Maruta dan Supanggah
Malam minggu itu, Maruta sudah terlihat sibuk
dengan dirinya. Berdandan seolah hendak menyambut tamu agung,berminyakan
wangi,rambut juga terlihat klimis. Segera setelah usai berdandan,ia bergegas
keluar rumah, pertanyaan Simboknya dari pawon yang sedang membuat tempe kedelai
dijawabnya dengan semangat meski sambil bergegas.
“Meh kemana ta Mar, wong makan saja belum kok
sudah terburu-buru”, Demikian Simboknya bertanya,sambil mbungkusi tempe. Memang
pekerjaan simboknya Maruta adalah pembuat dan penjual tempe, pekerjaan yang
sudah ditekuninya semenjak ia kecil bersama dengan almarhum oranngtuanya.
“Biasalah mbok, cah enom gitu lohh..kan ini malam
minggu, ya malam mingguan ta ya...”, Demikian Maruta menjawab sambil berjalan
dengan mimik muka cengar-cengir. Simboknya tidak menanggapi karena Maruta sudah
kadung ngacir menuju jalan pusat dusun itu. Dia segera bergegas, berjalan
setengah berlari. Namun saat mendekati gardu patroli, Maruta seperti agak
menahan langkahnya. Ia perhatikan gardu itu,seperti ada seseorang yang sedang
menunggu.
“Weh..Nggah, lha kamu ngapain kok diem di
Patrolan?”, Demikian Maruta menyapa seseorang yang ternyata adalah Supanggah,
karibnya. Tidak serta merta Panggah menjawab,dia nampak diam. Temaram lampu
mercury ujung tikungan tidak mampu menguak wajah Panggah. Meski keudian,Panggah
berujar.
“Mar, kamu mau ke mana?Apa mau ke rumah Triyani?Kan ini malam minggu?”, Sendu
pertanyaan Panggah,membuat Maruta bertanya-tanya. “Mar, kenapa diam saja?”
Panggah mengejar jawaban karena Maruta nampak ngowoh seperti orang bingung.
Maruta seolah melihat kemenduraan wajah Panggah yang terwakili dari suaranya.
“Anu Nggah, aku mau,,,anu,,mau ke,,,anu...ke
Triyani”, Maruta dengan suasana malu-malu menjawab.
“Ya sudah, kalau begitu silakan,segera ke
sana,mungkin sudah ditunggu”, Panggah menjawab dalam nada kesedihan. Semua itu
membuat Maruta semakin bingung. Kemudian dia menuju ke lincak tua,namun
cemerlang karena setiap malam dibelai pantat-pantat anak-anak muda.
“Kamu ada apa nggah, ngomonga. Jujurlah!”, Maruta
mencoba berbahasa hati. “Anu Mar, mak’e kumat,aku mau beli obat tapi aku tidak
bisa naik motor, bisa kamu anterke aku?”, Demikian Panggah menjelaskan. Pergumulan
bak alotnya dialog partai terjadi di benak Maruta. Antara menolong sahabatnya
atau ngapeli Triyani. Dua-duanya sulit ditentukan. Mau berkabar Triyani hape
kehabisan pulsa,mau anter Panggah takut Triyani marah. Maruta paham dengan
sikap dan wataknya Triyani, kalau marah..hmm..medeni bocah. Namun Panggah butuh
bantuan, ibunya kambuh sakitnya, kumat!
“Oke Nggah, ayo aku antar. Aku mau ke rumah lik Sutris
pinjam kendaraan dulu. Kamu tunggu sini. Nanti aku ampiri”, Demikian Maruta
membuat keputusan. Merelakan waktu pribadinya serta kesenangannya demi
kebutuhan sahabatnya.
“Lha, Triyani?”, Panggah bertanya dengan sangat
kaget meski dibumbui nada sukacita.
“Itu urusanku, nanti biar aku jelaskan ke Triyani”,Maruta
menjelaskan. Panggah senang bukan kepalang, memang Maruta, temannya itu,meski
berbeda iman dengan dirinya, namun dia sangat menghargai persahabatn
mereka,bahkan keperluan dirinyapuun dinomorduakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar