Sabtu, 09 Mei 2015

Persahabatan Lebih Mulia dari Kepentingan Pribadi



Maruta dan Supanggah
Malam minggu itu, Maruta sudah terlihat sibuk dengan dirinya. Berdandan seolah hendak menyambut tamu agung,berminyakan wangi,rambut juga terlihat klimis. Segera setelah usai berdandan,ia bergegas keluar rumah, pertanyaan Simboknya dari pawon yang sedang membuat tempe kedelai dijawabnya dengan semangat meski sambil bergegas.
“Meh kemana ta Mar, wong makan saja belum kok sudah terburu-buru”, Demikian Simboknya bertanya,sambil mbungkusi tempe. Memang pekerjaan simboknya Maruta adalah pembuat dan penjual tempe, pekerjaan yang sudah ditekuninya semenjak ia kecil bersama dengan almarhum oranngtuanya.
“Biasalah mbok, cah enom gitu lohh..kan ini malam minggu, ya malam mingguan ta ya...”, Demikian Maruta menjawab sambil berjalan dengan mimik muka cengar-cengir. Simboknya tidak menanggapi karena Maruta sudah kadung ngacir menuju jalan pusat dusun itu. Dia segera bergegas, berjalan setengah berlari. Namun saat mendekati gardu patroli, Maruta seperti agak menahan langkahnya. Ia perhatikan gardu itu,seperti ada seseorang yang sedang menunggu.
“Weh..Nggah, lha kamu ngapain kok diem di Patrolan?”, Demikian Maruta menyapa seseorang yang ternyata adalah Supanggah, karibnya. Tidak serta merta Panggah menjawab,dia nampak diam. Temaram lampu mercury ujung tikungan tidak mampu menguak wajah Panggah. Meski keudian,Panggah berujar.
“Mar, kamu mau ke mana?Apa mau ke rumah  Triyani?Kan ini malam minggu?”, Sendu pertanyaan Panggah,membuat Maruta bertanya-tanya. “Mar, kenapa diam saja?” Panggah mengejar jawaban karena Maruta nampak ngowoh seperti orang bingung. Maruta seolah melihat kemenduraan wajah Panggah yang terwakili dari suaranya.
“Anu Nggah, aku mau,,,anu,,mau ke,,,anu...ke Triyani”, Maruta dengan suasana malu-malu menjawab.
“Ya sudah, kalau begitu silakan,segera ke sana,mungkin sudah ditunggu”, Panggah menjawab dalam nada kesedihan. Semua itu membuat Maruta semakin bingung. Kemudian dia menuju ke lincak tua,namun cemerlang karena setiap malam dibelai pantat-pantat anak-anak muda.
“Kamu ada apa nggah, ngomonga. Jujurlah!”, Maruta mencoba berbahasa hati. “Anu Mar, mak’e kumat,aku mau beli obat tapi aku tidak bisa naik motor, bisa kamu anterke aku?”, Demikian Panggah menjelaskan. Pergumulan bak alotnya dialog partai terjadi di benak Maruta. Antara menolong sahabatnya atau ngapeli Triyani. Dua-duanya sulit ditentukan. Mau berkabar Triyani hape kehabisan pulsa,mau anter Panggah takut Triyani marah. Maruta paham dengan sikap dan wataknya Triyani, kalau marah..hmm..medeni bocah. Namun Panggah butuh bantuan, ibunya kambuh sakitnya, kumat!
“Oke Nggah, ayo aku antar. Aku mau ke rumah lik Sutris pinjam kendaraan dulu. Kamu tunggu sini. Nanti aku ampiri”, Demikian Maruta membuat keputusan. Merelakan waktu pribadinya serta kesenangannya demi kebutuhan sahabatnya.
“Lha, Triyani?”, Panggah bertanya dengan sangat kaget meski dibumbui nada sukacita.
“Itu urusanku, nanti biar aku jelaskan ke Triyani”,Maruta menjelaskan. Panggah senang bukan kepalang, memang Maruta, temannya itu,meski berbeda iman dengan dirinya, namun dia sangat menghargai persahabatn mereka,bahkan keperluan dirinyapuun dinomorduakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH