Harga Sebuah Kejujuran
Dengan Keranjang besar yang berisi sayuran, Ibu
Setengah baya itu berjalan dengan santai. Sayuran yang ia belanjakan dari pasar
pagi sejak pagi,sekitar pukul setengah lima, hingga tengah hari itu masih
terlihat utuh,belum berkurang. Panas terik matahari yang menyapa bumi di awal
kemarau itu begitu panas terasakan kulit. Keringat mengalir melalui kulit pipi
yang terlihat mulai keriput. Namun, keriput itu tidak bisa mengusir senyum yang
selalu ia nampakkan,senyum yang selalu ia bawa dan tebar kepada siapa saja.
Perlahan, ia angkat keranjang (yang dalam bahasa
kami senik/tenggok) itu,agar terengah,meski kemudian sampai juga ke
pinggangnya. Sembari tersenyum ia pamit kepada seorang perempuan seusianya yang
baru saja berbelanja. Keudian melangkah pergi,melanjutkan perjalanan menjemput
Berkat yang ia yakini diterbarNya di rumah-rumah yang ia kunjungi. Kalaupun toh
sudah membeli dan karenanya tidak membeli ke dirinya, si Ibu ini
berprinsip,berkat yang tertunda. Sebuah pernyataan yang meyembul dari kedalaman
berolah rasa dengan sang Pencipta.
“Budhe...ibuk mau belanja...”,Teriak seorang anak
laki-laki berusia enam tahunan, berambut keriwil menghentikan langkah Si Ibu Penjual
sayur itu. Segera bergegas ia berbalik,memutar arah dan menuju rumah tempat
suara memanggil tadi berasal.
“Lha kirain suwung bu,makanya kula mboten mampir”,
Demikian alasan ibu penjual sayur itu sambl menurunkan tenggok yang ia gendong.
Dua anak kecil segera mengerubungi dagangan si ibu itu,kemudian mengambil yang
menjadi kesukaan mereka. Setelah memilih sejenak,ibu dari anak-anak itu
kemudian masuk ke rumah,dan kemudian sipa membayar.
“Budhe, berapa semuanya?”Sambil kembali mendekati
Si Ibu Pedagang sayur itu.
“Anu bu, pitulas ewu..(tujuhbelas ribu),,”Jawab
ibu penual sayur itu dengan datar namun penuh keakraban.
“Oke budhe,saya tak ambil lagi,kurang. Lha ini Cuma
limabelas ribu”, Sambil bangkit ibu dari dua anak yang kini sudah asyik dengan makanan kesukaannya itu memberikan
komentar.
“Sebentar dhe,saya ambilkan nggih..”
“Mboten sussah bu,turahan-turahan saben ibu
belanja itu saya kumpulkan dan setelah saya sjumlah jumlahnya banyak sekali,dan
itu lebih dari biaya belanja ibu seminggu, itu bakan milik saya bu,milik
ibu,makanya saya simpan. Nahh, sekarang ketemu ibu dan kebetulan ibu
kurang,maka biarlah kekurangan itu bu..”
Kejujuran dan ketulusan,nampaknya telah menguasahi
ibu pnjula ayuritu. Tidak ada lagi sikap tamak dan iri serta dendam yang
menguasahinya. Kejujuran itu ternyata kerap kali disertakan Tuhan kepada
mereka-mereka yang sederhana.
Hmm,,,andai para pejabat (kata seorang rekan,
pejabat itu Pegawai yang Jago Ngembat)
bisa mengerti spiritualitas tulus dan tebuka dan transparan, betapa indahnya
dunia ini.
Sebuah siang di awal mei..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar