Hujan dan kabut malam kembali menjadi sahabatku. Kabar duka
dari kerabat di kampung halamanku membuatku memutuskan mengunjungi kerabat yang
berduka,bersama keluarga. Usai siang, saat gelap mulai menutupi semesta, kami
mengawali perjalanan, setelah menghampiri kerabat di kota tinggal kami. Perjalanan
lancar,lalu lintas juga lancar.
Sisa-sisa banjir di selatan kota Solo masih jelas kuliat
bahkan kulewati, dan saat melintasi jembatan perbatasa solo dan kota sebelah
selatannya, arus air nampak sangat dekat dengan jembatan. Melepaskan lapar di
perbatasan Sukoharjo Wonogiri, juga dalam rintik hujan,kami lanjut menuju
pegunungan seribu. Selepas kota kabupaten ujung tenggara Jawa Tengah, kami
memasuki perjalanan malam penuh tantanan. Diantara gerimis dan kabut,kami
menerjang malam,menembus hujan. Ada nimat tersendiri,sementara mantan pacar
terlelap bersama anak-anak, aku menikmati perjalanan dengan sederhana.
Selepas “gunung bedah”, kami mulai menyisir waduk gajah
mungkur,wajah teduh dan ceria air tak terlihat saat malam,justru seram yang
nampak. Namun aku takjua menikmati karena konsentrasi ke jalan dengan segala
dinamikanya. Kelokan-kelokan jalan,serta kenangan akan suatu waktu,saat masih
muda dulu,menjadikan kantukpun sirna. Ingat saat dulu naik bus,sepulang
sekolah,saat menanti seseorang,menjadikan terkadang tersenyum sendiri. Dan juga
teringat seseorang yang sampai aku tulus ini, sampai aku beranak tiga, masih
sendiri. Akh.. entahlah..andai dia membaca tulisan ini,kuharap tidaklah
marah,karena semua salahku..
Belok kanan dari jalan propinsi,menuju kampung kecilku. Jalanan
sudah diaspal,beda dengan saat aku esde dahulu. Lampu setiap depan rumah
ada,dan pos kamling itu,sudah sangat modern. Lepas kampung pinggir jalan
propinsi,kami menerobos hutan perbukitan seribu, memasuki waduk kecil yang
penuh air,dan di waduk itu dulu kami sering mencari ikan,memancing.
Ada kerlip lampu di pinggiran waduk,kupikir mereka pencari
ikan. Sat mendekati ujung waduk,kami menemukan beberapa kendaraan bermotor roda
dua,jumlahnya ada enam terparkir tanpa terkunci,menandakan betapa amannya
daerah kami. Mendadak muncul seseorang,saat aku sudah menghentikan kendaraan. Kusapa
dan dijawab dengan senyum.
“Pora adem bengi-bengi terut kedung?” (Apa tidak dingin
malam-malam di waduk).Sapa dalam tanyaku.
“Abot-abote nguripi anak bojo…”(Demi anak dan istri). Jawabnya santai dan ramah.
Kemudian
kami sempat bercakapan empat sampai lima kalimat, kemudian kami berpisah. Kami kembali
menuju desa di atas waduk,menuju keluarga yang berduka,berkabung. Namun perbincangan
sejenak ini,mengajariku tentang hidup,tantangan,perjuangan dan kesetiaan serta
kebranian. Malam,dingin,gelap,bahaya,adalah bagian dari sebuah nyanyian lagu
kehidupan, yang mesti dinyanyikan dengan sempurna.
Dari perjumpaanku dengan sahabat lama di kampung,aku bisa
belajar tentang hidup dan tanggungjawab lebih dalam dan sederhana. Bahwasemua pastilah
ada “harga” yang mesti dibayar. Selamat melanjutkan karya kawan..suatu saat
kita bercengkerama kembali..
Salam buat ikan dan udang di waduk itu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar