Apa saja di dunia ini tidak ada yang abadi,
semuanya akan musnah. Kemusnahan adalah sebuah kemestian untuk penghuni Alam
semesta ini. Perjuangan makhluk, seberapapun hebat dan sempurnanya,tidak akan
pernah mampu menghentikan monster mengerikan bernama Kemusnahan. Artinya,
perjuangan, upaya dan usaha makhluk hidup sejatinya tidak pernah bertujuan untuk
menghentikan kemusnahan, namun “Hanya” berjuang bertahan.
Kesadaran akan kehancuran adalah baik. Bukan untuk
menghentikan gelora perjuangan mempertahankan kehidupan, namun untuk menyadari
dengan rendah hati dan tulus bahwa makhluk hidup ini adalah ciptaan yang
terbatas. Keterbatasan ini yang menjadi fondasi kesadaran. Semakin manusia,
sebagai bagian dari para makhluk penghuni semesta sadar bahwa dirinya adalah
terbatas dan pasti akan musnah, seharusnya menariknya pada sebuah refleksi,
bahwa perjuangan di dalam hidupnya, bukan sekedar untuk hidup, namun justru
untuk mengaktualisasi diri.
Jika ada yang berpikiran bahwa hidup dengan segala
serbanekanya, baik senang-susah, baik-buruk, panjang-pendek,sehat-sakit dan
seterusnya ini, adalah sekedar sebuah takdir, dan karenanya, manusia berjuang
hanya untuk dirinya, selesailah dia sebagai manusia. Perjuangan dalam hidup
manusia adalah perjuangan sejati mengerti hakekat hidup. Jika hidup hanya
dipahami untuk sekedar ada, samalah ia
dengan makhluk lain yang tak bermartabat seperti manusia.
Kembali ke persoalan kehancuran. Semuanya adalah
narasi. Hidup ini sejatinya adalah narasi kehancuran. Semua makhluk, sejatinya
semenjak ada, sedang berjalan menuju kehancuran. Sakit,sudah,derita menjadi
sama artinya saat manusia sadar bahwa semuanya itu adalah kelengkapan hidupnya
sebagai manusia, yang-sekali lagi- menuju kehancuran. Lalu, sia-siakah upaya
dan perjuangan manusia, jika semuanya hanya menuju pada kehancuran?Jawabnya
tidak!
Seperti yang saya tuliskan di atas, dasar
pengertiannya adalah kesadaran dan pemahaman diri. Jika manusia sadar ia akan
hancur,dan kemudian ia berupaya memaknai hidup dan kehidupannya supaya lebih
bermakna, bukan saja untuk dirinya melainkan untuk sesama, sejatinya dia telah
melukis narasi kehancuran yang indah. Sering, atau bahkan selalu, manusia menjadi
makhluk yang kaku dan bodoh terkait kehidupannya. Ia hanya mengerti bahwa
hidupnya adalah hak sepenuhnya untuk
dirinya. Manusia (Kita di dalamnya, terkhusus yang membaca tulisan ini), lupa
bahwa keberadaannya sebagai manusia yang sejati justru karena ada makhluk yang
lain. Kegagalan manusia menghargai dirinya berimbas pada penghargaan
terhadap yang lain. Di sinilah ironi narasi itu sedang tergoreskan.
Saat manusia hanya berjuang untuk dirinya, karena
beranggapan bahwa dirinya yang paling penting untuk hidupnya, dan karenanya
memperlakukan yang lain semena-mena, sejatinya ia tidak sedang menahan
kehancuran,malahan ia sedang mempercepat kehancuran itu. Narasi kehancuran
sedang masuk ke perseneleng 5, semakin cepat.
Namun manusia tidak segera sadar.
Justru manusia semakin giat bertahan hidup untuk
dirinya, dan dengan itu mereka menguras alam,menggunduli hutan,mengeruk uang
yang bukan miliknya, menindas yang lain. Tujuan mereka baik namun baik untuk
dirinya, mereka tidak sadar bahwa sesama penghuni semesta banyak yang
terluka?Selalu, kesukaan akan berbanding lurus dengan kedukaan. Saat pembangunan
jalan tol di mulai misalnya, banyak yang tersenyum karena akan berpengaruh pada
laju pertumbuhan ekonomi. Namun adalah yang berpikir bahwa pembebasan tanah,
pengerukan tanah dan juga penimbunannya itu merusak ekosistem, merusak
lingkungan/suka bagi pelaku ekonomi, namun lonceng kematian bagi makhluk-makluk
kecil tak terhitung.
Kehadiran pabrikpun setali tiga uang. Sama saja! Hanya
memberi kabar bahagia untuk segelinitir penghuni semesta, sementara yang lain
meraung-raung dalam tangisan sepi. Saat pembangunan pabrik dimulai, banyak yang berharap akan
mendapatkan lapangan kerja. Mungkin benar,
namun justru dengan demikian membuat gairah wira usaha mandiri impoten. Pemuda-pemudi
secara terstruktur dan masif dikebiri semangat kemandiriannya, mereka suka
diperbudak dan diperbudak sepanjang hayat. Dan....Narasi kehancuran semakin
jelas...
Pabrik menggantikan sawah..Petani dikerdilkan,tidak
dihargai...desa dan kampung sepi sementara kota, berjubel laksana semut
mengerubungi gula beracun. Tapi itulah realita, itulah fakta yang sedang
bermain dalam narasi panjang kehancuran. Siapa yang akan sadar terlebih dahulu?
Belum lagi persoalan relasi, budi pekerti,
tindakan baik. Semua sudah kronis, dan sekali lagi..narasi Kehancuran itu
mendekati episode terakhirnya.
Perhatikan dengan seksama,jangan jauh-jauh, di
sekitar kita saja. Seberapa saling menghargai dan menghormati itu masih
tersisa?Pemerintah pontang-panting berhutang ke luar negeri untuk membangun
infrastruktur, semisal pasar. Namun setalah jadi, apa pedagang mau
menempatinya?Tidak, mereka lebih suka
berjualan di pinggir jlan, mereka lebih suka mengganggu karena mungkin
hidupnya sudah terlalu sering diganggu. Akibatnya macet, waktu
tergadaikan,amarah meledak dan seterusnya..
Narasi Kehancuran itu semakin mendekati tahap
akhir...
Bersambung..
Bagus
BalasHapus