Siang itu, tanggal merah, membuat banyak anak-anak
bermain dengan kesenangan polos laksana kesenangan purbakala. Beberapa orang
nampak berjalan bergerombol di jalan desa yang sudah terbeton, proyek swadaya
warga desa karena taktersentuh program pemerintah. Selentingan yang terdengar
sih, dusun kami tidak dipikirkan pemerintah waktu itu karena ada beberapa warga
yang tidak pro dengan partai berlogo pohon rindang itu, malah memilih setia dengan
Banteng Nesu. Mereka berpakaian rapi, batik sederhana namun elegan dan
menyenangkan pandangan. Kutahu, ternyata ini hari adalah hari besar kaum
nasrani. Itu kekutahui setelah melihat beberapa warga bercakap dalam
perjalanan. Maruta nampak gagah berjalan di belakang rombongan itu, sambil
tidak henti-hentinya memejeti tuts-tuts ipad dan blekberinya.
“Mar...Mar, mbokya jalan itu lihat jalan, bukan
ngehapeee aja!”, Tiba-tiba Panggah menegor dari ujung jalan, di teras samping
sebuah rumah yang sedang direnovasi lereng tanggulnya.
“Eh kamu ta Nggah, ngrewangi Wo Mukijo ta?” Sapa
Maruta. “Kalau mbantu itu ya yang tenanan, tidak loran-leren saja. Kasihan tuh,
rokok dan kopi habis, mesti kamu yang menghabiskan?”
“Enggak kok Mar, itu lho, Bantheel, bukan aku!”
Serga Panggah. Lalu mereka ngobrol di dekat kandang sapi yang lereng sebelahnya
ditembok biar tidak longsor.
KLIK SAJA |
“Mar, tadi aku kan ikut dengerin kotbah di radio,
kan mbah Trimah gabisa brangkat ke greja, tadi ada stasiun radio yang
menyiarkan kotbah, ya aku ikut aja ndengerin. Ternyat kotbahnya apik lho Mar. Kalau
ga salah, sebab aku lamat-lamat dengere, tadi itu pakai gambaran Penyuluh Pertanian,
(PPL). Setelah penyuluh pulang kan msti dilakukan kan apa yang diajarkan?Demian
juga Isa, Dia melakukan Penyuluhan Tentang Kerajaan Surga, pak Ndito pakai
istilah Penyuluh Kerajaan Sorga (PKS), lha setelah penyuluh itu pulang kan para
petani harus bekerja. Karena kalau ndomblong saja mesti swah ladange tidak
panen, begitu juga setelah Isa kembali ke surga, mka manusia harus mempraktekan
ajarannya itu yang kuingat Mar”, Panggah berapi-api berkisah, sembari nyedot 76
jatah rewang hari itu.
Maruta, terdiam,namun membenarkan kata-kata
sahabatnya,Si Panggah yang sejatinya berbeda cara beriman dengannya. Dia malah
bingung di gereja tadi, pengkotbahnya terlihat hanya membaca dan tidak
persiapan. Hmmm, kalau begini, kalau diterangkan penyuluh ga mendengar lalu
tidak bisa praktek, yang salah siapa ya?
“Mar, aja ngalamun,,,kae Triyani datang!!”,
Panggah mengingatkan Maruta..Dan...
Tunggu kisah Maruta dan Panggah edisi berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar