Rabu, 10 Februari 2016

Perempuan di Suatu Senja


Sore yang indah. Matahari temaram diantara dedaunan di lereng bukit hijau. Sinarnya menyusup diantara celah-celah bukit dan menerpa apa saja yang ia ingini. Langit cerah, beberapa lembar awan putih bermain-main manja di atas sebuah bukit di ujung barat laut kampung mungil itu. Burung-burung bermain-main menunggu malam dalam kenyamanan karena lapar yang tidak pernah menyapanya. Lapar memang tidak di kenal oleh makhluk di perkampungan itu, semuanya penuh dengan kemakmuran.

Di sebuah rumah menghadap ke utara, menghadap sawah dan buit-bukit kecil, suasana juga telah santai. Musim panen sudah usai,tinggal musim menjemur. Panen yang luar biasa hebatnya. Seorang lelaki muda duduk di kursi ujung serambi, dekat pohon jambu. Di dekatnya teh yang nampaknya masih hangat,dalam piring terlihat pisang Kepok goreng, yang juga masih mengepul asapnya. Kursi di dekatnya masih kosong. Di halaman depan rumah itu, bekas menjemur padi dan kedelai, nampak seorang anak berusia sebelas tahun, seorang anak perempuan.

Saat kemudian seorang perempuan keluar dari dalam rumah, duduk di kursi yang masih kosong itu, anak perempuan itu sudah usai menyapunya, lalu nampak bercakap kepada dua orang yang sedang duduk di serambi rumah itu. Mungkin pamit hendak bermain karena kemudian anak perempuan itu berlari menuju rumah tetangga.

“Anak kita sudah berusia 11 tahun,dan usai pernikahan kita sudah 12 tahun”, Lelaki itu membuka percakapan.
“Ada satu hal yang selama ini kusimpan dari kalian. Sebuah hal yang mungkin bisa menghacurkan keindahan sore ini”
Suasana hening, perempuan itu tenang, kemudian mengambil gelas minuman dan meminumnya dengan pelan dan terlihat sangat menikmati.

“Kalau memang itu bisa menghancurkan keindahan sore ini, mengapa kau malah mengungkapkanya dengan aku?Adakah hubungannya dengan aku, dengan kita, juga dengan anak kita?”, masih dengan santai perempuan itu menjawab dan juga menanya lelaki di sebelahnya, yang adalah suaminya.

“Ada...justru karena ada hubungannya denganku,denganmu dan dengan anak kita aku  menjadi bingung. Memang itu semua sebenarnya hanya aku yang terlibat,namun kalian terlarut juga di dalamnya”
Kembali suasana diam. Senja semakin ingin menampakkan kuasanya.

“Ayo segera bersiap, jam 7 nanti kita mesti beribadah. Ini perayaan rabu abu, permulaan masa paska. Jangan sampai terlambat”, demikian perempuan itu tiba-tiba menunjukan sikap agak tergesa.
“Sebentar, biar aku mengurai  sesak pikiranku.”Jawab lelaki itu.”Apakah kau masih akan tetap berangkat beribadah malam nanti saat aku jujur terhadapmu?Apakah kau akan memaafkanku saat aku berterus terang tentang keadaanku?”, Lelaki itu menggelontorkan pertanyaan kepada perempuan, istrinya itu.
Langit nampak tidak seterang saat minuman di meja teras rumah itu dihidangkan. Suara serangga hutan sayup mulai terdengar.

“Katakanlah saja, tenanglah. Aku ada untukmu”, Perempuan itu menjawab,juga masih denagn ketenangan yang sempurna. Dari ujung jalan rumah itu, berlarilah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Lalu masuk ke rumah, sepertinya hendak langsung mandi.
“Aku masih menjalin hubungan dengan........’
Diam...seolah terhenti lelaki itu mengurai kata. Namun kemudian..

“Dengan  perempuan berambut panjang yang sering kau ceriterakan itu kan?Masih sering mengingkari aku kan?Dan itu sampai anak kita berusia 9 tahun kan?Dan sekarang sudah berhenti kan?”, Perempuan itu melanjutkan kisah suaminya dengan tutur yang tenang namun tegas. Lelaki itu kemudian menjadi pucat,sangat pucat. Dan suasana diam kembali menguasai. Keheningan pecah saat perempuan itu beranjak, tidak hendak meninggalkan suaminya, namun justru mendekati suaminya. Menarik tangan suaminya, mengajaknya berdiri, untuk kemudian...

“Aku tahu, aku sadar. Dan aku juga tahu, waktuku beda dengan waktunya Tuhan. Hanya aku yakin, Tuhan yang akan memberikan yang terbaik untuk kita semua. Dan waktu itu ternyata hari ini. Aku menunggu dan selalu menunggu, dan ternyata saat menjelang rabu abu, waktu itu hadir menyapa hidupku. Tenangkanlah dirimu, aku mengerti keadaanmu dan aku mengampunimu. Sekarang ayo bergegas mandi, kita juga mesti memohon pengampunan Dia yang telah membuatku kuat menjaga keutuhan keluarga kita. Kita semua berdosa, seperti abu..namun kemudian dijadikan permata indah olehNya. Ayo..kita bertelut dihadapanNya..”

Lelaki itu perlahan kehilangan wajah putih yang terjadi karena pucat,mungkin belum sadar akan apa yang baru saja di dengarnya. Nampak air bening menggelayut diujung pelupuk matanya. Entah itu air mata bahagia atau duka..


Pada Sebuah senja di bulan februari..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH