Undhuh-Undhuh..
Malam itu, setelah seharian ke ladang kacang
tanahnya, Maruta duduk-duduk di halaman rumahnya, di dekat pohon jambu mete. Memandang
ke utara, ke arah bukit-bukit yang senantiasa kokoh meski dihantam jaman yang
takpernah letih menerjangnya. Semilir angin awal kemarau menggoyang daun-daun
pring di sebelah timur rumah peninggalan orangtuanya, Anjing peliharaannya,
Pilus begitu Maruta menamainya, setia di dekatnya. Kopi dan rokok takpernah
lari dari dekatnya. Beberapa ekor burung koko beluk beterbangan diantara gelap
dan semilir angin, berlomba dengan serangga-serangga demi bertahan hidup,itulah
hidup,selalu ada yang memburu dan diburu. Lamunanya kemudian sampai pada
seharian tadi,mempersiapkan panen kacang tanahnya yang sudah ia tunggu selama hampir
seratus hari, bersaing dengan monyet dan landak serta tikus. Kini, masa panen
sudah ia siapkan,dan sebentar lagi ia akan berjaga, menunggui ladang kacang
tanahnya. Ia hanya tinggal menunggu Panggah, sahabat setianya yang akan
menemaninya menjaga ladang kacang itu.
“Mar, ngalamun ya?Bingung mau kau belikan apa
hasil penjualan kacangmu nanti?”Panggah tiba-tiba muncul dari balik pohon
melinjo di ujung rumah.
“Hmm...nunggu dirimu itu lho Nggah, pa nunggu si
Rukmini dulu?”, Maruta mejawab sembari menggoda Panggah, yang naksir setengah
mati Rukmini namun tidak jua ditanggapi. Kemudian mereka bergegas menuju
ladang.melewati bukit-bukit gelap,diantara alang-alang yang gemerisik dimainkan
angin kemarau. Melewati jalan setapak dan juga berbebatuan terjal,orang kampung
itu menamakannya Watumrangas,mungkin karena bentuknya yang kaya bergerigi.
“Mar, apa akan kamu jual semua panenan kacangmu
yang kayaknya akan luar biasa itu?”, Panggah melanjutkan tanya. “Enggaklah
Nggah,sebagian, yang paling baik akan akan bawa ke gereja besuk minggu, kan di
agama kami ada acara pesta panen,atau Undhuh-Undhuh, jadi seperempat panenku
akan aku persembahkan kepada Tuhan melalui Gereja”, Maruta menjawab. Kemudian mereka
sampai disebuah gubug,deket pohon mangga
yang berbuah lebat juga. Mereka duduk lalu Panggah menuang kpoi sambil menyulut
rokok kesenangannya.
“Aku lagi berusaha mengerti dengan praktik di
gerejaku Nggah, lha undhuh-undhuh itu dalam konsep iman kami kan persembahan,
namun di gerejaku,bisa diutang dan kadang sampai lupa tidak dilunasi, lha itu
kan mendorong warga jemaat berbuat dosa?Ketika ada yang mengingatkan,beberapa
tokoh malah memusuhinya. Padahal, menurut Mas Sabar, yang namanya persembahan
itu yang dalam ibadah, tidak boleh ditunda, atau dihutang?”, Maruta melanjutkan
perkataanya, menuangkan uneg-unegnya.
“Wah, Aku tidak setuju Mar, kalau
begitu...menurutku yang namanya sodakoh
itu ya langsung..dan itu harus diingatkan lho mar...”, Panggah mencoba mencari
solusi.
“Trus?”, Maruta berupaya mengejar jawab
selanjutnya.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar