Kamis, 21 Mei 2015

Maruta dan Panggah tentang Undhuh-Undhuh



Undhuh-Undhuh..
Malam itu, setelah seharian ke ladang kacang tanahnya, Maruta duduk-duduk di halaman rumahnya, di dekat pohon jambu mete. Memandang ke utara, ke arah bukit-bukit yang senantiasa kokoh meski dihantam jaman yang takpernah letih menerjangnya. Semilir angin awal kemarau menggoyang daun-daun pring di sebelah timur rumah peninggalan orangtuanya, Anjing peliharaannya, Pilus begitu Maruta menamainya, setia di dekatnya. Kopi dan rokok takpernah lari dari dekatnya. Beberapa ekor burung koko beluk beterbangan diantara gelap dan semilir angin, berlomba dengan serangga-serangga demi bertahan hidup,itulah hidup,selalu ada yang memburu dan diburu. Lamunanya kemudian sampai pada seharian tadi,mempersiapkan panen kacang tanahnya yang sudah ia tunggu selama hampir seratus hari, bersaing dengan monyet dan landak serta tikus. Kini, masa panen sudah ia siapkan,dan sebentar lagi ia akan berjaga, menunggui ladang kacang tanahnya. Ia hanya tinggal menunggu Panggah, sahabat setianya yang akan menemaninya menjaga ladang kacang itu.
“Mar, ngalamun ya?Bingung mau kau belikan apa hasil penjualan kacangmu nanti?”Panggah tiba-tiba muncul dari balik pohon melinjo di ujung rumah.
“Hmm...nunggu dirimu itu lho Nggah, pa nunggu si Rukmini dulu?”, Maruta mejawab sembari menggoda Panggah, yang naksir setengah mati Rukmini namun tidak jua ditanggapi. Kemudian mereka bergegas menuju ladang.melewati bukit-bukit gelap,diantara alang-alang yang gemerisik dimainkan angin kemarau. Melewati jalan setapak dan juga berbebatuan terjal,orang kampung itu menamakannya Watumrangas,mungkin karena bentuknya yang kaya bergerigi.
“Mar, apa akan kamu jual semua panenan kacangmu yang kayaknya akan luar biasa itu?”, Panggah melanjutkan tanya. “Enggaklah Nggah,sebagian, yang paling baik akan akan bawa ke gereja besuk minggu, kan di agama kami ada acara pesta panen,atau Undhuh-Undhuh, jadi seperempat panenku akan aku persembahkan kepada Tuhan melalui Gereja”, Maruta menjawab. Kemudian mereka sampai disebuah gubug,deket pohon  mangga yang berbuah lebat juga. Mereka duduk lalu Panggah menuang kpoi sambil menyulut rokok kesenangannya.
“Aku lagi berusaha mengerti dengan praktik di gerejaku Nggah, lha undhuh-undhuh itu dalam konsep iman kami kan persembahan, namun di gerejaku,bisa diutang dan kadang sampai lupa tidak dilunasi, lha itu kan mendorong warga jemaat berbuat dosa?Ketika ada yang mengingatkan,beberapa tokoh malah memusuhinya. Padahal, menurut Mas Sabar, yang namanya persembahan itu yang dalam ibadah, tidak boleh ditunda, atau dihutang?”, Maruta melanjutkan perkataanya, menuangkan uneg-unegnya.
“Wah, Aku tidak setuju Mar, kalau begitu...menurutku yang namanya  sodakoh itu ya langsung..dan itu harus diingatkan lho mar...”, Panggah mencoba mencari solusi.
“Trus?”, Maruta berupaya mengejar jawab selanjutnya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH