“Kamu jangan terlalu gelisah Nak Dalijo, aku akan
memberimu banyak informasi penting untuk keamanan negerimu, berdasarkan
pengalamanku hidup sejaman dengan Patih Sengkuni”, Demikian Sang Resi
memberikan penguatan kepada Dalijo yang nampak gelisah. Malam itu mereka
melanjutkan pebincangan dengan lebih santai, karena Dalijo sudah nampak lebih
tenang.
“Patih Sengkuni tdak akan pernah senang dengan
keberhasilan pihak yang tidak disukainya. Patih itu juga sangat licik, namun
sejatinya dia sangat pengecut. Pernah suatu kali dalam sejarah bangsa kami, Patih
Sengkuni berlagak seorang yang gagah berani, karena melihat lawan tidak ada
yang dia segani, namun saat kemudian muncul Bima, putra tengah Kunthi, pucat
pasilah wajah Sengkuni."
Kelicikan sifat Sengkuni seolah abadi, dia tidak akan
pernah merasa kapok meski berulangkali terbentur pesoalan berat, berulang kali
dipermalukan. Sepertinya jiwa atau ruh Sengkuni memang sengaja dihadirkan untuk
keseimbangan. Keseimbangan benar dan salah, keseimbangan ksatria dan pengecut.”
Sang Resi berujar dengan penuh kewibawaan. Semestara Dalijo mendengar dengan
serius sambil sesekali mengambil kimpul
godog yang sudah tersedia,setelah dia kembali dari jamban samping rumah limasan
di padepokan itu.
Malam semakin beringsut menuju puncaknya. Kerlip bintang
diangkasa menghias cakrawala malam,beberapa kalong dan sebangsanya, berebut
buah talok di sebelah timur rumah limasan itu, mereka berebut namun sekedar
berebut. Setelah dimiliki oleh salah satu kalong, yang lain tidak ingin
merampasnya, berbeda dengan manusia, selalu ingin merampas, merampok dan sering
dengan kelicikan sempurna, melukai yang sudah memiliki.
“Nak Dalijo, ruh Sengkuni sedang berjuang menguasai
negerimu. Dia hadir bukan dalam sosok yang tampil di depan sebagai panglima. Dia
hanya sebagai penggerak. Seperti jati dirinya dalam sejarah negeri kami, dia
pengecut. Begitu juga dengan situasi di negerimu. Ruh Sengkuni itu sangat, amat
sangat licik. Aku melihat dengan mata batinku. Dia sengaja mengadu masyarakatmu.
Ruh itu memecah belah. Di satu sisi dia mengatakan sebagian pemimpin agama ini
salah, kemudian dihujat namun diplain waktu, dia menghembusi pihak lain, bahwa
pihak seberangpun salah. Akhirnya timbul saling hujat, dan kemudian kedua pihak
dilihat masyarakat salah semua. Tokoh agama diadu domba, dibenturkan sehingga
hilang wibawanya,dan kehilangan kendali masyarakat. Itu strategi ruh Sengkuni
Nak….” Sang Resi menghentikan ceriteranya, karena nampak tersengal. Ada luapan
emosi tertahan dari sorot mata dalam temaram malam, dan juga nafas yang
memburu. Seolah ada daya dobrak dendam yang bergemuruh di detak jantung Sang
Resi.
Dalijo termenung, ada sebaris kuatir melintas di wajah
lugunya. Rambutnjya yang tidak lurus namun juga tidak kribo, nampak dia
pegangi, sepertinya memikirkan sesuatu. Diambilnyalah sesuatu dari sakunya,
namun tidak ada. dalijo kebingunan, sampai
kemudian Sang Resi menegornya.
“Ki Sanak, rokokmu habis?Ini pakai saja cerutuku,khas
negeriku. Cobalah untuk menemani obrolan kita mala mini”, Sapa Sang Resi. Dan Dalijo
segera mengambil cerutu di atas meja itu, menyalakan korak unik milik sang
Resi, menghisapnya dengan lega..
“Ki Sanak, kamu punya tugas, beri pengertian
masyarakatmu,di negerimu dengan caramu. Mata batinku malihat, kamu meski
sederhana suka menulis. Tulislah pesanku ini supaya dibaca orang. Biarlah dengan
membaca tulisanmu, banyak yang tersadar bahwa kalian sedang diadu oleh sosok
yang sedang dikuasai ruh Sengkuni. Sadarkan masyarakatmu untuk terbiasa
berpikir jauh, tidak hanya sesaat. Jangan hanya karena dibayar 450 ribu sampai
500 ribu, mau disuruh bengak-bengok di jalan-jalan,mau diberi seragam suci
namun jiwanya kotor. Sadarkan ituKi sanak. Aku tidak ingin kehancuran Astina,
negeriku, terulang hanya karena ambisi picik Sengkuni. Dan di negerimu,
kehancuran itu sedang mengancam. Kekuatan di balik layar sangat kuat. Dia yang
menggerakan gelombang, namun jangan terkecoh dengan gelombangnya, lihatlah
dengan mata batinmu, bahwa justru di belakang gelombang itulah kekuatan yang
sebenarnya…”
“Ki Resi, apakah ki Resi bisa menjelaskan kepada saya
siapakah sosok di balik semua ini? Apakah itu sososk yang pernah menjadi orang
penting di negeri kami? Karena kasak-kusuk yang berhembus, semua mengarah ke
sosok itu?”, Dalijo memberanikan diri bertanya menunjuk sesosok tokoh.
“Nak, itu tugasmu, tugasku hanyalah memberi petunjuk,
memberi sasmita…nanti sepulangmu dari padepokanku ini, ceriterakan kepada
bangsamu akan pesanku ini. Biarlah mereka yang membaca dan menemukan sosok itu…”,
Sang Resi menjawab dengan bijak dan kemudian, bergegas menuju ke dalam bilik. Dalijo
termenung, dia tidak mengerti apa yang sedang dikerjakan Sang Resi..
bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar