Senin, 15 Februari 2016

Pendidikan Alam, Menyusuri Sungai

MENYUSURI SUNGAI

Suatu ketika, seorang kakek memanggil cucunya. Ketika si cucu menghadap, kakek itu bertanya, “Cucuku, maukah engkau mengikuti aliran sungai di depan rumah ini sampai puncak mata airnya?”. Dengan lugu, si cucu menjawab, “Mau kek, sangat mau”. Kemudian kakek itu membisikan sesuatu dan dijawab dengan anggukan oleh si cucu.
JALAN KEMANDIRIAN EKONOMI
Pagi itu udara cerah, secerah wajah anak lelaki kecil yang bergirang menuju sebuah sungai. Dengan bersiul ia meniti sungai itu dari bawah, naik menuju ke atas. Seperti bisikan kakeknya bahwa ia harus mencari sampai pucuk di mana sumber terakhir aliran sungai itu berasal. 
Bebatuan dilewatinya, jurang terjal,arus deras, beningnya air gunung dengan ikan-ikan yang bermain dengan riang , ilalang dan belukar yang menghiasi aliran sungai gunung menemani perjalanannya. Letih mulai mendera bersamaan dengan sang surya yang meninggi. Dirasakan bahwa masih jauh letak sumber air puncak sungai itu. 
Namun ia tetap meniti aliran sungai itu. Namun manakala letih semakin mendera dan dirasa masih jauh sumber puncak sungai itu, rasa gamang dan semangat yang menyala mulai mereda. Sampai suatu saat mesti menghadapi cekungan sungai yang terlihat agak luas dan dalam. Meragu sejenak. Semakin letih dan dipilihnyalah untuk tidak melalui cekungan itu. Mendaki lereng sungai untuk menghindari cekungan itu. Kemudian ia melanjutkan penelusurannya menggapai mata air puncak. Akhirnya, saat letih membuai seluruh raga, sampailah ia diujung mata air sungai itu dan betapa terkejutnya  ia, karena dilihatnyalah Sang Kakek dengan senyum damai menyambutnya.
“Bagus sekali cucuku, egkau telah mencapai puncak sumber air sungai ini”. Agak tersipu malu si cucu menanggapinya. Lalu kemudian si kakek melanjutkan bicaranya, “Apa yang kau temukan di cekungan sungai itu?”. Kaget si cucu karena ia menghindari cekungan sungai itu. Dengan jujur ia menjawab bahwa cekungan sungai itu ia hindari. Dengan nada arif dan bijak, si Kakek melanjutkan bicaranya. “Cucuku, mengapa kau hindari cekungan sungai itu?Ketahuilah, perjalananmu meniti sungai sampai pada puncak mata air ini adalah lambang perjalanan kehidupanmu. 
Janganlah kau memilih untuk menghindari hidup yang memang harus kamu  lalui. Kamu tidak sadar bahwa di ujung cekungan itu kakek telah menaruh air kelapa muda siap diminum. Namun karena kau menghindarinya, kau takpernah menjumpai kelegaan itu. Apapun itu, hadapilah.Termangu si cucu itu dan malulah ia.

Mungkin  dalam menghadapi kehidupan ini, kita sering seperti si  cucu tadi. Menghindari permasalahan hidup dan tidak mencoba menguraikan serta menghadapinya dengan bertanggung jawab.
(tulisan ini pernah dipublikasikan di www.satuharapan.com, dengan penulis yang sama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH