Senin, 01 Februari 2016

NARASI KEHANCURAN..


Apa saja di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya akan musnah. Kemusnahan adalah sebuah kemestian untuk penghuni Alam semesta ini. Perjuangan makhluk, seberapapun hebat dan sempurnanya,tidak akan pernah mampu menghentikan monster mengerikan bernama Kemusnahan. Artinya, perjuangan, upaya dan usaha makhluk hidup sejatinya tidak pernah bertujuan untuk menghentikan kemusnahan, namun “Hanya” berjuang bertahan.

Kesadaran akan kehancuran adalah baik. Bukan untuk menghentikan gelora perjuangan mempertahankan kehidupan, namun untuk menyadari dengan rendah hati dan tulus bahwa makhluk hidup ini adalah ciptaan yang terbatas. Keterbatasan ini yang menjadi fondasi kesadaran. Semakin manusia, sebagai bagian dari para makhluk penghuni semesta sadar bahwa dirinya adalah terbatas dan pasti akan musnah, seharusnya menariknya pada sebuah refleksi, bahwa perjuangan di dalam hidupnya, bukan sekedar untuk hidup, namun justru untuk mengaktualisasi diri.
Jika ada yang berpikiran bahwa hidup dengan segala serbanekanya, baik senang-susah, baik-buruk, panjang-pendek,sehat-sakit dan seterusnya ini, adalah sekedar sebuah takdir, dan karenanya, manusia berjuang hanya untuk dirinya, selesailah dia sebagai manusia. Perjuangan dalam hidup manusia adalah perjuangan sejati mengerti hakekat hidup. Jika hidup hanya dipahami untuk sekedar  ada, samalah ia dengan makhluk lain yang tak bermartabat seperti manusia.
Kembali ke persoalan kehancuran. Semuanya adalah narasi. Hidup ini sejatinya adalah narasi kehancuran. Semua makhluk, sejatinya semenjak ada, sedang berjalan menuju kehancuran. Sakit,sudah,derita menjadi sama artinya saat manusia sadar bahwa semuanya itu adalah kelengkapan hidupnya sebagai manusia, yang-sekali lagi- menuju kehancuran. Lalu, sia-siakah upaya dan perjuangan manusia, jika semuanya hanya menuju pada kehancuran?Jawabnya tidak!
Seperti yang saya tuliskan di atas, dasar pengertiannya adalah kesadaran dan pemahaman diri. Jika manusia sadar ia akan hancur,dan kemudian ia berupaya memaknai hidup dan kehidupannya supaya lebih bermakna, bukan saja untuk dirinya melainkan untuk sesama, sejatinya dia telah melukis narasi kehancuran yang indah. Sering, atau bahkan selalu, manusia menjadi makhluk yang kaku dan bodoh terkait kehidupannya. Ia hanya mengerti bahwa hidupnya adalah hak  sepenuhnya untuk dirinya. Manusia (Kita di dalamnya, terkhusus yang membaca tulisan ini), lupa bahwa keberadaannya sebagai manusia yang sejati justru karena ada makhluk yang lain. Kegagalan manusia menghargai dirinya berimbas pada penghargaan terhadap yang lain. Di sinilah ironi narasi itu sedang tergoreskan.
Saat manusia hanya berjuang untuk dirinya, karena beranggapan bahwa dirinya yang paling penting untuk hidupnya, dan karenanya memperlakukan yang lain semena-mena, sejatinya ia tidak sedang menahan kehancuran,malahan ia sedang mempercepat kehancuran itu. Narasi kehancuran sedang masuk ke perseneleng 5, semakin cepat.

Namun manusia tidak segera sadar.
Justru manusia semakin giat bertahan hidup untuk dirinya, dan dengan itu mereka menguras alam,menggunduli hutan,mengeruk uang yang bukan miliknya, menindas yang lain. Tujuan mereka baik namun baik untuk dirinya, mereka tidak sadar bahwa sesama penghuni semesta banyak yang terluka?Selalu, kesukaan akan berbanding lurus dengan kedukaan. Saat pembangunan jalan tol di mulai misalnya, banyak yang tersenyum karena akan berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi. Namun adalah yang berpikir bahwa pembebasan tanah, pengerukan tanah dan juga penimbunannya itu merusak ekosistem, merusak lingkungan/suka bagi pelaku ekonomi, namun lonceng kematian bagi makhluk-makluk kecil tak terhitung.

Kehadiran pabrikpun setali tiga uang. Sama saja! Hanya memberi kabar bahagia untuk segelinitir penghuni semesta, sementara yang lain meraung-raung dalam tangisan sepi. Saat pembangunan  pabrik dimulai, banyak yang berharap akan mendapatkan  lapangan kerja. Mungkin benar, namun justru dengan demikian membuat gairah wira usaha mandiri impoten. Pemuda-pemudi secara terstruktur dan masif dikebiri semangat kemandiriannya, mereka suka diperbudak dan diperbudak sepanjang hayat. Dan....Narasi kehancuran semakin jelas...
Pabrik menggantikan sawah..Petani dikerdilkan,tidak dihargai...desa dan kampung sepi sementara kota, berjubel laksana semut mengerubungi gula beracun. Tapi itulah realita, itulah fakta yang sedang bermain dalam narasi panjang kehancuran. Siapa yang akan sadar terlebih dahulu?
Belum lagi persoalan relasi, budi pekerti, tindakan baik. Semua sudah kronis, dan sekali lagi..narasi Kehancuran itu mendekati episode terakhirnya.
Perhatikan dengan seksama,jangan jauh-jauh, di sekitar kita saja. Seberapa saling menghargai dan menghormati itu masih tersisa?Pemerintah pontang-panting berhutang ke luar negeri untuk membangun infrastruktur, semisal pasar. Namun setalah jadi, apa pedagang mau menempatinya?Tidak, mereka lebih suka  berjualan di pinggir jlan, mereka lebih suka mengganggu karena mungkin hidupnya sudah terlalu sering diganggu. Akibatnya macet, waktu tergadaikan,amarah meledak dan seterusnya..
Narasi Kehancuran itu semakin mendekati tahap akhir...

Bersambung..



1 komentar:

FIKSI Di Malam PASKAH