Rabu, 06 Mei 2015

Sebuah Perjuangan Menjaga Kejujuran dan Ketulusan



TENTANG KEJUJURAN
Siang itu sepulang sekolah, anakku segera bergegas ganti,kemudian karena ada makanan yang mejadi kesukaannya,segera ia melepaskan baju dan mencuci kaki dan tangan ke kamar mandi. Memang, kami membiasakan kedisiplinan terkait kebersihan kepada anak-anak semenjak usia mereka masih di dalam kandungan. Usai dari kamar mandi,segera  merengek ke ibunya agar segera menuangkan nasi ke piring, memilah atau membagi ayam goreng kesukaannya untuk disantapnya. Namun, ibunya tidak segera menuruti begitu saja semua keinginan anak-anak.
“Duduk dulu, istirahat,ambil nafas dengan tenang. Kemudian tunggu bapak dan juga adik untuk kita makan bersama. Kita harus berdoa kepada Tuhan karena senantiasa berkatNya untuk kita”,Demikian ibunya memberi penjelasan. Dengan sedikit kecawa, anak-anak segera tertib dan kemudian bersiap menyamtap makanan secara bersama. Setelah berdoa,kami makan bersama dengan santai di siang itu.Setelah usai makan, sembari menata tempat makan,sambil makan beberapa buah yang tersisa,tiba-tiba anak pertama kami melontarkan sebuah pertanyaan yang sungguh sangat membuat kami kaget.
”Bapak, Ibuk, kan makanan ini berkat dari Tuhan,terus kita membelinya. Sebelum bapak sama ibuk menikah itu aku di mana?Terus Tuhan mengirim aku, adik-adik itu lewat mana ya?Terus apa adik kecil itu ketemu mbah yang sudah dipanggil Tuhan?”
Kami kaget,meski dibaliknya ada sebuah kekaguman akan kekritisan cara berpikir  anak kami. Ada sebuah kebimbangan untuk memberikan penjelasan yang sebenarnya kepada anak berusia 6.5 tahun ini,namun melihat kekritisan itu, kami tidak boleh sembrono memberikan jawaban. Kemudian,ibunya ke dapur, untuk membereskan perkakas kami makan, meski aku tahu,itu upaya penghindaran dari kerumitan pertanyaan anaknya. Akupun bingung,dan hanya diam. Namun kemudian,timbul sebuah ide.
“Mas...(demikian kami memanggil anak pertama kami sebagai wujud pembahasaan untuk adik-adiknya)...ayo ikut bapak!”
“Ke mana pak?”Tanpa aku jawab,aku keluar, ke halaman tempat tinggal kami.
“Mas, lihat itu matahari,awan dan langit. Mas tahu siapa yang membuatnya?Mas tahun kapan dibuat?”
“Tidak bapak...”
Nampak bingung anak sulungku itu,sembari menyeka keringat di pelipisnya karena setiap makan dia selalu berkeringat. Kulihat dia mencoba mencari jawab dengan menatap langit.
“Maksutte bapak ki pie ta?” Demikian,puncak kebingungan anak sulungku itu.
“Seperti matahari,awan dan langit ada karena diciptakan Tuhan,demikian pula dirimu nak,kau ada karena diciptakan Tuhan. Kau sekarang belum tahu,namun nanti pasti akan tahu”.Kututup jawabanku sembari menggendong anakku yang semakin gendut itu. Dia diam tanpa menjawab,kemudian kami masuk ke rumah.
Terkadang, kejujuran harus berhadapan dengan sebuah situasi yang kurang bersahabat..
Salam  Cinta Untuk Semesta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH