USAI SENJA DI UJUNG FEBRUARI
Mobil baru menghiasi garasi di rumahnya yang
merupakan warisan orangtuanya. Semenjak ia pulang dari kota, lelaki itu sibuk
menata kembali rumah dan halamannya. Dari yang tidak terawat karena tidak
berpenghuni menjadi rumah dan halaman yang rindang dan enak dipandang mata. Dari
yang tidak pernah disinggahi dan bahkan orangpun enggan menengok ke arahnya,
menjadi tempat yang selalu diharapkan dan ingin dikunjungi.
Lelaki itu umurnya sekitar 45 tahun. Dia seorang
sarjana lulusan Universitas terkenal di kota Jogja dan menurut cerita, dia
lulus cumlaude. Namanya Tatag Setyono. Lulus dari kuliah dia langsung bekerja
di sebuah perusahaan terkenal di ibukota negara ini. Sekitar 20 tahun ia
bekerja di kota dan bisa dipastikan bahwa setiap tahun dia pulang. Namun semenjak kedua orangtuanya berpulang ke
keabadian, dia jarang pulang. Dan pulang diluar waktu biasa,juga tidak biasa
karena dia tidak kembali lagi.
Tatag orangnya ramah dan suka bergaul. Bergaul dengan
siapa saja, orang tua, anak-anak, pemuda dan siapa saja. Dia sangat rajin,
serajin dulu sebelum kuliah dan sukses di kota. Satu hal yang menjadi
pertanyaan tetangga-tetangganya, bahwa seumuran Tatag, dia masih sendiri, belum
berkeluarga. Selalu saat ditanya sanak saudara dan teman dekat, jawabnya
hanyalah senyuman yang senantiasa tersungging dengan tulus.
Kerja dan kerja yang menjadi prioritas Tatag. Bertani
dan berkebun, memelihara ayam,bebek, sapi dan kambing menjadi nafas
kehidupannya. Yang unik dan menarik, sepulangnya dari Kota, Tatag tidak membawa harta yang penting, hanya tas
ransel lusuh dipundaknya. Katanya, saat beberapa tetangga dan
sahabat-sahabatnya menanya hal itu, ia menjawab bahwa semua harta yang
diperoleh saat kerja di kota, ia jual dan bagikan kepada yang membutuhkan.dia
ingin pulang sama seperti saat ia berangkat.
Mobil yang sekarang mejeng di garasi rumahnya itu
murni hasil kerja kerasnya mengolah tanah dan beternak. Awalnya banyak yang
bingung, seorang sarjana lulusan terbaik, punya pekerjaan tetap dan posisi yang
strategis di kota, pulang tanpa membawa apa-apa. Keputusan pulangpun menjadi
bahan bisik-bisik di seantero warga desa itu. Namun Tatag tidak peduli, seperti
namanya, Tatag, yang dalam bahasa jawa
berarti kuat dan tegar, dia setia dengan jalan hidup yang dipilihnya.
“Tag, kapan dirimu mau omah-omah, lha semua sudah lengkap gini?”, Tanya Jamali, sahabat
karibnya semenjak sekolah Dasar.
“Lengkap apanya, Jam, lha nyatanya aku belum punya
bojo,belum ada yang cocok”, jawab
Tatag dengan santai. Selalu seperti itu jawab Tatag. Namun sejatinya jauh di
lubuk hatinya, ada satu hal yang dia sembunyikan. Sesuatu yang akan dia jaga
sampai ujung usianya.
Musim hujan hampir usai, sehingga frekwensi hujan
sudah jarang. Hijaunya hutan di sekitar
desa itu sungguh membuat siapa saja kerasan di desa itu. Desa kecil yang di
kelilingi perbukitan. Hanya ada satu akses jalan, di sebelah timur. Utara,barat,selatan
dan sebagian timur desa itu adalah bukit yang hijau. Udara segar, kicauan
burung, suara ayam hutan, lengkingan Kijang, menjadi nyanyian alam sejati.
Siang itu suasana desa sedikit agak lebih ramai
dibandingkan hari-hari yang lain. Ada perlombaan antar gereja di desa itu. Beberapa
kelompok gereja saling berkumpul untuk saling menyapa dan diperkuat dengan
perlombaan olah raga. Karena ada acara yang lain, maka para peserta menginap di
sekitar lingkungan desa dengan memasang tenda.
Tatag masih sibuk dengan aktifitasnya. Ke sawah
dan ladang,memberi makan ternak dan juga mempersiapkan kebutuhan kesehariannya.
Dan saat senjapun, saat beberapa temannya sudah menghampirinya untuk berangkat
ke aula desa untuk melihat lomba paduan suara, Tatag masih sibuk di rumahnya. Hingga
sekita jam 7 malam, Tatag mulai bersiap.
Setelah mandi, berganti pakaian yang bersih Tatag
bersiap menuju Lokasi. Tidak juga dia naik sepeda motor, meski jaraknya sekitar
800an meter. Dia lebih suka jalan kaki, biar sehat katanya. Sedangkan sejatinya
dia bisa memakai mobil,motor juga bisa. Di sisi lain, banyak warga desa itu
yang nampaknya sudah lupa caranya berjalan kaki, karena berjlan dalam jarak
puluhan meter saja selalu menggunakan kendaraan bermotor.
Suasana di aula desa sudah semarak. Lampu sangat
terang dan banyak orang berkumpul. Banyak pedagang kaki lima di sekitar lokasi
lomba paduan suara, dan banyak orang dari luar desa yang ada di lokasi itu. Nampak
aparat keamanan, baik polisi dan hansip berjaga.
Tatag melangkah dengan tenang. Beberapa orang
menyapanya dan dijawabnya dengan sebyuman. Beberapa anak kecil mendekat dan
meminta dibelikan mainan, Tatag senang dengan anak kecil maka semua anak-anak
yang di dekatnya dibelikannya mainan sederhana. Kemudian ia masuk. Suasana sungguh
lebih meriah di dalam ruangan. Lampu dan ornamen sangat mendukung. Dia kemudian
mencari tempat duduk. Hampir penuh, namun ia menemukan tempat duduk di balkon
atas yang ada tiga bangku yang kosong.
“Maaf bu, apa di sini belum ada yang menduduki?”,
Tanya Tatag kepada seorang ibu yang tidak dikenalnya. Tatag tinggal sendiri,
karena teman-temannya, Jamali, Kroto, Yono, Suyat dan yang lain berbaur dengan
banyak orang di luar. Mereka suka bebas dan malas di dalam untuk duduk.
“Tadi ada yang duduk mas, mbak-mbak dan anak
kecil. Tapi sekarang tidak tahu ke mana.”, Jawab ibu-ibu itu.
Tatag diam dan kemudian memutuskan duduk di kursi
kosong itu. Pemandu acara memulai berbicara dan lompa paduan suara akan segera
di mulai. Riuh rendah penonton memberi aplaus saat peserta pertama
mempersembahkan merdu suarnya dan kekompakannya. Tatag asyik menyimak lagu-lagu
yang dinyanyikan, teringat saat muda dulu, ia juga pernah ikut perlombaan
semacam itu. Dia sangat aktif dan karena keaktifannya, ia pernah jtuh cinta. Namun
kisah berikutnya, tidak ada yang tahu, hanya dia yang tahu.
Setelah peserta kedua, ada jeda. Saat jeda diisi
dengan tampilan grup band remaja dari salah satu gereja. Demi suaana panggung,
grup band remaja ini nampaknya ingin tampil maksimal, lampu dimita dimatikan di
sekitar penonton. Tepuk tangan menggelora saat lampu mati dan tampilah grup
band remaja yang ternyata menyanyikan lagu populer di tahun 2000an. Lagu yang
juga sangat menyentuh intuk Tatag. Dan saking asyiknya Tatag tidak sadar bahwa
penghuni bangku di dekatnya sudah kembali. Namun masih dalam keadaan gelap..
“Mas, maaf ya, permisi lewat, kami mau duduk”,
Sapa perempuan yang rambut panjangnya tidak ditali. Dia bersama dengan gadis
perempuan, berusia sekitar 8 tahun. “Iya mbak, mari silakan, saya yang minta
maaf, karena saya menduduki tempat duduk mbak”, Tatag menjawab tanpa melihat ke arah perempuan itu dan juga
melihatpun sulit mengenali karena gelap.
“Mas dari wilayah mana?”, Tanya perempuan itu.
“Taya dari sini saja mbak, lha mbak dari mana?”,
Gantian Tatag bertanya.
Sebelum dijawab, lagu pertama band remaja itu usai
maka riuhlah suara penonton di gedung itu. Tatag dan perempuan itupun ikut
bertepuk tangan.Saat mendengar suara perempuan itu, tiba-tiba Tatag seperti
ingat sebuah suara yang sangat dihafalnya, suara di sekitar awal 2000an. Suara yang
mungkin telah luruh disapu jaman namun masih menggenang di telaga hatinya.
“Kok nggak jawab mbak, mbak dari wilayah mana?”,Tatag
mencoba mencari tahu asal perempuan dan gadis kecil itu. Sebelum dijawab, gadis
kecil itu meminta perempuan itu kua di
tas. “Buk, kue tanggonya mana, aku lapar”, Gadis kecil itu memisah percakapan
Tatag dan perempuan itu. Dan perempuan
itu belum juga menjawab dari wilayah mana dia berasal.
“Ini adiknya ya mbak?”, Tatag mengalihkan tanya
kepada perempuan itu.
“Ohh, bukan mas, ini anak saya. Anak kandung saya”,
Jawab perempuan itu. “O...oo, saya kira adiknya mbak, maaf ya mbak” Lanjut
Tatag. “Lha bapaknya tidak ikut ya?” Tatag mencoba menyelidik. Perempuan itu
diam,diam agak lama.
“Bapak saya pergi om......”, Gadis itu malah yang
menjawab. Tatag diam, dia menjadi serba salah. Suasana diam.
“Lha mas sendirian aja ta ke sini?”, Perempuan
itu balik bertanya. “Anak istri di mana
mas?”.
Tatag diam, dan kemudian menjawab. “Saya masih
sendiri mbak. Saya belum menikah,dan mungkin tidak akan menikah...Saya sudag
terlanjur berjanji mbak...”
Perempuan itu kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Berjanji
dengan siapa mas,kok menikah dan tidak menikah bergantung janji?”Nada
pertanyaan perempuan itu juga nampak penuh selidik. Ramainya suasana di
panggung tidak bisa menyibak hening suasan hati Tatag. Dia sudah terlanjur berjanji bahwa tidak akan
menikah jika tidak dengan perempuan yang telah hadir dalam hatinya 15 tahun
yang silam. Hanya karena orangtua perempuan yang tidak setuju, semua impiannya
dirasakan pudar. Tatag diam. Kemudian band remaja itu hampir usai tampil. Saat usai,
lampu dinyalakan semua. Terangnya sinar
lampu membaut siapa saja bisa melihat sekelilingnya, begitu juga Tatag dan
perempuan itu..
Mereka berdua kaget bukan kepalang. “Ajeng..!!!!!!!!”,
Suara Tatag gugup. “Masss Tt..a..Tag...” Perempuan itupun gugup. Beberapa orang
disekitar mereka memperhatikan mereka berdua. Ada diantara mereka yang
nampaknya kenal mereka. Dan orang itu berkata, “Nahh, akhirnya kalian bertemu,
silakan lanjut saja. Jalin kembali kisah kalian. Masih ada waktu dan kesempatan”
Tatag diam, perempuan itu diam. Anak gadis itu
duduk diantara mereka berdua...dan Lomba Paduan Suarapun berlanjut.
untuk dia yang masih sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar