MENGGAPAI
HARAPAN
Usianya sekitar 72 tahun, tubuhnya terlihat kurus,
kaki tidak setegap dan sekekar beban yang digendongnya. Punggung sudah terlihat
rapuh,dan itu masih ditambah menjinjing tas yang berisa bagian dari tenggok
yang digendongnya. Hampir setiap pagi selalu ia menyibak kabut dan dingin demi
menyeruak diantara keramaian pasar,berangkat dengan semangat meski menggendong
beban berat.
Bersaing dengan cepatnya angkotan pedesaan dan perkotaan yang
selalu mau menang sendiri dan tidak mau menghargai hidup an kehidupan yang
lain. Sesampainya di pasar, ia akan segera menata barang dagangannya, saling
menyapa dengan tetangga sekitar area berjualan dan kemudian duduk sembari
menunggu “UtusanNya” yang akan menjadi jalan berkat.
Selalu menyapa ramah dengan senyuman meski yang disapa terkadang membuang muka seolah memandang yang lain itu bukan seperti dirinya, namun tetap tersenyum dan tersenyum. Dalam benaknya terpikir bahwa pasti akan datang yang lain yang akan membeli dagangannya yang sudah ia persiapkan semenjak sore. Berjuang, itulah semboyan simbah Karsih
TELADANI SIMBAH DENGAN BERJUANG
http://goo.gl/uJPhaR
Begitulah keseharian Si mBah berusia 72 tahun itu dan kemudian akan beranjak pulang sekitar pukul 14.00.
"Jiwa muda ini terkadang malu dengan semangat kerja MBah Karsih, dalam usia 70an tahun masih bersemangat".
Selalu menyapa ramah dengan senyuman meski yang disapa terkadang membuang muka seolah memandang yang lain itu bukan seperti dirinya, namun tetap tersenyum dan tersenyum. Dalam benaknya terpikir bahwa pasti akan datang yang lain yang akan membeli dagangannya yang sudah ia persiapkan semenjak sore. Berjuang, itulah semboyan simbah Karsih
TELADANI SIMBAH DENGAN BERJUANG
http://goo.gl/uJPhaR
Begitulah keseharian Si mBah berusia 72 tahun itu dan kemudian akan beranjak pulang sekitar pukul 14.00.
Habis atau tidak barang dagangannya, Simbah itu
akan pulang dan akan tersenyum dengan polos dan jujur. Menyempatkan membeli
sekedar oleh-oleh untuk cucu-cucunya. Sepanjang
jalan terkadang terserang kantuk saat naik angkotan menuju tempat tinggalnya
dan manakala turun dan berjalan kaki, selalu ia tersenyum tulus dengan gambaran
sukacita purbakala menyongsong kehidupan selanjutnya.
“Semua itu mesti disyukuri pak...”, Demikian jawab
beliau suatu saat dalam sebuah perjumpaanku dengan belia di rumahnya yang
sederhana. “Tidak perlu Kita mengejarnya ataupun memaksanya, jika sudah
dikaruniakanNya pasti akan kita terima, yang menjadi tugas kita adalah
berupaya,bekerja semampu dan sebisa kita. Di situlah ada pengarep-arep (harapan)
pak”, Simbah melanjutkan uraiannya dengan lancar dan terlihat bersukacita
sekali.
Bahagia itu bukan masalah kaya atau miskin,
bahagia itu bukan masalah berat atau ringannya pekerjaan, namun sejauh mana
kita, manusia ini, mampu memberi makna dan menerimanya dengan tulus dan
terbuka.
Sebuah perjumpaan dengan mbah Karsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar