Kamis, 25 Februari 2016

Tak Ada Jembatan, Rakitpun Bisa

Pada Sebuah Tepian sungai

Dua orang pemuda dan pemudi. Nampaknya mereka sedang dimabuk cinta. Selalu berdua, bergandengan tangan, bercanda layaknya kanak-kanak.  Apakah memang, jatuh cinta membuat hidup kembali seperti anak-anak?Lepas,bebas dan rasa malu itu menguap entah kemana?Akh..entahlah...Mereka sedang berjalan di sebuah taman. Taman yang indah dan menarik. 

Aneka bunga dan hewan-hewan hidup bebas tanpa dikerangkeng layaknya Kebon Binatang di negeri ini. Taman itu memang indah, pada sebuah lembah yang hijau. Perbukitan mengelilingi taman itu. Pada bagia utara, barat,selatan dan sebagian timur. Semua adalah perbukitan. Di bawah bukit sebelah timur ada telaga buatan manusia,jika senja, sinar matahari yang menyentuh permukaan air danau buatan itu sungguh menawan. Orang-orang memberi nama taman itu Mundu,,,mungkin dahulunya di tempat itu penuh dengan phon buah-buahan yang oleh masyarakat di desa itu diberi nama Mundu. Pohonnya rimbun dan buahnya jika sudah masak, kuning kemilauan.

Akh.. jadi lupa, dua pemuda dan pemudi tadi masih asyik berduaan, memetik beberapa kuncup mawar. Beberapa kupu-kupu terbang menjauh takut mengganggu kemesraan keduanya. Terdengar suara sebuah lagu jaman kuna, jaman dahulu. “Dipuncak Bukit Berbunga”, dinyanyikan, kalau tidak salah oleh Jayanti Mandasari..akhh, benar-benar romantis. Hanya bisa membayangkan saja, dan sepertinya sulit, karena tugas keseharianku yang hanya tukang cari rumput. 

Suasana siang yang cerah, semilir angin yang manja, burung-burung yang berkejaran semakin membuat nuansa sempurna mereka berdua.
Perjalanan kedua pemuda-pemudi itu akhirnya sampai ke tepi sebuah sungai. Sungai yang bening dan elok karena bebatuan gunung bisa dilihat dari tepian, bebatuan yang ada di dasar sungai itu. Ikan-ikan berkejaran dalam teduhnya air bening sungai . kedua pemuda pemudi itu masih nampak asyik dan mesra. Dan mereka pun kemudian melihat ke seberang  sungai. Sebuah tempat berjarak 15 meteran, namun tiada jembatan untuk menyeberanginya.

“Mas, aku ingin kita menyeberang ke tepi yang sebelah sana, di sana aku melihat burung-burung bermain di rerumputan”, rengek gadis itu. Pemuda itu diam. Dia nampaknya sadar bahwa hanya dengan membangun jembatan mereka bisa sampai ke seberang dengan selamat. Kemudian, dia , pemuda itu, menghampiriku yang termangu menatap kemesraan mereka. Pemuda itu meminjam sabitku, lalu mendekati serumpunan pohon bambu liar di tepian sungai. Dengan sigap pemuda itu menebang beberapa batang. Sesekali terdengar mengaduh karena tersayat dan menjadi luka. Hingga akhirnya, tersedia sekumpulan batang bambu, dibuatnya rakit dan kemudian dipakainyalah rakit ittu untuk menyeberang.
Semakin iri aku melihat kemesraan mereka. Dengan sabit di tangan, setelah aku mengangguk saat pemuda itu berucap terima kasih, aku menatap mereka. Ada getir, namun juga ikut bahagia, melihat tekat mereka berdua...

pada tepian sungai, suatu ketika..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH