahu,pokoknya setelah dikabari bahwa
kitab suci kami dihina dan kami diajak membelanya, saya langsung siap. Apalagi biaya
dan akomodasi dijamin. Kami sedesa berangkat satu bis tiga perempat mas”,Jawab
lelaki kenalan baru Dalijo. Massa semakin bergerak, dan yang membuat Dalijo
heran, hampir semua laki-laki. Dalijo kembali berpikir, tentang penghinaan,
sebenarnya apakah penghinaan itu? Apakah jika ada yang mengatakan dirinya
ganteng, padahal dia merasa jelek,itu juga bisa dikatan penghinaan?Aaaa..Sudahlah..
Langkah massa putih itu terus merayap dan diselingi aktifitas
yang lain, ada yang letih,ada yanghaus,maka
mereka bisa istirahat dan mencari atau membeli minuman. Dalijopun demikian,
uang dari Songko, 750 ribu, 150 x tiga hari, ditambah ongkos bis PP 2x150 ribu,
telah dimilikinya. Maka Dalijopun mampir di sebuah gerobak penjual minuman. Ia,
penjual minuman itu terlihat sangat sibuk karena banyaknya pembeli yang
mengantri
.
“Yang sabar saudara-saudara semua, sabar..sabar, semua pasti saya
layani..”
Demikian sapa penjual minuman itu. Dan Dalijo menunggu
sampai sepi. Dalijo ingin melepas letihnya dengan sempurna. Dan saat sudah agak
sepi Dalijo memesan minuman.
“Wah, ramai ya mas?”, Sapa Dalijo.
“”Yahh beginilah mas.. meski ada juga yang nakal, tidak
bayar”, Jawab Penjual Minuman itu. Dalijo tercenung ternyata dibalik pakaian
yang katanya relegius itu, masih ada juga sikap-sikap dan tindakan yang tidak
bertanggungjawab.
“Ini mas…monggo diminum”, Kata penjual minuman,yang dengan
Bahasa khas ingin menunjukan asal etnisnya.
“Wah, makasih mase, matur nuwun. Kok tahu saya dari Jawa?”,
Tanya Dalijo.
“Hehe..wajah mas terlihat banget kalau dari Jawa, Solo ya
mas”?, Tanya penjual minuman.
“Iya,wah…jian paham ya mase?”, Jawab Dalijo pula.
“Kalau saja tiap hari demo kaya gini mas, pasti saya
dapat uang banyak”, Kata penjual jamu itu. Dalijo kaget. Ternyata, ada juga
yang mengais untung dari situasi seperti ini. Di sisi lain, banyak yang kuatir
dan ketakutan,namun di sisi berbeda, ada yang tersenyum, karena bisa mengeruk
harta. Dalijo tersenyum sendiri, karena dirinyapun mengambil keuntungan dari
demo 4 november ini..
Dalijo tidak melanjutkan ikut pawai,ia hendak menuju
terminal, ia ingin segera pulang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar