Kamis, 24 November 2016

RUH SENGKUNI DI BUMI PERTIWI (III)



“Kamu jangan terlalu gelisah Nak Dalijo, aku akan memberimu banyak informasi penting untuk keamanan negerimu, berdasarkan pengalamanku hidup sejaman dengan Patih Sengkuni”, Demikian Sang Resi memberikan penguatan kepada Dalijo yang nampak gelisah. Malam itu mereka melanjutkan pebincangan dengan lebih santai, karena Dalijo sudah nampak lebih tenang.
“Patih Sengkuni tdak akan pernah senang dengan keberhasilan pihak yang tidak disukainya. Patih itu juga sangat licik, namun sejatinya dia sangat pengecut. Pernah suatu kali dalam sejarah bangsa kami, Patih Sengkuni berlagak seorang yang gagah berani, karena melihat lawan tidak ada yang dia segani, namun saat kemudian muncul Bima, putra tengah Kunthi, pucat pasilah wajah Sengkuni."
Kelicikan sifat Sengkuni seolah abadi, dia tidak akan pernah merasa kapok meski berulangkali terbentur pesoalan berat, berulang kali dipermalukan. Sepertinya jiwa atau ruh Sengkuni memang sengaja dihadirkan untuk keseimbangan. Keseimbangan benar dan salah, keseimbangan ksatria dan pengecut.” Sang Resi berujar dengan penuh kewibawaan. Semestara Dalijo mendengar dengan serius sambil sesekali  mengambil kimpul godog yang sudah tersedia,setelah dia kembali dari jamban samping rumah limasan di padepokan itu.

Malam semakin beringsut menuju puncaknya. Kerlip bintang diangkasa menghias cakrawala malam,beberapa kalong dan sebangsanya, berebut buah talok di sebelah timur rumah limasan itu, mereka berebut namun sekedar berebut. Setelah dimiliki oleh salah satu kalong, yang lain tidak ingin merampasnya, berbeda dengan manusia, selalu ingin merampas, merampok dan sering dengan kelicikan sempurna, melukai yang sudah memiliki.

“Nak Dalijo, ruh Sengkuni sedang berjuang menguasai negerimu. Dia hadir bukan dalam sosok yang tampil di depan sebagai panglima. Dia hanya sebagai penggerak. Seperti jati dirinya dalam sejarah negeri kami, dia pengecut. Begitu juga dengan situasi di negerimu. Ruh Sengkuni itu sangat, amat sangat licik. Aku melihat dengan mata batinku. Dia sengaja mengadu masyarakatmu. Ruh itu memecah belah. Di satu sisi dia mengatakan sebagian pemimpin agama ini salah, kemudian dihujat namun diplain waktu, dia menghembusi pihak lain, bahwa pihak seberangpun salah. Akhirnya timbul saling hujat, dan kemudian kedua pihak dilihat masyarakat salah semua. Tokoh agama diadu domba, dibenturkan sehingga hilang wibawanya,dan kehilangan kendali masyarakat. Itu strategi ruh Sengkuni Nak….” Sang Resi menghentikan ceriteranya, karena nampak tersengal. Ada luapan emosi tertahan dari sorot mata dalam temaram malam, dan juga nafas yang memburu. Seolah ada daya dobrak dendam yang bergemuruh di detak jantung Sang Resi.

Dalijo termenung, ada sebaris kuatir melintas di wajah lugunya. Rambutnjya yang tidak lurus namun juga tidak kribo, nampak dia pegangi, sepertinya memikirkan sesuatu. Diambilnyalah sesuatu dari sakunya, namun tidak ada. dalijo kebingunan, sampai  kemudian Sang Resi menegornya.

“Ki Sanak, rokokmu habis?Ini pakai saja cerutuku,khas negeriku. Cobalah untuk menemani obrolan kita mala mini”, Sapa Sang Resi. Dan Dalijo segera mengambil cerutu di atas meja itu, menyalakan korak unik milik sang Resi, menghisapnya dengan lega..

“Ki Sanak, kamu punya tugas, beri pengertian masyarakatmu,di negerimu dengan caramu. Mata batinku malihat, kamu meski sederhana suka menulis. Tulislah pesanku ini supaya dibaca orang. Biarlah dengan membaca tulisanmu, banyak yang tersadar bahwa kalian sedang diadu oleh sosok yang sedang dikuasai ruh Sengkuni. Sadarkan masyarakatmu untuk terbiasa berpikir jauh, tidak hanya sesaat. Jangan hanya karena dibayar 450 ribu sampai 500 ribu, mau disuruh bengak-bengok di jalan-jalan,mau diberi seragam suci namun jiwanya kotor. Sadarkan ituKi sanak. Aku tidak ingin kehancuran Astina, negeriku, terulang hanya karena ambisi picik Sengkuni. Dan di negerimu, kehancuran itu sedang mengancam. Kekuatan di balik layar sangat kuat. Dia yang menggerakan gelombang, namun jangan terkecoh dengan gelombangnya, lihatlah dengan mata batinmu, bahwa justru di belakang gelombang itulah kekuatan yang sebenarnya…”
“Ki Resi, apakah ki Resi bisa menjelaskan kepada saya siapakah sosok di balik semua ini? Apakah itu sososk yang pernah menjadi orang penting di negeri kami? Karena kasak-kusuk yang berhembus, semua mengarah ke sosok itu?”, Dalijo memberanikan diri bertanya menunjuk sesosok tokoh.

“Nak, itu tugasmu, tugasku hanyalah memberi petunjuk, memberi sasmita…nanti sepulangmu dari padepokanku ini, ceriterakan kepada bangsamu akan pesanku ini. Biarlah mereka yang membaca dan menemukan sosok itu…”, Sang Resi menjawab dengan bijak dan kemudian, bergegas menuju ke dalam bilik. Dalijo termenung, dia tidak mengerti apa yang sedang dikerjakan Sang Resi..

bersambung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH