Selasa, 15 November 2016

BANJIR DARAH DI TANAH JAKARTA



Tanah Jakarta sedang menangis tersayat, meraung pilu. Tanah ini, bumi pertiwi ini sudah penuh dengan darah anak-anak bangsa yang tertumpah. Darah yang tertumpa karena amarah,karena serakah. Darah yang tertumpak karena ambisi pribadi,karena nafsu yang lebih hewani daripada hewan itu sendiri.

Jakarta, aku melihatmu dari jauh,dan yang aku lihat adalah merah darah yang tertumpah. Tanah yang suci itu telah terlumuri oleh darah anak-anakmu sendiri yang gemar berperang demi kepuasan pribadi,demi ambisi pribadi, gemar membacok,menebas,menyabit demi keyakinan yang keliru. Darah yang membasahimu semakin deras mengalir,dari sudut kota sampai pusat kota,darah mengalir deras. Kau basah,kau lelah namun manusia, seperti kami ini, sudah tuli pendengarannya, sudah buta mata kehidupan kami.

Dalam pendengaran kami,yang ada hanya ambisi, kekuasaan dan semuanya itu digerakkan oleh uang. Uang, maafkan kami, bukan kau yang salah tapi nafsu kami manusia ini yang menjadikanmu tuhan atas kehidupan kami. Di mata kami, kau lebih terang daripada sahabat,kemanusiaan dan bahkan nyawa sesama kami. Uang, saat kau dipeluk ambisi dan kekuasaan, maka wajahmu menjadi indah menarik namun ternyata di balik punggungmu, ada belati bercun yang bernama kekuasaan.

Dan kini, kekuasaan, uang dan ambisi itu telah menyatu dalam angkara, dalam merah darah yang membungkus tanah Jakarta. Dendam kesumat  dan ambisi menjadikan anyir darah beraroma sirup yang senantiasa ditegug dalam kebuasan ambisi. Anyir darah justru menjadi bahan bakar yang membakar ambisi keserakahan.  Jakarta, dirimu talah dibanjiri darah. Darah anak-anak,darah ketulusan, darah pengabdian,darah kejujuran,semua sudah tertumpah dan mengaliri tubuhmu yang sejatinya molek.

Sudah tidak ada cinta di Jakarta, semuanya adalah benci. Mereka, dan bahkan mungkin kita, justru sering memoles benci dan kebencian itu dengan cinta, dan smeua tertipu. Banjir darah di Jakarta telah melukai tanah yang sejatinya adalah suci. Tanah adalah alatNya, alat Sang Kehidupan memberi hidup kepada semua titahNya. Namun justru tanah Jakarta, telah menjadi Palagan Kurusetra baru di mana membantai dan dibantai malah menjadi kebanggan.
Jika darah masih mengalir di Jakarta dan tidak ada upaya memulihkan cinta di sana, maka kehancuran akan semakin cepat. Dalam situasi seperti ini, kitalah,manusia ini (yang bukan manusia ya maaf saja) yang memiliki tugas dan tangungjawab memulihkan semuanya. Mengembalikan cinta, menghapus darah di tanah Jakarta. Cinta kehidupan menjadi syarat mutlak pulihnya keidupan itu sendiri.

Wahai cinta yang sejati ,pulanglah dalam kehidupan kami, kembalilah dalam nafas dan nadi kami. Pulihkan kami dengan senyum iklasmu, pulihkan kami dengan riang ceriamu,pulihkan kami yang sudah terlalu letih dengan cinta palsu ini. Pulihkan luka-luka kami,batin kami,jiwa kami,nurani kami. Wahai cinta, basuhlah muka kami dengan kelembutanmu sehingga kami semua tersadar, dan kembali dari petualangan penuh darah ini. Petualangan ambisi yang melukai kehidupan itu sendiri.

Jakarta, semoga darah yang mengaliri tubuhmu segera berhenti dan ibu pertiwi tidak semakin pilu namun kembali tersenyum saat anak-anaknya membasuh darah dan luka dengan cinta kehidupan yang sejati. Jakarta, kau butuh cinta yang tulus dari kami semua, bukan cinta yang penuh keserakahan..
Jakarta, tegarlah kau menghadapi semua ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH