Rabu, 30 November 2016

SI PENCARI IKAN



Hujan dan kabut malam kembali menjadi sahabatku. Kabar duka dari kerabat di kampung halamanku membuatku memutuskan mengunjungi kerabat yang berduka,bersama keluarga. Usai siang, saat gelap mulai menutupi semesta, kami mengawali perjalanan, setelah menghampiri kerabat di kota tinggal kami. Perjalanan lancar,lalu lintas juga lancar.
Sisa-sisa banjir di selatan kota Solo masih jelas kuliat bahkan kulewati, dan saat melintasi jembatan perbatasa solo dan kota sebelah selatannya, arus air nampak sangat dekat dengan jembatan. Melepaskan lapar di perbatasan Sukoharjo Wonogiri, juga dalam rintik hujan,kami lanjut menuju pegunungan seribu. Selepas kota kabupaten ujung tenggara Jawa Tengah, kami memasuki perjalanan malam penuh tantanan. Diantara gerimis dan kabut,kami menerjang malam,menembus hujan. Ada nimat tersendiri,sementara mantan pacar terlelap bersama anak-anak, aku menikmati perjalanan dengan sederhana.

Selepas “gunung bedah”, kami mulai menyisir waduk gajah mungkur,wajah teduh dan ceria air tak terlihat saat malam,justru seram yang nampak. Namun aku takjua menikmati karena konsentrasi ke jalan dengan segala dinamikanya. Kelokan-kelokan jalan,serta kenangan akan suatu waktu,saat masih muda dulu,menjadikan kantukpun sirna. Ingat saat dulu naik bus,sepulang sekolah,saat menanti seseorang,menjadikan terkadang tersenyum sendiri. Dan juga teringat seseorang yang sampai aku tulus ini, sampai aku beranak tiga, masih sendiri. Akh.. entahlah..andai dia membaca tulisan ini,kuharap tidaklah marah,karena semua salahku..

Belok kanan dari jalan propinsi,menuju kampung kecilku. Jalanan sudah diaspal,beda dengan saat aku esde dahulu. Lampu setiap depan rumah ada,dan pos kamling itu,sudah sangat modern. Lepas kampung pinggir jalan propinsi,kami menerobos hutan perbukitan seribu, memasuki waduk kecil yang penuh air,dan di waduk itu dulu kami sering mencari ikan,memancing.

Ada kerlip lampu di pinggiran waduk,kupikir mereka pencari ikan. Sat mendekati ujung waduk,kami menemukan beberapa kendaraan bermotor roda dua,jumlahnya ada enam terparkir tanpa terkunci,menandakan betapa amannya daerah kami. Mendadak muncul seseorang,saat aku sudah menghentikan kendaraan. Kusapa dan dijawab dengan senyum.

“Pora adem bengi-bengi terut kedung?” (Apa tidak dingin malam-malam di waduk).Sapa dalam tanyaku.
“Abot-abote nguripi anak bojo…”(Demi anak dan istri). Jawabnya santai dan ramah.

Kemudian kami sempat bercakapan empat sampai lima kalimat, kemudian kami berpisah. Kami kembali menuju desa di atas waduk,menuju keluarga yang berduka,berkabung. Namun perbincangan sejenak ini,mengajariku tentang hidup,tantangan,perjuangan dan kesetiaan serta kebranian. Malam,dingin,gelap,bahaya,adalah bagian dari sebuah nyanyian lagu kehidupan, yang mesti dinyanyikan dengan sempurna.
Dari perjumpaanku dengan sahabat lama di kampung,aku bisa belajar tentang hidup dan tanggungjawab lebih dalam dan sederhana. Bahwasemua pastilah ada “harga” yang mesti dibayar. Selamat melanjutkan karya kawan..suatu saat kita bercengkerama kembali..

Salam buat ikan dan udang di waduk itu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH