Rabu, 20 Mei 2015

Memungut Harapan



MENGGAPAI HARAPAN
Usianya sekitar 72 tahun, tubuhnya terlihat kurus, kaki tidak setegap dan sekekar beban yang digendongnya. Punggung sudah terlihat rapuh,dan itu masih ditambah menjinjing tas yang berisa bagian dari tenggok yang digendongnya. Hampir setiap pagi selalu ia menyibak kabut dan dingin demi menyeruak diantara keramaian pasar,berangkat dengan semangat meski menggendong beban berat.


"Jiwa muda ini terkadang malu dengan semangat kerja MBah Karsih, dalam usia 70an tahun masih bersemangat". 

Bersaing dengan cepatnya angkotan pedesaan dan perkotaan yang selalu mau menang sendiri dan tidak mau menghargai hidup an kehidupan yang lain. Sesampainya di pasar, ia akan segera menata barang dagangannya, saling menyapa dengan tetangga sekitar area berjualan dan kemudian duduk sembari menunggu “UtusanNya” yang akan menjadi jalan berkat. 
Selalu menyapa ramah dengan senyuman meski yang disapa terkadang membuang muka seolah memandang yang lain itu bukan seperti dirinya, namun tetap tersenyum dan tersenyum. Dalam benaknya terpikir bahwa pasti akan datang yang lain yang akan membeli dagangannya yang sudah ia persiapkan semenjak sore. Berjuang, itulah semboyan simbah Karsih
TELADANI SIMBAH DENGAN BERJUANG
http://goo.gl/uJPhaR
Begitulah keseharian Si mBah berusia 72 tahun itu dan kemudian akan beranjak pulang sekitar pukul 14.00.

Habis atau tidak barang dagangannya, Simbah itu akan pulang dan akan tersenyum dengan polos dan jujur. Menyempatkan membeli sekedar oleh-oleh untuk cucu-cucunya.  Sepanjang jalan terkadang terserang kantuk saat naik angkotan menuju tempat tinggalnya dan manakala turun dan berjalan kaki, selalu ia tersenyum tulus dengan gambaran sukacita purbakala menyongsong kehidupan selanjutnya.

“Semua itu mesti disyukuri pak...”, Demikian jawab beliau suatu saat dalam sebuah perjumpaanku dengan belia di rumahnya yang sederhana. “Tidak perlu Kita mengejarnya ataupun memaksanya, jika sudah dikaruniakanNya pasti akan kita terima, yang menjadi tugas kita adalah berupaya,bekerja semampu dan sebisa kita. Di situlah ada pengarep-arep (harapan) pak”, Simbah melanjutkan uraiannya dengan lancar dan terlihat bersukacita sekali.

Bahagia itu bukan masalah kaya atau miskin, bahagia itu bukan masalah berat atau ringannya pekerjaan, namun sejauh mana kita, manusia ini, mampu memberi makna dan menerimanya dengan tulus dan terbuka.
Sebuah perjumpaan dengan mbah Karsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH