Tanah Jakarta sedang menangis tersayat, meraung pilu. Tanah
ini, bumi pertiwi ini sudah penuh dengan darah anak-anak bangsa yang tertumpah.
Darah yang tertumpa karena amarah,karena serakah. Darah yang tertumpak karena
ambisi pribadi,karena nafsu yang lebih hewani daripada hewan itu sendiri.
Jakarta, aku melihatmu dari jauh,dan yang aku lihat
adalah merah darah yang tertumpah. Tanah yang suci itu telah terlumuri oleh
darah anak-anakmu sendiri yang gemar berperang demi kepuasan pribadi,demi
ambisi pribadi, gemar membacok,menebas,menyabit demi keyakinan yang keliru. Darah
yang membasahimu semakin deras mengalir,dari sudut kota sampai pusat kota,darah
mengalir deras. Kau basah,kau lelah namun manusia, seperti kami ini, sudah tuli
pendengarannya, sudah buta mata kehidupan kami.
Dalam pendengaran kami,yang ada hanya ambisi, kekuasaan
dan semuanya itu digerakkan oleh uang. Uang, maafkan kami, bukan kau yang salah
tapi nafsu kami manusia ini yang menjadikanmu tuhan atas kehidupan kami. Di mata
kami, kau lebih terang daripada sahabat,kemanusiaan dan bahkan nyawa sesama kami.
Uang, saat kau dipeluk ambisi dan kekuasaan, maka wajahmu menjadi indah menarik
namun ternyata di balik punggungmu, ada belati bercun yang bernama kekuasaan.
Dan kini, kekuasaan, uang dan ambisi itu telah menyatu
dalam angkara, dalam merah darah yang membungkus tanah Jakarta. Dendam kesumat dan ambisi menjadikan anyir darah beraroma
sirup yang senantiasa ditegug dalam kebuasan ambisi. Anyir darah justru menjadi
bahan bakar yang membakar ambisi keserakahan.
Jakarta, dirimu talah dibanjiri darah. Darah anak-anak,darah ketulusan,
darah pengabdian,darah kejujuran,semua sudah tertumpah dan mengaliri tubuhmu
yang sejatinya molek.
Sudah tidak ada cinta di Jakarta, semuanya adalah benci. Mereka,
dan bahkan mungkin kita, justru sering memoles benci dan kebencian itu dengan
cinta, dan smeua tertipu. Banjir darah di Jakarta telah melukai tanah yang
sejatinya adalah suci. Tanah adalah alatNya, alat Sang Kehidupan memberi hidup
kepada semua titahNya. Namun justru tanah Jakarta, telah menjadi Palagan Kurusetra
baru di mana membantai dan dibantai malah menjadi kebanggan.
Jika darah masih mengalir di Jakarta dan tidak ada upaya
memulihkan cinta di sana, maka kehancuran akan semakin cepat. Dalam situasi
seperti ini, kitalah,manusia ini (yang bukan manusia ya maaf saja) yang
memiliki tugas dan tangungjawab memulihkan semuanya. Mengembalikan cinta,
menghapus darah di tanah Jakarta. Cinta kehidupan menjadi syarat mutlak
pulihnya keidupan itu sendiri.
Wahai cinta yang sejati ,pulanglah dalam kehidupan kami,
kembalilah dalam nafas dan nadi kami. Pulihkan kami dengan senyum iklasmu,
pulihkan kami dengan riang ceriamu,pulihkan kami yang sudah terlalu letih
dengan cinta palsu ini. Pulihkan luka-luka kami,batin kami,jiwa kami,nurani
kami. Wahai cinta, basuhlah muka kami dengan kelembutanmu sehingga kami semua tersadar,
dan kembali dari petualangan penuh darah ini. Petualangan ambisi yang melukai
kehidupan itu sendiri.
Jakarta, semoga darah yang mengaliri tubuhmu segera
berhenti dan ibu pertiwi tidak semakin pilu namun kembali tersenyum saat
anak-anaknya membasuh darah dan luka dengan cinta kehidupan yang sejati. Jakarta,
kau butuh cinta yang tulus dari kami semua, bukan cinta yang penuh
keserakahan..
Jakarta, tegarlah kau menghadapi semua ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar