Jumat, 04 November 2016

CATATAN DALIJO DI IBUKOTA II


Dalijo bangun jam setengah 5, kemudian bersiap untuk ikut acara hari ini. Beberapa kenalan barunya yang juga sama dengan dirinya,mau demo, mengajaknya sembahyang,namun Dalijo hanya tersenyum. sebuah cara menjawab yang khas orang desa. Dalijo bukannya tidak mau sembahyang, ia hanya  mau sembahyang karena panggilan hatinya, bukan ajakan siapapun juga.
Waktu semakin merambat,pagi menuju siang. Hingar-bingar ibukota semakin terasa,dan nampaknya akan semakin riuh dengan masuknya banyak orang dari tempat lain. lautan atau tepatnya gelombang putih menghiasi sisi lain ibukota.

Saat matahari seharusnya sudah tinggi, mendung mendadak menyelimuti ibukota,namun Dalijo tetap setia,berkemas untuk ikut beraksi. Ia kemudian mengambil tas ranselnya, karena ia akan langsung balik ke desanya,usai melakukan pekerjaan yang telah ia sepakati. Bersama beberapa orang, Dalijo diangkut menuju sebuah tempat. Dalijo tidak tahu nama tempatnya,karena meski  ia dinaikan mobil bak terbuka, Dalijo tidak paham ibukota.

Sampai pada sebuah tempat, gedung megah dan indah, malah ternyata ada dua,yang katanya dua tempat ibadah,dua agama yang berbeda. Dalijo tidak begitu paham, yang ia tahu,banyak orang seperti dirinya, memakai seragam serba putih. Ada yang lucu menurut Dalijo, seperti seorang ibu-ibu, memakai daster, namun Dalijo tidak berani tertawa, takut kena apa-apa, karena wajah mereka sangat sangar, sangat mengerikan, bahkan kepada sesame pemakai pakaian putih.

Dalijo merasa ngeri saat diajak dengan agak paksa untuk ikut masuk ke gedung yang menurutnya tempat ibadah itu. Saat hendak menolak,mata dan wajah mereka sontak menjadi beringas. Dalijo terpaksa ikut, untunglah kerumunan orang yang semakin banyak sehingga membuat pengawasan terhadapnya longgar, dan Dalijopun menyelinap ke tempat agak jauh dari tempat itu.

Di bawah pohon di pinggir jalan, Dalijo menunggu gerakan orang banyak itu,sampai sekitar 2 jam. Setelah 2 jam berlalu, nampak gelombang putih merayap, keluar dan seolah menuju sebuah tempat. Dalijo ikut,tak peduli dia dengan siapa dia berada,ia ikut. Dalijo merasakan aroma semangat aneh,semangat kebimbangan diantara gelombang massa yang serba putih itu. Saat ia sempatkan menyapa orang di dekatnya, jawabnnya sungguh membuat Dalijo terkaget bukan kepalang.

“Saya diajak membela Kitab Suci mas, karena katanya sudah dihina orang”, Jawab orang itu polos, sepolos wajahnya.
“Dihina seperti apa mas?”, Tanya Dalijo.
“Ya, saya tidak tahu,pokoknya setelah dikabari bahwa kitab suci kami dihina dan kami diajak membelanya, saya langsung siap. Apalagi biaya dan akomodasi dijamin. Kami sedesa berangkat satu bis tiga perempat mas”,Jawab lelaki kenalan baru Dalijo. Massa semakin bergerak, dan yang membuat Dalijo heran, hampir semua laki-laki. Dalijo kembali berpikir, tentang penghinaan, sebenarnya apakah penghinaan itu? Apakah jika ada yang mengatakan dirinya ganteng, padahal dia merasa jelek,itu juga bisa dikatan penghinaan?Aaaa..Sudahlah..

Langkah massa putih itu terus merayap dan diselingi aktifitas yang lain, ada yang  letih,ada yanghaus,maka mereka bisa istirahat dan mencari atau membeli minuman. Dalijopun demikian, uang dari Songko, 750 ribu, 150 x tiga hari, ditambah ongkos bis PP 2x150 ribu, telah dimilikinya. Maka Dalijopun mampir di sebuah gerobak penjual minuman. Ia, penjual minuman itu terlihat sangat sibuk karena banyaknya pembeli yang mengantri
.
“Yang sabar saudara-saudara  semua, sabar..sabar, semua pasti saya layani..”
Demikian sapa penjual minuman itu. Dan Dalijo menunggu sampai sepi. Dalijo ingin melepas letihnya dengan sempurna. Dan saat sudah agak sepi Dalijo memesan minuman.
“Wah, ramai ya mas?”, Sapa Dalijo.
“”Yahh beginilah mas.. meski ada juga yang nakal, tidak bayar”, Jawab Penjual Minuman itu. Dalijo tercenung ternyata dibalik pakaian yang katanya relegius itu, masih ada juga sikap-sikap dan tindakan yang tidak bertanggungjawab.
“Ini mas…monggo diminum”, Kata penjual minuman,yang dengan Bahasa khas ingin menunjukan asal etnisnya.
“Wah, makasih mase, matur nuwun. Kok tahu saya dari Jawa?”, Tanya Dalijo.
“Hehe..wajah mas terlihat banget kalau dari Jawa, Solo ya mas”?, Tanya penjual minuman.
“Iya,wah…jian paham ya mase?”, Jawab Dalijo pula.

“Kalau saja tiap hari demo kaya gini mas, pasti saya dapat uang banyak”, Kata penjual jamu itu. Dalijo kaget. Ternyata, ada juga yang mengais untung dari situasi seperti ini. Di sisi lain, banyak yang kuatir dan ketakutan,namun di sisi berbeda, ada yang tersenyum, karena bisa mengeruk harta. Dalijo tersenyum sendiri, karena dirinyapun mengambil keuntungan dari demo 4 november ini..

Dalijo tidak melanjutkan ikut pawai,ia hendak menuju terminal, ia ingin segera pulang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH