Sore
yang indah. Matahari temaram diantara dedaunan di lereng bukit hijau. Sinarnya menyusup
diantara celah-celah bukit dan menerpa apa saja yang ia ingini. Langit cerah,
beberapa lembar awan putih bermain-main manja di atas sebuah bukit di ujung
barat laut kampung mungil itu. Burung-burung bermain-main menunggu malam dalam
kenyamanan karena lapar yang tidak pernah menyapanya. Lapar memang tidak di
kenal oleh makhluk di perkampungan itu, semuanya penuh dengan kemakmuran.
Di
sebuah rumah menghadap ke utara, menghadap sawah dan buit-bukit kecil, suasana
juga telah santai. Musim panen sudah usai,tinggal musim menjemur. Panen yang
luar biasa hebatnya. Seorang lelaki muda duduk di kursi ujung serambi, dekat
pohon jambu. Di dekatnya teh yang nampaknya masih hangat,dalam piring terlihat
pisang Kepok goreng, yang juga masih mengepul asapnya. Kursi di dekatnya masih
kosong. Di halaman depan rumah itu, bekas menjemur padi dan kedelai, nampak
seorang anak berusia sebelas tahun, seorang anak perempuan.
Saat
kemudian seorang perempuan keluar dari dalam rumah, duduk di kursi yang masih
kosong itu, anak perempuan itu sudah usai menyapunya, lalu nampak bercakap
kepada dua orang yang sedang duduk di serambi rumah itu. Mungkin pamit hendak
bermain karena kemudian anak perempuan itu berlari menuju rumah tetangga.
“Anak
kita sudah berusia 11 tahun,dan usai pernikahan kita sudah 12 tahun”, Lelaki itu
membuka percakapan.
“Ada
satu hal yang selama ini kusimpan dari kalian. Sebuah hal yang mungkin bisa
menghacurkan keindahan sore ini”
Suasana
hening, perempuan itu tenang, kemudian mengambil gelas minuman dan meminumnya
dengan pelan dan terlihat sangat menikmati.
“Kalau
memang itu bisa menghancurkan keindahan sore ini, mengapa kau malah
mengungkapkanya dengan aku?Adakah hubungannya dengan aku, dengan kita, juga
dengan anak kita?”, masih dengan santai perempuan itu menjawab dan juga menanya
lelaki di sebelahnya, yang adalah suaminya.
“Ada...justru
karena ada hubungannya denganku,denganmu dan dengan anak kita aku menjadi bingung. Memang itu semua sebenarnya
hanya aku yang terlibat,namun kalian terlarut juga di dalamnya”
Kembali
suasana diam. Senja semakin ingin menampakkan kuasanya.
“Ayo
segera bersiap, jam 7 nanti kita mesti beribadah. Ini perayaan rabu abu,
permulaan masa paska. Jangan sampai terlambat”, demikian perempuan itu
tiba-tiba menunjukan sikap agak tergesa.
“Sebentar,
biar aku mengurai sesak pikiranku.”Jawab
lelaki itu.”Apakah kau masih akan tetap berangkat beribadah malam nanti saat
aku jujur terhadapmu?Apakah kau akan memaafkanku saat aku berterus terang
tentang keadaanku?”, Lelaki itu menggelontorkan pertanyaan kepada perempuan,
istrinya itu.
Langit
nampak tidak seterang saat minuman di meja teras rumah itu dihidangkan. Suara serangga
hutan sayup mulai terdengar.
“Katakanlah
saja, tenanglah. Aku ada untukmu”, Perempuan itu menjawab,juga masih denagn
ketenangan yang sempurna. Dari ujung jalan rumah itu, berlarilah seorang anak
perempuan berusia sebelas tahun. Lalu masuk ke rumah, sepertinya hendak
langsung mandi.
“Aku
masih menjalin hubungan dengan........’
Diam...seolah
terhenti lelaki itu mengurai kata. Namun kemudian..
“Dengan
perempuan berambut panjang yang sering
kau ceriterakan itu kan?Masih sering mengingkari aku kan?Dan itu sampai anak
kita berusia 9 tahun kan?Dan sekarang sudah berhenti kan?”, Perempuan itu
melanjutkan kisah suaminya dengan tutur yang tenang namun tegas. Lelaki itu
kemudian menjadi pucat,sangat pucat. Dan suasana diam kembali menguasai. Keheningan
pecah saat perempuan itu beranjak, tidak hendak meninggalkan suaminya, namun
justru mendekati suaminya. Menarik tangan suaminya, mengajaknya berdiri, untuk
kemudian...
“Aku
tahu, aku sadar. Dan aku juga tahu, waktuku beda dengan waktunya Tuhan. Hanya aku
yakin, Tuhan yang akan memberikan yang terbaik untuk kita semua. Dan waktu itu
ternyata hari ini. Aku menunggu dan selalu menunggu, dan ternyata saat
menjelang rabu abu, waktu itu hadir menyapa hidupku. Tenangkanlah dirimu, aku mengerti
keadaanmu dan aku mengampunimu. Sekarang ayo bergegas mandi, kita juga mesti
memohon pengampunan Dia yang telah membuatku kuat menjaga keutuhan keluarga
kita. Kita semua berdosa, seperti abu..namun kemudian dijadikan permata indah
olehNya. Ayo..kita bertelut dihadapanNya..”
Lelaki
itu perlahan kehilangan wajah putih yang terjadi karena pucat,mungkin belum
sadar akan apa yang baru saja di dengarnya. Nampak air bening menggelayut
diujung pelupuk matanya. Entah itu air mata bahagia atau duka..
Pada
Sebuah senja di bulan februari..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar