SULITNYA
MERUBAH PANDANGAN HIDUP
“Sekolah sing pinter ngger, ngko yen Lulus gek
neng kutha” (Sekolah yang pinter nak,nanti setelah lulus segera pergi ke kota).
Itulah sepenggal kalimat yang masih sering (atau bahkan selalu ya?) muncul dalam
percakapan orang tua di kampung kepada anak-anaknya. Bagi mereka, kota adalah
surga, bagi merek kota adalah tambang uang dan desa adalah kehinaan,kampung
adalah lambang gengsi terendah dalam konsep berpikir mereka. Bagi mereka
pekerjaan bertani bukanlah kebanggaan,melainkan kehinaan.
“Rasah rekasa kaya wongtua” (Tidak usahlah bekerja
berat dan kotor seperti kami para orang tua), itu juga kemudian yang muncul
dalam percakapan yang sejatinya adalah cerminan paradigma berpikir. Bagi mereka,
orang desa bertani adalah kehinaan,lumpur yang kotor adalah benda yang
menjijikan dan musti dihindari. Dalam benak
mereka yang ada adalah kota dengan semua indah mimpi. Tentang kemewahan,tentang
makanan,tentang fasilitas,tentang kemegahan dan tentu saja tentang uang. Angan kegagalan
mereka simpan jauh-jauh, persaingan brutal mereka usir,nyawa dan darah demi
selembar uang juga mereka tepikan. Kota adalah surga bagi mereka.
Akibat dari ploa berpikir yang demikian, ada
korban maha dasyat yang terjadi. Kota menumpuk manusia,berjejal seperti laron
mendekati lampu,sementara di desa, di kampung,sepi mencekam. Sawah ladang
menagis menunggu sentuhan cinta kasih,rumah-rumah perlahan menghilang
tergantikan pepohonan liar. Itu realita,kenyataan yang taktersentuh oleh
siapapun. Pemerintah atau anggota depe er?Tidak mungkinlah,itu bukan proyek
bergelimang uang, bagi mereka lebih bangga beradu otot dan gaya di ruang
parleman. Presiden?akh,,,setali tiga uang, sama saja. Lembaga agama?apalagi
ini, mereka terlalu sibuk dengan “Dunia Lain” yang namanya Surga. Mereka sibuk
mengemas Surga seolah barang dagangan yang akan mereka tawarkan kepada siapa
saja. Bagi golongan ini, agama bukan jalan hidup menuju ke keabadian, namun
hanya sekedar simbol atau bahkan hanya sekedar mainan kesenangan mereka.
Sawah ladang sepi. Itulah kenyataan yang
takterelakan sekarang ini. Semua terjadi bukan mendadak,namun terskenario dalam
kerangka berpikir matang dan licik. Pengingkaran hakekat adalah salah satu
sebab, nusantara ini adalah negeri subur, namun demi kenimatan segelintir orang
telah dirubah menjadi ladang industri,dan sawah ladang yang sejati sirna
ditelan bumi. Imperialisme psikologi sosial juga turut berperan, makan gaplek
didiskualifikasi dari kebersamaan dan diupayakan semua makan beras/nasi, petani
dianggap seperti segerombolan manusia kumuh yang tiada pernah terhargai yang
pada akhirnya membuat generasi kemudian menjadi alergi terhadap tani.
Penjajahan ideologi semakin menjadi-jadi. Gelombang
masuk pruduk komunikasi bak tsunami yang sulit terhalangi,lagi-lagi masyarakat
pinggiran yang menjadi korban. Mereka hanya dijadikan sasaran pasar pembeli
tanpa pernah dajari atau diajak memanfaatkan teknologi untuk lebih berarti atau
menghasilkan tambahan biaya hidup. Manakala beberapa penggiat kemanusiaan
mencoba masuk dengan secercah harapan dengan memanfaatkan produk teknologi,
mereka sudah terlanjr masuk dalam penjara konsumtifisme teknologi.
Media sosial, apapun itu, sejatinya bisa
dimanfaatkan lebih positif dan untuk menambah penghasilan untuk kehidupan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar