Senin, 11 Mei 2015

Sulitnya Merubah Paradigma



SULITNYA MERUBAH PANDANGAN HIDUP
“Sekolah sing pinter ngger, ngko yen Lulus gek neng kutha” (Sekolah yang pinter nak,nanti setelah lulus segera pergi ke kota).
Itulah sepenggal kalimat yang masih sering  (atau bahkan selalu ya?) muncul dalam percakapan orang tua di kampung kepada anak-anaknya. Bagi mereka, kota adalah surga, bagi merek kota adalah tambang uang dan desa adalah kehinaan,kampung adalah lambang gengsi terendah dalam konsep berpikir mereka. Bagi mereka pekerjaan bertani bukanlah kebanggaan,melainkan kehinaan.
“Rasah rekasa kaya wongtua” (Tidak usahlah bekerja berat dan kotor seperti kami para orang tua), itu juga kemudian yang muncul dalam percakapan yang sejatinya adalah cerminan paradigma berpikir. Bagi mereka, orang desa bertani adalah kehinaan,lumpur yang kotor adalah benda yang menjijikan dan musti dihindari.  Dalam benak mereka yang ada adalah kota dengan semua indah mimpi. Tentang kemewahan,tentang makanan,tentang fasilitas,tentang kemegahan dan tentu saja tentang uang. Angan kegagalan mereka simpan jauh-jauh, persaingan brutal mereka usir,nyawa dan darah demi selembar uang juga mereka tepikan. Kota adalah surga bagi mereka.
Akibat dari ploa berpikir yang demikian, ada korban maha dasyat yang terjadi. Kota menumpuk manusia,berjejal seperti laron mendekati lampu,sementara di desa, di kampung,sepi mencekam. Sawah ladang menagis menunggu sentuhan cinta kasih,rumah-rumah perlahan menghilang tergantikan pepohonan liar. Itu realita,kenyataan yang taktersentuh oleh siapapun. Pemerintah atau anggota depe er?Tidak mungkinlah,itu bukan proyek bergelimang uang, bagi mereka lebih bangga beradu otot dan gaya di ruang parleman. Presiden?akh,,,setali tiga uang, sama saja. Lembaga agama?apalagi ini, mereka terlalu sibuk dengan “Dunia Lain” yang namanya Surga. Mereka sibuk mengemas Surga seolah barang dagangan yang akan mereka tawarkan kepada siapa saja. Bagi golongan ini, agama bukan jalan hidup menuju ke keabadian, namun hanya sekedar simbol atau bahkan hanya sekedar mainan kesenangan mereka.
Sawah ladang sepi. Itulah kenyataan yang takterelakan sekarang ini. Semua terjadi bukan mendadak,namun terskenario dalam kerangka berpikir matang dan licik. Pengingkaran hakekat adalah salah satu sebab, nusantara ini adalah negeri subur, namun demi kenimatan segelintir orang telah dirubah menjadi ladang industri,dan sawah ladang yang sejati sirna ditelan bumi. Imperialisme psikologi sosial juga turut berperan, makan gaplek didiskualifikasi dari kebersamaan dan diupayakan semua makan beras/nasi, petani dianggap seperti segerombolan manusia kumuh yang tiada pernah terhargai yang pada akhirnya membuat generasi kemudian menjadi alergi terhadap tani.
Penjajahan ideologi semakin menjadi-jadi. Gelombang masuk pruduk komunikasi bak tsunami yang sulit terhalangi,lagi-lagi masyarakat pinggiran yang menjadi korban. Mereka hanya dijadikan sasaran pasar pembeli tanpa pernah dajari atau diajak memanfaatkan teknologi untuk lebih berarti atau menghasilkan tambahan biaya hidup. Manakala beberapa penggiat kemanusiaan mencoba masuk dengan secercah harapan dengan memanfaatkan produk teknologi, mereka sudah terlanjr masuk dalam penjara konsumtifisme teknologi.
Media sosial, apapun itu, sejatinya bisa dimanfaatkan lebih positif dan untuk menambah penghasilan untuk kehidupan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH